ll Bersamanya

50 17 2
                                    

"Kamu mainnya disana dulu, ya? Nanti tukar tempat." Aku mengikuti perintah Kak Aska. Sekarang aku sudah berada disisi kanan net.

Permainan dimulai. Aku melemparkan cock kearah Kak Aska. Dengan gerakan lihai, tangannya begitu lincah melempar balik. Permainan terus berlanjut hingga beberapa menit. Sesekali, kami tertawa ketika cock terbang tidak sesuai arah lempar.

Kak Aska melewatkan cock yang aku terbangkan dan berjalan santai menuju tempatku. Senyumku masih mengembang meskipun aku juga mulai bingung dengannya.

"Killa.. Killa.., lagi mikiran apa sih? Gak biasanya kalah kaya' gini," ucap Kak Aska sembari duduk ditepi lapangan.

Aku merunduk dan mengikutinya dari belakang. Sekarang, kami duduk berdua sambil meneguk air mineral yang tadi kubawa.

"Ish, Kak! Padahal tadi aku juga udah serius mainnya. Kak Askanya aja yang jago banget," jawabku dengan menggerutu.

Dia tertawa kecil dan mengacak rambut depanku. Aku mencibir, tapi tidak dengan hatiku. Penuh kehangatan dan kebahagiaan setiap detikku bersamanya.

"Makanya, latihan yang bener. Kalo diajak latihan itu ikut. Nggak malah jalan sama yang lain." Aku mendelik mendengar perkataan Kak Aska. Kenapa dia begitu posesif seperti ini?

"Kak! Aku itu jalan sama Bagas bukan mau jalan-jalan. Kita itu lagi cari tempat biar dapet inspirasi saat ngelanjutin novelku. Gimana sih?"

Dia menggeleng pelan, "Makanya, hobi itu satu aja. Yang penting ditekuni."

Aku tersedak tawa mendengar perkataan konyol itu. "Lalu, Kak Aska sendiri bisa, cuma ngambil salah satu hobi yang dua-duanya sama disukai?"

Dia terlihat kebingungan menjawab pertanyaanku. Aku menyeringai lebar. "Tuh kan. Kak Aska sendiri aja gak bisa. Bagaimana sama aku. Aku tuh ya, kalo udah suka gak bakal ninggalin."

Kak Aska menatapku dengan tatapan heran dan penuh tanya. "Curhat?" Dia terlihat menahan tawa.

Aku menoyor bahu Kak Aska dan dia hanya tertawa. "Masih ada ternyata, spesies yang kelihatannya pendiam, tapi dibelakang nyebelinnya minta ampun." Aku mendengus sebal.

"Iya deh iya. Cewek emang selalu benar. Hm, tapi emangnya saya kelihatan pendiam banget gitu?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk pelan, "Ya gitu deh. Pertama lihat Kak Aska itu, orangnya terkesan pendiem banget. Kalem, sopan, ramah, sampai.."

Aku menghentikan perkataanku. Mana mungkin aku bilang sampai aku suka sama dia. Mau ditaruh dimana muka aku nanti.

Dia menaikkan sebelah alisnya, "Sampai apa?"

Aku mengalihkan pandangan dan berpikir keras mencari jawaban. "Hm, sampai aku gak percaya aja, kalo aslinya orangnya begini."

"Begini bagaimana?" Dia menggodaku.

"Nyebelin!"

Dia diam dan menatapku lama. Aku juga tak bisa mengalihkan pandanganku, ketika matanya yang tajam mengunci tatapanku.

Menyadari apa yang kami lakukan, dia tertawa terpingkal-pingkal. Aku yang tak tahu apa-apapun juga ikut tertawa ketika mendengar tawanya yang begitu lepas.

"Kenapa, Kak?" Dia menoleh sejenak dan kembali tertawa. Setelahnya, aku hanya diam menunggu tawanya reda.

Dia mengatur napasnya yang naik turun, "Nggak kok, gak papa. Ya udah latihan lagi yuk!" Dia berdiri dan mengambil raket berwarna keemasan itu.

***

Sekitar pukul 2 siang, kami memutuskan untuk berhenti latihan, karena Kak Aska harus ke lapangan Gelora. Seperti biasa, setelah latihan bulu tangkis bersamaku, dia akan melanjutkan latihan sepak bola disana.

PROSPECT HEART (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang