Prolog

15.4K 1.6K 174
                                    

Ingatlah bahwa penderitaan seorang perempuan, tidak dimulai dari rahim siapa ia dilahirkan tapi penderitaannya dimulai saat dia memilih pendamping yang tidak shaleh.

-Abyaizzudin-

🌿🌼🌿

Putri menatap wajah ibunya yang tersenyum dengan begitu lebar dengan tatapan sendu. Sungguh kalau bukan demi ibunya hari ini Putri akan lebih memilih mengurung diri di kamar.

Rasa sesak memenuhi rongga dadanya yang sedari kemarin berdenyut sakit. Kenapa Allah membuka rahasia menyakitkan itu di kala resepsi pernikahan tinggal satu hari lagi?

Bagaimana mungkin ia sampai hati membatalkan pernikahannya dengan Kafka di kala panggung pelaminan yang begitu cantik telah menghiasi teras rumahnya dan seluruh sanak saudara telah berkumpul. Semenjak ia memutuskan menikah dengan Kafka ibunya selalu terlihat tersenyum, namun Putri tahu dibalik senyuman itu ternyata keadaan kesehatan ibunya sedang tidak baik dan ia tak ingin memperburuknya dengan keinginannya untuk membatalkan pernikahannya yang tinggal satu hari lagi.

Putri merasa dirinya begitu bodoh, kenapa dia begitu mudah percaya pada ucapan Kafka, dia dan Kafka bagaikan langit dan bumi seharusnya hal itu membuat ia berpikir panjang sebelum akhirnya menerima lamaran Kafka, ditambah lagi sikap Kafka hanya akan manis bila berada di lingkungan Putri, sebaliknya bila Putri berada di lingkungan Kafka sikap Kafka seketika akan berubah dingin.

Beberapa kali secara tidak sengaja ia bertemu Kafka di kantor, layaknya seperti kebanyakan wanita diluar sana yang merasa senang saat bertemu dengan calon suaminya, Putri tersenyum pada Kafka dan hendak menyapa Kafka, namun sebelum kata sapaan terucap Kafka sudah terlebih dulu mengalihkan pandangannya dari Putri bahkan senyuman Putri tak dibalas oleh Kafka.

"Pak Kafka ganteng banget yah, Put," pujian itu terucap oleh Nirina, teman yang bekerja di satu devisi yang sama dengan Putri.

Putri hanya mengangguk. Kafka memang tampan jadi apa yang dikatakan oleh Nirina benar adanya.

"Udah ganteng, kaya lagi tapi sayang juteknya nggak ketulungan. Aku udah beberapa kali jumpa sama dia dan sebagai bawahan yang baik tentu aku senyum sopan sama dia tapi senyum aku nggak pernah dibales, kaya kamu barusan senyumannya nggak dibales. Bikin sakit hati banget kan, jadi sekarang kalau ketemu sama dia mending nunduk aja, nggak usah disenyumin."

Perkataan yang diucapkan oleh Nirina sedikit melegakan hati Putri, mungkin memang sudah menjadi tabiat Kafka yang sulit membalas senyuman orang lain, namun perlahan perasaan lega itu terkikis oleh sikap Kafka yang semakin dingin pada Putri bila keduanya bertemu di kantor. Bagaimana pun juga Putri adalah calon istrinya seharusnya Kafka dapat memperlakukan Putri sebagaimana mestinya.

Putri tidak meminta Kafka mengakui dirinya sebagai calon istri kepada para karyawannya di kantor yang Putri inginkan hanyalah Kafka dapat bersikap hangat padanya.

Perasaan lega yang terus terkikis akhirnya menemui titik akhir, Putri merasa mulai ragu untuk melanjutkan rencana pernikahannya dengan Kafka, namun setiap ia hendak mengutarakan hal itu pada ibunya rasa tidak tega selalu menyelimuti hatinya. Ia tak mau meniadakan kebahagiaan yang tengah memenuhi hati ibunya.

Rasa sakit yang senantiasa menyerang hatinya setiap kali Kafka memperlakukannya dengan begitu dingin dia coba redam, berharap kelak seiring berjalannya waktu sikap dingin Kafka akan berubah.

Namun kemarin, tepat pukul tujuh malam ada seorang wanita datang ke rumahnya, wanita itu mengaku teman Kafka dan ingin bertemu dengan Putri, awalnya Putri merasa begitu bahagia menyambut kedatangan wanita itu karena Putri berpikir wanita itu hendak memberikan selamat padanya, namun ternyata bukan.

"Saya pacarnya Kafka," kalimat itulah yang wanita itu katakan pada Putri, "Saya datang kemari untuk memberitahu kamu kalau kamu tengah dijadikan bahan taruhan oleh Kafka."

Putri tidak langsung percaya dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu. Bahan taruhan? Sangat klise bukan, siapa dirinya di mata Kafka dan teman-temannya hingga dijadikan sebagai bahan taruhan.

"Maaf baru memberitahumu sekarang, saya pun baru tahu hal ini tadi siang dari salah satu sahabat Kafka, Kafka sungguh sangat kekanak-kanakan dengan menjadikan kamu sebagai bahan taruhan, saya harap kamu mau memaafkan Kafka dan kamu pun mau membatalkan pernikahan ini."

"Kenapa harus saya yang membatalkannya?" Hanya kalimat itu yang mampu Putri ucapkan, sungguh Putri tidak menyangka kalau ia akan berada di situasi seperti ini, situasi yang seringkali ia temukan di novel-novel yang sering ia baca.

"Karena Kafka tidak ingin membatalkan pernikahan ini, gengsinya terlalu tinggi untuk menerima kekalahan, jadi saya mohon sama kamu batalkan pernikahan ini. Saya sangat mencintainya saya tidak mau dia menjadi bajingan dengan menikahimu lantas setelah itu langsung akan menceraikanmu."

Cerai? Akad saja baru akan tergelar. namun kenapa kata cerai sudah menyapa pendengaran Putri meskipun kata itu bukan langsung terucap dari Kafka tetap saja berhasil menyakiti hati Putri.

Ya Allah apa yang harus aku lakukan?

"Masya Allah, Dek. Kamu cantik banget, pangling Kakak lihatnya," pujian yang terlontar dari bibir Kak Nisa menarik perhatian Putri dari semeraut problem yang kini tengah Putri pikirkan.

Akhirnya setelah lebih dari satu jam hanya duduk termenung di depan meja rias setelah selesai didandani untuk pertama kalinya Putri melihat pantulan dirinya yang sudah dibalut oleh kebaya berwarna putih melalui cermin, make up sederhana yang sengaja ia minta kepada tukang rias sudah menghiasi wajahnya.

Cantik? Putri tidak merasa dirinya cantik, dia terlihat biasa saja.

"Senyum dong Dek, biar makin kelihatan cantik, jangan masang wajah sedih kaya gitu," pinta Kak Nisa sambil menyentuh bahu Putri dengan lembut, "Wajar kalau kamu merasa takut karena akan menyandang status baru, Kakak juga waktu pas mau nikah ngerasain itu tapi percaya sama Kakak rasa takut itu akan seketika hilang saat akad telah tergelar dan suami kamu mencium kening kamu, ciuman itu menandakan kalau ia akan selalu ada buat kamu dan akan menjadikan kamu ratu dalam hidupnya."

Putri tak bisa berucap apapun untuk membalas rangkaian kalimat yang kakaknya ucapkan karena ia tahu Kafka tidak mungkin dapat menjadikan ia ratu dalam hidupnya.

🌿💙🌿

Padalarang, 01 Muharram 1445H

Setelah "Senja Bersama Arkhan" selesai kini akan berlanjut pada kisah Putri dan Kafka. Semoga kalian menyukainya 😉

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now