#117 ; Diakronik

10.1K 1K 344
                                    

"Tuan Kim Junmyeon yang terhormat," Ayah membuka pembicaraan dengan intonasi sarkasme yang kental. "Bukan kah tindak tandukmu ini sangat tidak terhormat?"

Kim Junmyeon tidak bicara, sibuk menelaah berbundel-bundel siasat di dalam kepalanya. Mencoba meredakan debaran brutal kala Namjoon menelisik keseluruhannya seakan menguliti. Jemari Junmyeon merengkuh lentik-lentik cantik Hoseok, meminta kekuatan besar; dan Hoseok membalasnya begitu dalam. Seulas senyum tak enyah barang sedetik ketika Junmyeon menyadari genggam mereka semakin kuat, dan Hoseok mati-matian menahan air matanya agar tak luruh. Bukankah ini adalah keputusan paling riskan dan arif bagi mereka? Sekalipun nantinya lautan menentang karang dengan ombak-ombak tinggi dan tajam, Hoseok maupun Junmyeon memiliki satu sama lain untuk berlabuh.

Keheningan meramu dalam senyap di ruangan maha luas bersamaan aroma barang-barang antik. Picingan mata logam yang memperkuda semua entitas sekarat, bahkan mereka pun tahu. Benda mati seperti mereka pun bahkan mahfum, hati setiap pecundang yang halai-balai, lokomosi bergerak anestesi berdarsawarsa lamanya. Yang selalu mereka sebut sebagai; manusia.

"Kim Junmyeon," Kalau pun ini adalah penolakan, maka Junmyeon tidak akan pernah membangkang. Sekalipun hatinya berteriak hingga sumbang, maka Junmyeon tidak akan pernah membangkang. "Pergi dari rumah saya, dimohon dengan sangat."

"Apa Ayah tidak bisa mendengarkan kami sekali ini saja?" Hoseok lantas berkelit karna tidak tahan. Tidak tahan dengan sikap sang Ayah, apa tujuannya? Apa tujuan sosok pertama yang paling ia cintai di muka bumi itu? Kalau ini tentang kebahagiaannya, maka Ayah telah salah menilai. "Untuk sekali ini saja, apa aku pernah minta sesuatu dari Ayah? Bukan kah selama ini aku selalu hormat pada kata-kata mu? Kenapa Ayah, kenapa aku tidak boleh bahagia?"

Gigi-gigi rapuhnya bergemelatuk tertahan, kulit tangan yang lambat laun kuyu saling mengusap defensif, menahan emosi atas amarah yang tak mendasar ketika ranggas itu terlihat terbakar dalam redup di kelereng matanya yang hitam legam. "Hoseok sayang, masuk kamar."

"AKU BUKAN ANAK KECIL, AYAH!"

"AYAH BILANG MASUK!"

Hoseok bangkit tanpa berpikir, walau seluruh tubuhnya gemetar menginjaki undak demi undak tangga, walau seluruh tubuhnya bagai di hempaskan ke tanah berbatu. Ayah tidak pernah terlihat semurka ini, tak pernah semarah ini. Bahkan tak pernah membentak keluarga kecilnya, malaikat dan bidadari-bidadarinya. Tapi Hoseok terlanjur tak habis pikir. Mungkin juga keadaannya sekarang yang tidak menaungi tubuh seorang diri membawa dampak begitu sentimentil.

"Namjoon..." Dari ekor mata saja, Namjoon dapat melihat luapan abu-abu dari mata istrinya, Seokjin. Bukan amarah, bukan karna ia juga bersalah. Sebab ini tentang siapa yang merenggut siapa. Dan Namjoon ingin berlari, memeluk gunung-gunung serpihan kaca pecah. Untuk menghukum dirinya.

Maafkan Ayah. Maafkan Ayah. Maafkan Ayah.

.

"Hoseok, ini Bunda."

"Hiks, Ndaa~"

Hoseok tanpa sepenggal kata pun, langsung memeluk sosok paling lembut didunia. Menyadari betapa sudah lama ia berkubang dalam keruh egoisme. Ketika telapak selembut sutra yang kuat bagai tembaga itu meluruh di atas kepalanya, mengusaknya bagai anak yang hilang di hiruk pikuk bianglala. Menggenggam kembali tangannya yang kehilangan jalan menuju taman bunga.

"Tidak apa-apa. Tanpa Seokie utarakan, Bunda akan selalu mengerti."

Lagi dan lagi, Bunda adalah sosok yang tak akan pernah sanggup makhluk manapun definisi. "Mau dengar sesuatu? Anggap saja penyemangat."

"Guyonan?" Seokjin lantas menepak halus lengan anak tengahnya, dan Hoseok tersenyum manis dalam dekap hangatnya. Sudah lama sekali, seperti sudah sangat lama. "Begini-begini Bunda tahu karya para penyair, salah satunya, yang selalu Ayah baca kala malam. William Shakespeare; kesanggupan cinta amat hebat, dia bisa membuat binatang menjadi manusia, dan manusia menjadi binatang."

Daily InstagramWhere stories live. Discover now