11. Us

28.4K 3.9K 1.7K
                                    




Bagian sebelas.

Pre-caution

This chapter will be filled with a lot of cursed and inapproriate words.

Us (2019)

"Our biggest enemy.. is ourselves."

❀❀❀❀

Yasa

Masih di awal tahun 2014,

Tahun di mana terlalu banyak yang terjadi sehingga sampai kapanpun nanti gue hidup, gue gak akan pernah melupakan tahun itu.

"Ah kamu ini.."

"Ya kalo Ayah ajakin Kak Tara main catur kan aku gak ngerti."

"Ya moso jadi uler tangga begini sih.. Emangnya Ayah anak SD. Ya gak, Ut?" waktu itu hari Sabtu,  Ayah, Yessi, dan Tara duduk bersila di karpet anyaman ruang tamu mengelilingi papan ular tangga yang sampai sekarang masih dimainin adik gue, meskipun dia udah SMP.

"Ih! Tar! Tar! Atau Ra gitu kalo mau manggil! Bukan Ut! Emang Ayah kira Uut Permatasari?"

"Wong Utara-nya aja ndak marah, kok jadi kamu yang sewot."

Gue kira Tara bakal kepusingan dan kapok datang ke rumah gue setelah tau kalau Ayah dan Yessi gak pernah berhenti berantem -bahkan Yessi hampir gak pernah berantem sama gue atau abang gue, Mas Dave. Tapi bisa-bisanya dia malah berantem sama Ayah, dan Ayah juga kayak anak bocah yang gak mau kalah.

"Hahahaha. Aduh, Om lucu banget sih."

Tapi dia malah ketawa, dan itu bukan tawa pertamanya. Dari awal dia kenal Ayah, Tara gak pernah keliatan terganggu sama sekali sama sikap Ayah yang kadang suka sok asik dan sok kenal. Tara juga bisa langsung nyambung sama adek gue yang kadang kalo ngomong suka ceplas-ceplos dan gak dipikir dulu.

"Ih, Ayah tuh jayus tau, Kak. Jangan mau bilang dia lucu! Entar dia ge-er."

"Yeuu..," Ayah menoyor kepala Yessi pelan hanya untuk bikin teriakan Yessi membahana seisi rumah.

"DUH! AYAH!"

"Hahahaha."

"Tuh, Ut. Galak dia. Biarin aja entar galak terus sampe tua, ndak ada yang mau."

"BODO!"

Gue ditawarin ikut main padahal, tapi gue harus jemur Bunda di taman dan suapin Bunda makan -Bubur jamur ayam yang Ayah bikin. Iya, Ayah emang lumayan jago masak.

"Jadi udah resmi?" suara pelan Bunda membuyarkan senyum gue yang saat itu muncul sambil gue menatap mereka -menatap Tara, terutama.

Gue hanya menoleh ke arah Bunda, menarik kursi roda pelan untuk mendekat sembari gue menaruh dagu pada pundak Bunda.

"Ya kan?" tanya Bunda lagi yang cuma gue jawab dengan senyum. "Yasaaaa.. Yasa.. Akhirnya kamu punya pacar."

Mungkin karena Mas Dave yang sampai sekarang gak terlihat sama sekali tertarik serius cari cewek padahal udah berumur, Bunda jadi agak sedikit sensitif pada gue dan cukup bawel untuk nanya, "Kamu belum ada pacar, Yas?"

Bunda bahkan menyayangkan kenapa temen kampus gue hampir semuanya cowok, dan nyuruh gue buat cari cewek secepatnya seolah-olah dia dikejar setoran.

LukacitaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora