2

1.3K 122 10
                                    

Manik mata indah itu mulai membuka. Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di sekitarnya. Berusaha mencari keberadaan orang yang dicintainya. Sang ibu. Dia sudah menyadari jika ruangan yang ditempatinya ini bukan bagian dari kamar tidurnya di rumah. Ah, selang infus menggantung di sisi kiri tubuhnya. Rumah sakit.
'Mae.. "
"Anak mami hn,, bangun tidur terus mencari ibumu, cih! Kekanak-kanakan." ucap tin santai.
"Kau... Apa yang kau lakukan di sini? " ucap pete ketakutan dan kesal.
"Tentu saja menunggu Putri tidur bangun dari tidur panjangnya, aku tadi sudah ingin menciummu tuan Putri tapi kau malah sudah bangun. " kata tin dengan pandangan meremehkan.
"Aku seorang pria tin, bukan seorang wanita " jawab pete dengan wajah di tekuk tak suka.
Dia memang memiliki wajah cantik untuk ukuran seorang pria, tapi dia bukan banci.
"Bukan wanita, tapi lihatlah wajahmu itu, merajuk seperti wanita saja! " jawab tin sambil tersenyum tipis.
Ceklek
"Mae.. " rajuk pete saat melihat ibunya masih dalam seragam dokternya.
"Saweddi krab tante"salam tin pada natasha, dan dibalas senyuman.
"Mae.. Aku ingin pulang." tutur pete sambil bergelayut manja pada lengan ibunya.
"Kau akan pulang ke jika dokter god memberikan izin, maaf merepotkanmu tin, tante berterimakasih karena sudah mau menunggui pete. " kata natasha pada tin.
"Tidak mengapa tante. Saya sedang tidak sibuk. " jawab tin sambil tersenyum.
Pete hanya memutar bola matanya malas. Kemana perginya tin yang berbicara kasar kemarin, tin yang memaki-maki seenak perutnya, tin yang selalu mengejeknya beberapa menit yang lalu? Seperti ibu tiri saja. Pura-pura.
"Mae.. Dia tu.. "
"Tin sudah cerita semua sayang, dan dia sudah meminta maaf pada mae dan ayahmu. Paman mick juga datang tadi. Dan.. Tin sudah berjanji akan menjagamu sampai kau sembuh, hn?" jelas natasha pada putranya yang masih memandang tidak suka dan curiga pada pemuda tampan di depannya.
Manik matanya menatap tajam pria tersebut, mengawasi gerak-geriknya, seolah-olah dalam hitungan detik tin akan berubah wujud menjadi iblis yang kembali menjailinya, membentaknya seperti kemarin.
"Tapi mae.. Aku tetap ingin pulang.."
"Pete... Baiklah aku kan bertanya pada P'god apakah kau bisa pulang hari ini. Makanlah dulu bubur ini, agar kau punya sedikit tenaga na.. Na.. " pinta sang ibu pada putra manjanya itu.
"Tante bisa meninggalkan pete, aku yang akan mengawasinya makan. " kata tin seraya mengambil mangkok bubur yang di pegang natsha.
"Terimakasih tin, pastikan dia makan na.. Ibu keluar sebentar sayang. " ucap natasha sambil mengelus kepala putranya dan meninggalkan ruangan.
"Makanlah, koon chai. Aku.. Minta maaf telah membentak dan menurunkanmu di tengah jalan dalam hujan lebat kemaren. " kata tin seraya mengangsur mangkok bubur ke depan pete.
" kenapa? Makanlah, tante benar, wajahmu masih pucat, makanlah agar kau punya tenaga." ucap tin saat melihat mangkok itu masih berada di pangkuan pete, tak tersentuh sama sekali. Hanya diaduk-aduk hingga tidak jelas bentuk dan warnanya.
"Hahhh! Sini! " tin menarik mangkok bubur tersebut dan mulai mengangsurkannya ke mulut pete.
"Aa.. Buka mulutmu "
"Tidak mau, pasti tidak enak"
"Buka mulutmu atau kusuapkan langsung dengan bibirku, lama-lama bibir pink pucatmu itu menggoda juga untuk dikecup hn..? " perintah tin seraya memajukan wajahnya.
Mendengar itu pete langsung menarik selimutnya dan bergeser menjauh.
"Aaa.. Aa.. Buka mulutmu pete.. Ayolah aku bukan orang yang sabar asal kau tahu " ancam tin.
Perlahan bibir pucat itu membuka dan menerima suapan bubur dari tin. Sedikit demi sedikit bubur itu berkurang, walaupun tidak semuanya habis, itu pun harus diselingi ancaman, namun tin sedikit lega. Mahkluk manja yang menjadi penjamin kembalinya kartu kredit dan semua fasilitas pribadinya itu kini bisa diajak bekerja sama. Semakin cepat dia sembuh, maka semakin cepat pula semua fasilitas itu kembali kepadanya. Dia bisa kembali bersenang-senang di luar sana.
"Terimakasih " ucap pete setelah mengembalikan gelas berisi susu yang setengah isinya telah berkurang.
"Hn. "
.
Seminggu sudah pete pulang ke rumah, mulai melakukan aktivitas seperti biasa, namun ada yang beda dengan hidupnya sekarang. Dia tidak lagi kemana-mana sendiri. Tin selalu mengantarnya, menemani dan mengawasinya. Pete sedikit merasa risih ke mana saja selalu diawasi, dulu setelah kuliah dia bisa pergi kemanapun, perpustakaan, nonton can bermain bola, sekedar nongkrong dan jalan dengan P'Nho dan Ping. Tapi sekarang sudah sebulan ini tin selalu mengantar dan menjemputnya kuliah. Pete sudah menolak secara halus perlakuan tin padanya, toh dia sudah sehat sekarang. Dan parahnya lagi ibu dan ayahnya juga ok saja. Pernah sepulang kuliah dia merengek pada ibunya.
"Mae, bilang ke tin, aku ingin ke kampus dengan mobilku saja, besok can ada pertandingan, aku ingin melihatnya mae... Na.. Na.. Na.. Mae... " rayu pete.
Tapi jawaban ibunya itu malah membuat kerucut di bibirnya semakin panjang.
"Pete sayang, mae malah jauh lebih tenang jika tin yang menjagamu. Papa mu juga setuju. Selama ini mae lihat tin juga baik padamu." kata natasha pada putranya.
Ya, tin memang tidak lagi membentaknya, tapi dia juga tidak pernah tersenyum ramah, bercanda dengannya. Lebih baik di jemput paman bim dari pada tin. Gerutu pete dalam hati, dia tidak pernah membantah perkataan ayah dan ibunya.
.
Hari ini adalah ada pertandingan sepak bola antara fakultas ekonomi dan teknik, dimana can akan bermain bersama good. Sengaja pete membolos mata kuliah terakhir agar bisa datang ke lapangan mensupport can dan good. Tapi naas baginya saat baru setengah jam pertandingan berlangsung sebuah tangan menarik nya secara kasar dari bangku penonton. Tin lah yang menariknya berdiri dan membawanya pulang. Pete berusaha melepaskan genggaman tin pada tangannya. Tapi tenaganya tidak sebanding dengan tenaga tin yang besar.
"Lepas tin, sakit.. Lepas!" rengek pete saat mereka tiba di area parkir.
"Kau sudah berani membolos rupanya hn?? Atau kau memang tukang bolos??!" tanya tin dengan wajah hanya beberapa senti dari wajah pete yang sudah merah padam dengan tatapan intimidasinya.
"Maiao, aku hanya ingin melihat Can main dilapangan.. Lepas...sakit tin..! " rengek pete saat tidak bisa menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.
Melihat itu tin melepaskan genggaman tangannya dan melihat pergelangan tangan putih itu sudah menjadi merah, tampak bekas cengkraman tangannya. Mungkin besok warna merah itu akan menghitam, lebam. Damn?!! Bagaimana menjelaskannya pada orang tua pete dan bagaimana reaksi ayahnya jika tahu dia sudah menyakiti pete sekarang.
Sejak pertama kali bertemu, tin tidak pernah membayangkan berjumpa dengan pria dengan kulit sehalus dan semulus wanita seperti pete. Jangan lupakan bibir mungilnya yang berwarna pink, terlihat sangat lembut dan menggoda. Tatapan matanya begitu polos, manik matanya yang hitam legam mengisyaratkan ketulusan dan kecerdasan. Paket komplit profil idaman tin pada sosok wanita yang dia cari selama ini, namun ini pria, God. Antara bersyukur dan kecewa.
"Khxthos na, ayo kita pulang, kau ingin makan siang dimana? Kita pilih apa yang kamu suka. Ayo.. " ajak tin menarik lembut lengan kanan pete, sementara yang digandeng masih manyun karena kesal dan sakit.
Mobil mewah hitam itu pun meluncur menuju sebuah restoran terkenal di bangkok. Tin masih saja menggandeng tangan pete saat memasuki restoran, sontak saja hal ini menarik perhatian semua orang. Siapa yang tidak kenal dengan tuan muda tin, putra mick tongraya, salah satu pengusaha sukses Thailand.
Pete hanya memandang kesal pria tampan yang ada di depannya. Persetan dengan ketampanan dan karisma tin yang membuat semua orang terpana, baginya tin hanya seorang pemaksa.
Setelah sebulan lebih bersama, tin sudah terbiasa dengan semua kebiasaan, kesenangan pete, termasuk makanan apa yang disukainya. Jika tidak terlalu dekat orang akan berfikir mereka adalah pasangan suami istri. Di Thailand hubungan seperti itu memang di legalkan. Bagaimana tidak, jika seorang pria tampan menggandeng mahluk cantik dengan wajah merajuk yang imut. Sedangkan sang pria tampak berusaha membujuk si cantik dengan tatapan penuh kasih.
Orang-orang tidak terlalu mengenal pete, karena dia jarang, bersosialisasi dengan dunia luar, orang-orang hanya menduga-duga siapa sebenarnya pemuda manis yang bersanding dengan pangeran tampan dari M'not corp tersebut.
"Sudahlah, cepat makan makananmu, aku ada meeting dengan klien satu jam lagi, aku akan mengantarmu pulang. " ucap tin sambil menyendok makanan ke mulutnya sendiri.
Pagi tadi dia tidak sempat sarapan. Meeting dadakan yang diadakan tepat pukul delapan membuatnya pontang panting karena harus menjemput pete dan mengantarkannya ke kampus lalu ke kantor. Entah mengapa tin tidak merasa terganggu dengan rutinitas paginya, antar jemput pete, bahkan hidupnya jadi lebih teratur. Hidupnya hanya berputar dari rumah, kampus pete, kantor, meeting dengan klien, sampai rumah sudah capek dan tidur. Dia lebih jarang, hampir tidak pernah pergi minum-minum di bar bersama teman-temannya seperti dulu. Semua fasilitas mewah hidupnya pun telah kembali namun ada rasa enggan meninggalkan pete.
"Tin... Aku ingin ke kampus dengan mobilku sendiri " ucap pete dengan nada takut.
Goziila di depannya itu sewaktu-waktu dapat menyemburkan api jika sedang marah.
"Besok kita pakai mobilmu" jawab tin singkat.
"Bukan begitu, aku ingin ke kampus sendiri, kau tentu sangat sibuk jika harus mengantar dan menjemput ku setiap hari. " kata pete berusaha bernegosiasi.
"Kau tidak suka kuantar? " tanya tin mengangkat wajahnya dari piring yang ada di depannya.
"Bukan.. Aku tidak ingin merepotkanmu, aku sudah sehat bukan.. " jawab pete.
"Dengar tuan muda, tante dan om Putti sudah berpesan padaku untuk menjagamu, paham.. Lanjutkan makanmu, jangan bahas lagi permasalahan ini, aku akan tetap mengantarmu kuliah, jika tidak bisa kau bisa pergi dengan supir pribadi ayah atau paman bim. Tidak ada protes. " tandas tin, tanpa memperhatikan wajah kecewa pete.
"Tin.. Aku tidak mau orang yang melihat kita menjadi salah paham jika kita.. "
"Kita adalah pasangan?? Kau malu jalan denganku? Kau takut pacarmu akan marah?? " tanya tin.
"Bukan, aku tidak punya pacar." jawab pete sambil menunduk.
Seulas senyum tergambar diwajah tin saat mendengar jawaban pete, entah mengapa hatinya merasa lega.
"Jadi apa masalahnya? Jika orang bertanya akan ku jawab kau kekasihku, atau kalau perlu kau adalah 'istriku', orang lain tidak akan usil jika aku menjawab demikian, hn? " jawab tin. Sontak saja wajah pete menjadi merona mendengar jawaban tin.
"Tapi tin.. "
"Habiskan makananmu, kita pergi sepuluh menit lagi. Aku akan membayar bill nya. Duduk dan habiskan makananmu." perintah tin.
Pete hanya memandang malas makanannya dan membiarkan tin meninggalkan meja mereka.
Lima belas menit kemudian tin kembali dengan membawa sesuatu di dalam kantong plastik dan berjongkok di samping tempat pete duduk tadi. Pete tentu saja kaget saat tin tiba-tiba meraih tangannya dalam posisi berlutut
"Tin.. Apa yang kau lakukan?" tanya pete agak terkejut.
Dengan telaten tin mengoleskan salep ke pergelangan tangan pete yang tadi tampak merah akibat cengkraman tangannya.
"Aku akan menjelaskan ini pada tante nat, kau tidak perlu khawatir pete. " ucap tin saat selesai mengoleskan salep di tangan pete.
Melihat itu pete tersenyum. Dia merasa terharu dengan sikap tin yang sangat gentlemen. Pemandangan tersebut pun tak luput dari perhatian pengunjung restoran, beberapa ada yang mengabadikan momen tersebut.
"Khxbkhun krab tin. " ucap pete dengan wajah merona.
Rona merah di wajah pete membuat tin terpana. Jantungnya berdetak kencang melebihi saat dia melakukan lari di trek treadmill nya di rumah. Shia pete!! Buru-buru dia berdiri dan mengajak pete meninggalkan restoran.
Sepanjang perjalanan mengantar pete pulang tin tidak berkata apa-apa. Tidak menjahili, mengolok-olok pete seperti biasanya. Tin tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Sudah sebulan ini dia selalu bersama pete, hampir setiap harinya, namun baru tadi dia merasakan getaran aneh di hatinya. Nafasnya jadi memburu seperti orang yang habis berlari seratus putaran saja.
Mobil mewah hitam metalik itu sudah berada di depan pintu utama kediaman puttichai chirathivat namun tin tidak mematikan mesin mobilnya seperti biasa dan mengantar pete bertemu ibunya.
"Khxbkhun na krab tin" kata pete sebelum keluar dari mobil.
"Krab. Katakan pada tante nat, aku tidak bisa masuk, aku ada meeting di kantor siang ini. Sampaikan salamku untuk om dan tante nat pete" jelas tin sebelum menekan pedal gas meninggalkan rumah besar yang dilengkapi taman di depan rumah itu.
"Oke krab" jawab pete sebelum tin meninggalkan dirinya.
.
Sejak menurunkan pete di rumah tin tidak mengucapkan sepatah katapun, bahkan saat meeting dia hanya menerima saja apa yang dikatakan ayahnya.
"Ada yang kau pikirkan nak? " tanya mick saat melihat putranya itu hanya duduk termenung di depan laptop yang menyala tanpa melakukan sesuatu.
" tidak dad... "
"Kau memikirkan pete bukan? " tanya mick kembali dengan senyum tipis di bibirnya.
"Ti.. Tidak ddad.. " elak tin saat manik matanya bertemu dengan pandangan ayahnya.
Dia tidak pernah bisa berbohong kepada ayahnya. Entah jurus apa yang dimiliki ayahnya sehingga dia tidak pernah bisa membohongi ayahnya itu.
"Dad tahu kau sedang memikirkan dirinya, kenapa? Apa pete merasa sakit kembali? Kau bisa bercerita pada nat.. Atau Putti.. Atau kau mulai menyukainya hn? " goda mick pada putra tunggalnya itu.
"Mai..! "
"Apapun perasaanmu saat ini, dad hanya mengingatkan mu satu hal, pete itu anak yang istimewa. Jadi jagalah dia. Jangan pernah kau sakiti hatinya. Dad sangat senang bersama pete kau mulai belajar bertanggung jawab tin. " jelas mick sambil menepuk pundak penerusnya itu.
Saat ini tin memang masih belajar di kantor ayahnya. Mick belum berani mempercayakan bisnis keluarga pada putranya itu, sebelum tin benar-benar mengerti arti tanggung jawab. Dan perlahan tapi pasti tin mulai belajar bertanggung jawab atas perbuatannya setelah bertemu pete. Pemuda manis yang dia gadang menjadi calon menantunya kelak.
Selain cantik untuk ukuran pria Thailand, pete anak yang baik, sopan dan pintar, darah pengusaha yang diwarisinya dari Putti menjadikan pete calon pewaris takhta yang mumpuni. Terlepas dari sikap manjanya pada sang ibu. Bagi mick pete telah membantu mengembalikan putranya yang dulu sempat hilang.
Di sisi lain tin masih fokus dengan rasa penasaran dirinya pada apa yang baru saja dialaminya. Mungkinkah dia memang menyukai pete? Atau apa?
.
.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

TBC
hyaaa.. Rampung juga chapter ini.
Garing bgt ceritanya, mohon kritik saran na, juga vote na.. 😊
Perbedaan alur cerita yang jauh dari sumber inspirasi ceritanya yakni drama BL LBC, memang sengaja dibuat cos ini memang versi saya pribadi, tanpa maksud lain.
Typo pasti masih nyebar, tulisan rempet banget, editing na masih belajar.
Nuhun yang sudah baca, trus vote
Happy reading guy's

My Koon Chai (HIATUS)Where stories live. Discover now