3. Precious

39.7K 4.8K 2.2K
                                    


Bagian tiga.

Precious (2009)

"The other day, I cried.

But you know what?

Fuck that day.

That's why God, or whoever, makes other days."

❀❀❀❀

Yasa

"Lo kenal Utara?"

Terlalu tiba-tiba, sampai gue gak bisa mengontrol ekspresi dan berakhir diam tanpa menjawab.

Jelas gue kenal Javier.

Namanya lagi wara-wiri di industri kreatif karena hampir semua perusahaan  yang advertising-nya diurus oleh dia sekarang pasti berhasil, padahal perusahaannya belum genap setahun muncul.

Kita baru saling kenal beberapa bulan lalu -Mas Dave yang kenalin. Kalau gak salah, dia adik ipar sahabatnya Mas Dave yang pembalap.

Kebetulan, dia yang mengurus poster, digital marketing, dan semua content advertisement yang berhubungan dengan salah satu film gue. Waktu itu, dia juga baru mulai perusahaan startup-nya dengan tiga temannya yang lain. Gue gak tau kenapa sekarang dia ada di Nota Tower karena dulu kantornya cuma ada di sebuah studio kecil yang berlokasi di Jagakarsa.

"Lo kenal Utara?" tanpa sadar gue malah mengulang pertanyaannya.

Meskipun sempat diam beberapa detik -mungkin karena bingung, Javier langsung menjawab dengan senyum tipis.

"Kalo Utara yang lo maksud sama kayak Utara yang gue maksud. Utara Paramayoga.. Dia kerja di kantor gue."

Kerutan kening gue yang menjawab.

"Maksud lo di Pengantara?"

Sadar dengan kebingungan gue, Javier kembali meluruskan,

"Iya. Gue udah pindah kantor. Bukan di studionya Aslan lagi. Sekarang di sini."

Ah, so it makes sense.

"Oh, hahaha," gue mengangguk-angguk pelan, sekedar berpikir cepat gimana caranya Javier bisa pindah kantor ke sini. Apa mungkin perusahaannya dibeli Nota Group?

"Lo belom jawab pertanyaan gue," kali ini Javier mendahului. Sekedar menyadarkan kalau gue memang melupakan pertanyaan pertamanya tadi. "Lo kenal Utara?"

"Kenal."

Sangat kenal.

Tapi gue gak merasa perlu menjelaskan panjang lebar tentang kenal seperti apa yang gue maksud.

Gue juga gak berharap dia bertanya lebih jauh karena sebenarnya, dia gak perlu melakukannya. Buat apa juga?

"Ah...," Javier mengikuti anggukan berulang gue sebelumnya. "Dunia sempit ya hahaha."

Dunia sempit.

Gue setuju.

Tapi kadang gue berpikir, memang dunianya yang sempit atau hanya takdirnya aja yang kadang gak pernah menginginkan satu manusia pergi terlalu jauh dari manusia yang lain?

Simply because they're connected.

Really connected.

"Iya hahaha."

LukacitaWhere stories live. Discover now