14

1K 74 10
                                    

Tin menatap rindangnya pepohonan di halaman rumah sakit dari dalam ruang rawat mewah itu dengan perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Dia gelisah dan takut.Enam jam setelah pete terbaring di ruang ICU,kini belahan jiwanya itu tampak damai dalam balutan piyama biru muda bermotif kelinci kesukaannya. Tin sengaja tidak memakaikan piyama yang disediakan rumah sakit,karena dia tahu pete sangat tidak menyukainya.

"Eungghh.."

"Sayang..syukurlah kau sudah sadar."

"Tin..haus.."

"Minumlah. Apa yang kau rasakan? Pusing?"

"Sedikit pusing. Kenapa aku ada disini? Kita pulang saja,aku tidak suka di sini.."

"Kita akan pulang setelah kondisimu membaik."

"Apa ayang terjadi? Apa.........apa yang terjadi dengan dia? Tin..apakah dia baik-baik saja?" tanya pete dengan wajah penuh kecemasan.

"Tenanglah,dia baik-baik saja. Sayang..dengarkan aku....aku rasa...kita....tidak bisa mempertahankannya....aku rasa...."

"Mai!! Aku tidak ingin kehilangan dia! Jangan katakan kau berubah pikiran tin. Kau sudah berjanji padaku untuk menjaganya,kau menemukan penggantiku??!! Kau tidak lagi mengingginkan keturunan dariku??!"

"Sayang..dengarkan aku.. Jangan berpikir seperti itu..aku hanya.."

"Tidak. Aku akan merawatnya sendiri jika kau tidak mengingginkannya. Aku akan membesarkannya sendiri. Kau bisa pergi kemanapun kau mau. Tinggalkan aku?!!" teriak pete seraya turun dari ranjang dan mencabut selang. IV yang tertancap di lengan kanannya.

Dengan sigap tin mengangkat tubuh limbung pete dan memangkunya diatas sofa,disamping ranjang rawat di sana. Tin memeluk tubuh ringkih pete erat,samar-samar dirasakannya tubuh itu bergetar,dan isak tangis mulai terdengar.

"Jangan pernah berpikir tentang itu. Jangan pernah berani menyimpan pikiran seperti itu padamu pete. Aku mohon. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sayang.." ucap tin lirih.

"Lalu kenapa kau tiba-tiba memintaku untuk melepaskannya. Aku tahu dia sangat rentan didalam sana,aku tahu dia akan membahayakan hidupku,aku tahu semua,aku mendengar apa yang mae katakan padamu...tapi aku tidak perduli. Aku ingin bayi ini lahir,aku mengingingkan bayi ini,aku ingin anakku." kata pete dengan penuh penekanan. Kedua pipinya telah basah.

"Anak kita sayang...aku tidak ingin kehilanganmu pete. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Jadi lebih baik dia yang pergi."

Plakk!!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri tin. Sisi wajah itu menjadi merah. Tin berusaha keras mengendalikan dirinya. Karena yang dia hadapi sekarang adalah pete, jika dia tidak bisa mengendalikan amarahnya saat ini,maka penyesalanlah yang akan menghampirinya.

"Aku kira kau seorang gentleman tin..tapi nyatanya kau seorang pengecut! Kau egois." desis pete dengan sorot mata penuh kebencian. Rasa marah telah membuatnya lupa siapa yang baru saja ditamparnya.

"Pete...sayang...aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin kehilanganmu...kau adalah hidupku,tarikan nafasku,pusat seluruh duniaku...bagaimana aku bisa kehilanganmu?!!"

"Dengan menyingkirkannya??!" teriak pete. Dengan sedikit kasar pete melepaskan rangkulan tangan tin di pinggangnya dan berusaha berdiri.

"Sayang..jangan begini..nanti kau jatuh..dengar...mae bilang kita masih bisa punya anak lagi sayang...saat kondisimu stabil..aku mohon pete ikuti permintaanku kali ini,semua demi kebaikanmu.." pinta tin lembut.

"Setelah itu apa kau kira kau bisa hidup tanpanya??!!! Tidak tin, aku yang bisa merasakan bagaimana dia berada di dalam tubuhku,merasakan keberadaannya. Mai,aku tidak akan mau melakukannya! Jika kau sampai  membawanya pergi,maka aku juga akan pergi. Aku akan pergi bersamanya" ucap pete dingin.

My Koon Chai (HIATUS)Where stories live. Discover now