ll Mungkin, aku patah hati

50 21 0
                                    

Seusai pertandingan berakhir, aku segera beranjak dari sana. Berlari menuju ruang medis tanpa menghiraukan lagi perkataan Bagas. Aku sudah membulatkan tekad untuk menemuinya, mengetahui keadaannya, dan menanyakan alasan kenapa dia menghilang.

Disisi lain, aku juga merindukannya. Sangat ingin bertemu, bertatapan, dan saling melempar sapaan. Disela langkah lebarku, Bagas masih terus berusaha membujukku untuk tidak menemuinya.

"Killa! Lo jangan kaya' gini dong." Bagas terdengar mengatur napasnya. "Aska pasti baik-baik aja, kok. Mendingan kita balik aja, besok, kan ada meeting sama penerbit 'pustaka'."

Aku masih terdiam dan fokus menerjangi para penonton yang bubar. Pandanganku mengedar, mencari teman se-tim Kak Aska.

"Killa," panggil Bagas yang membuatku menghela napas kesal.

"Gas, kalo kamu gak mau nemenin aku, mending pulang aja. Aku harus bertemu Kak Aska. Ini urusan aku. Jadi, kalo kamu emang keberatan, mending duluan aja." ujarku.

Dia menggeleng tegas. Tidak menyetujui perkataanku. "Gak! Gue tetep nemenin, lo."

"Hm, kak. Lihat Kak Aska, nggak?" tanyaku pada salah satu teman Kak Aska.

"Oh, Aska. Dia tadi dibawa ke ruang medis yang sebelah sana." jawabnya sembari menunjuk sudut kanan lorong. Aku tersenyum, lalu segera menuju tempat itu.

Tepat didepan pintu dan ruangan berdominasi warna putih itu, langkahku sedikit gemetar. Antara yakin dan ingin berbalik. Tapi, sejenak aku meruntuhkan rasa itu. Aku harus menemuinya. Bagas diam dan hanya mengikutiku. Sepertinya, dia masih bersikeukuh untuk menemaniku.

"Kak," sapaku padanya. Dia terlihat masih belum membaik. Berbaring diatas bankar dengan satu kakinya yang di balut perban.

Kak Aska menoleh. Sepertinya ada kecanggungan untuk berbicara lagi padaku. Aku memutuskan untuk mendekat. Memasang senyum paksa agar tetap terlihat seperti tidak ada apa-apa.

"Kak Aska gak papa kan?" tanyaku. Dia masih sama. Hanya diam dan menatap datar kearahku.

"Beberapa minggu lagi, kan Ujian Nasional. Cepet sembuh ya, Kak. Rencananya, temen satu ekstra minta buat acara kelulusan juga. Kelulusan bareng ketua ekstra sebelumnya." ujarku padanya.

"Kenapa harus buat acara kaya' gitu juga. Bukannya nanti kalian juga mau ujian akhir?" Aku mencermati kalimat itu. Merekam suara yang akhir-akhir ini tidak ku dengar. Aku sungguh merindukan suara yang selalu mengaturku, mengajari ini itu, dan melarangku untuk berbuat hal yang tidak guna.

Aku tersenyum menanggapi Kak Aska. Sepertinya, dia memang benar menghindariku. Menciptakan jarak yang sebelumnya rekat. Dan mengasingkan diri yang sebelumnya akrab.

"Nggak kok, kak. Ini acaranya jauh-jauh hari sebelum kami ujian. Karena, mereka berpikir kalau Kak Aska itu ketua pertama di ekstra itu. Jadi, ya mungkin mau ngadain momen aja." ujarku yang membuatnya lagi-lagi terdiam.

Sedari tadi, aku tidak melihat sosoknya yang dulu. Dia sangat berbeda. Seakan tak pernah mengenaliku. Sangat canggung, dan untuk berbicara saja dia berpikir lama. Aku mengatur napas, dan berusaha menyiapkan diri untuk mengatakan ini.

"Kak Aska kemana aja?" Satu kalimat lolos aku lontarkan. Dan seketika, dadaku semakin bergemuruh. Kak Aska menoleh dan menatapku sekilas. Kemudian, dia memandang ponselnya. Seakan didalam benda itu, ada sesuatu yang begitu penting. Aku masih menunggu jawabannya. Rasanya, kakiku sudah sangat pegal untuk berdiri.

"Maksud kamu apa?"

Aku meneguk ludah. Mendengar nada tak suka darinya. Aku yakin, ini bukan Kak Aska yang pernah aku kenali.

PROSPECT HEART (End)Where stories live. Discover now