ll Kelingking yang bertaut

51 17 2
                                    

Aku menyusuri lorong sekolahan sambil menenteng tas laptop. Suara bel istirahat yang telah terdengar, membuatku berjalan kearah taman belakang. Seperti jadwalku, nanti setelah pulang sekolah aku akan bertemu dengan Bagas. Setidaknya, jam-jam seperti ini aku bisa menyelesaikan beberapa paragraf.

"Lea! Ikut gak? Aku mau ketaman belakang," teriakku pada Lea yang masih berdiri diambang pintu.

"ENGGAK. SENDIRIAN AJA YA?!" Aku mengangguk dan melanjutkan langkahku.

"Hati-hati! Nanti gak usah belok ke kelas 12!" Aku tak bisa untuk tidak tertawa mendengar perkataan Lea.

Aku jelas ragu untuk melewati kelas itu. Tapi tidak ada jalan lain, karena jalan pintas menuju taman, sedang diperbaiki. Semakin langkahku maju, aku tak sanggup menahan debaran ini. Bagaimana kalau aku melihat Kak Aska? Setelah aku menarik napas dalam-dalam, aku memberanikam diri melewati kakak kelas yang sedang duduk berderet didepan kelasnya.

Aku melirik kearah mereka sesaat sembari tersenyum. Aku hanya bermaksud menyapa mereka. Tak jarang diantara mereka ada yang menyapa balik, tapi ada juga yang tak acuh. Setelahnya, aku melihat kedalam kelas. Disana Kak Aska sepertinya sedang menyalin tugas. Sangat rajin.

Yang membuatku terkejut, Kak Aska menoleh dan tersenyum kearahku. Merasa hawa panas merambat, aku segera berlalu dari tempat itu dan melanjutkan tujuanku.

Aku menghembuskan napas lega setelah duduk dikursi panjang taman. Aku mulai membuka laptopku dan menyalakan musik diponselku. Jari-jariku dengan lincah mulai mengetikkan sesuatu. Alunan musik yang lirih itu membuat suasana ditaman ini menjadi lebih tenang.

"Kenceng banget nulisnya. Gak capek apa?"

Suara yang tak asing itu, membuatku hati-hati menoleh. "Kak Aska!" Aku terpekik, melihat seseorang yang baru saja membuat jantungku melompat itu sudah ada disini. Ditempat yang sama sembari melipat tangannya didada.

"Ngapain kesini? Apa ada yang mau dibicarakan?" tanyaku yang dibalas senyuman olehnya.

"Boleh duduk?" Aku segera menggeser dudukku. "Silahkan!" Jawabku padanya.

"Apa setiap saya menemui kamu, harus ada yang ingin saya sampaikan?" Kak Aska bertanya dengan suara tenang dan teduh untuk didengar.

Aku menggeleng pelan, "Enggak juga sih. Tapi aneh aja."

Kak Aska menatapku setelah menghela napas. "Apanya yang aneh. Bukannya bertemu itu hal yang biasa."

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya diam dan fokus melanjutkan ceritaku. Sejenak, aku merasa kesal dengan kedatangannya. Mengapa dia bisa bicara seperti itu? Bukannya memang terlihat aneh? Dulu, aku memang berharap bisa seperti ini. Duduk berdua ditaman dan dia menemaniku mengerjakan sesuatu. Tapi sekarang aku merasakan kejanggalan yang luar biasa. Sebenarnya ada apa dengan Kak aska? Aku mulai mengatur perasaanku. Aku tidak ingin melayang setelah itu dihempaskan. Aku harus berusaha bersikap biasa saja.

"Kenapa cemberut gitu? Perasaan kata-katanya udah bagus. Gak ada yang salah juga." Aku menatap Kak Aska, setelah itu aku kembali berkutat pada laptop.

Aku menghentikan aktivitasku sebentar, "Kak Aska, baca?"

Dia menggaruk tengkuknya yang sepertinya mengalihkan perhatian," Dikit sih. Gak semuanya. Bagus kata-katanya. Saya suka."

Aku mengangguk dan ber'oh ria. "Kenapa Kak Aska tiba-tiba kesini?" Mungkin aku akan terus bertanya seperti itu, sampai Kak Aska menjawabnya.

"Ya, yang kamu lihat saya sedang ngapain?" Aku mengernyit bingung. Bukannya Kak Aska hanya duduk diam disampingku?

"Duduk."

PROSPECT HEART (End)Where stories live. Discover now