ll Suara dalam ruang asmara

100 27 4
                                    

Hari ini aku berangkat lebih pagi. Seperti biasa, aku duduk di gazebo membaca novel terbaruku. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Masih sepi.

Suara bariton yang sangat tidak asing itu tertangkap pada pendengaranku. Aku melihat ke arahnya. Ternyata, dia Kak Aska pemiliknya. Aku merasa sedikit tenang mendengarnya. Setidaknya aku sedikit lebih baik sekarang setelah semalaman menangis oleh kabar meninggalnya Elang. Tapi, lagi-lagi kenangan beberapa tahun yang lalu kembali memutar.

Dua tahun yang lalu.

"Killa, Lo tahu nggak kenapa setiap orang punya suara beda-beda?"

"Ya karena biar bisa bedain lah. Coba kalau semua orang suaranya sama, gimana kita bisa mengenali siapa orang itu," jawabku dengan nada meninggi.

Elang tertawa melihat wajahku yang tertekuk kesal. Sedari tadi, dia selalu mempertanyakan hal bodoh yang harus selalu aku jawab.

"Salahlah!

Aku mengerucutkan bibirku. Merasa kesal sekaligus tidak terima. Ini mungkin sudah ke sepuluh pertanyaan konyol yang jawabannya selalu salah. Aku beranjak dari dudukku. Berpindah pada ayunan dua bangku di bawah pohon rindang. Hari libur ini, Elang mengajakku menghabiskan waktu di taman. Entah apa alasannya, yang jelas dia ingin menenangkan diri katanya.

"Lo gak tanya gitu, apa jawabannya?"

Aku hanya diam tak menggubris. Mengabaikan apa yang Elang lontarkan dari mulutnya. Aku tahu, sampai nanti pun kalau aku tetap menjawab pasti jawabannya salah. Dan benarnya, jawaban itu membuatku naik darah.

Aku memberontak ketika Elang menarik pipiku. "Kalau gitu apa coba?" tanyaku.

"Gitu aja marah." Elang membelai rambutku. Sama seperti Bang Candra yang selalu mengelus kepalaku ketika aku sedang marah.

Jantungku berpacu kencang setiap kali Elang memberi perlakuan manis seperti ini. Seharusnya dia tidak seperti itu. Seharusnya dia tidak memberiku perhatian layaknya lebih dari seorang teman. Tapi untuk diriku, seharusnya aku tidak membawa perasaan dalam setiap sentuhan. Aku sadar Elang sudah memiliki tambatan hati, meskipun mereka belum bersatu. Aku meyakini satu hal, perasaan Elang murni bukan untukku. Tapi untuk Lea, sahabatku.

"Oke. Gue mau jawab. Tapi, kali ini harus janji gak ada marah kaya' tadi." ujarnya.

Aku membuka mulut, hendak mengelak apa yang Elang katakan. Tapi belum sempat aku bersuara, jari telunjuk Elang menempel pada bibirku sebagai isyarat agar aku tidak berbicara dan mengangguk setuju.

Elang berdehem, menyisir rambutnya dengan jari tangan panjangnya. Menambah kesan maskulin yang makin terpancar setiap harinya.

"Kalau semua orang suaranya sama, gimana gue bisa bedain mana suara lo yang selalu merhatiin gue," Elang menatapku dengan pandangan menusuk. Aku membeku mendapat tatapan itu. "Kalau suara orang itu sama, mana mungkin gue butuh suara lo yang tulus buat mewarnai kehampaan dalam hidup gue."

Aku terdiam. Mencerna kembali perkataan Elang barusan. Namun, sedetik kemudian otakku menangkap sesuatu yang seketika membuatku ingin memukul Elang.

"Dari mana kamu belajar gombal kaya' gini? Siapa yang ngajarin?" tanyaku dengan nada kesal.

Elang tertawa dan mengacak rambutku. "Gak percayaan banget jadi orang." ujarnya.

PROSPECT HEART (End)Where stories live. Discover now