23. Dallas Buyers Club

24.1K 3.5K 1.3K
                                    


Bagian dua puluh tiga.

Dallas Buyers Club (2013)

"Sometimes, I'm fighting for a life I ain't got time to live."

"You need to enjoy your life, little lady. You only got one."

❀❀❀❀

Javier

Gue pernah dengar, manusia punya tiga fase dalam hidupnya sebelum mati -lahir, beradaptasi, dan belajar. Jadi, kalau emang hidup sesuai sama teori itu, berarti sebelum mati, manusia harus belajar dulu.

Tadinya gue menolak untuk percaya, capek juga kalau sampai mati lo harus belajar terus. Tapi belakangan, entah kenapa gue mulai mempercayainya.

Manusia lahir buat hidup.

Beradaptasi buat bertahan.

Dan belajar untuk gak mati.

Kalau ketiganya dikorelasiin, berarti tujuan manusia hidup cuma satu, bertahan supaya gak mati.

Setiap gue melihat sudut kantor ini seorang diri menjelang larut malam. Tepat ketika Bang Jul dan Rumi pulang lebih dulu sekitar jam 6, lanjut ke Lando yang selalu pulang jam 7 karena harus makan malem di rumah bokap nyokapnya, lalu Aslan yang terakhir sekitar jam 10 malam sebelum jadwal disc jockey-nya menunggu, gue selalu... selalu dan selalu menolak buat percaya kalau hidup cuma soal bertahan biar gak mati.

Setiap sudut kantor ini seolah berkata kalau gak, gue hidup buat sesuatu. Sesuatu yang besar, sesuatu yang hebat, sesuatu yang selalu gue banggain meskipun gue gak tau namanya apa.

Tapi ditarik mundur lebih jauh, gue merasa apa yang gak gue yakini itu cuma bentuk dari penolakan gue akan kenyataan.

Gue maksa.

Gue push diri gue, dan semua orang di sekitar gue untuk ikut dalam penolakan gue.

Sampai akhirnya gue capek sendiri.

Kayak sekarang.

"Loh, Mas Japi? Kumaha atuh datang malem-malem di dieu?"

Selalu ada tempat untuk pemberhentian ketika banyak yang gue pikirin. Gue gak bisa pulang ke rumah, gak bisa numpang ke apartemen Dirga karena dikit lagi dia bakalan cabut dari kantor buat pindah tugas ke luar negeri, dan dari sekian banyak tempat yang bisa jadi tempat gue melewati pikiran suntuk gue malam ini, bisa-bisanya gue ke sini.

"Eh, Pak, hahahaha. Gak apa-apa. Ada yang ketinggalan."

Ke Puncak. Ke villa bokap, jam 12 malam. Melewati tiga setengah jam lebih perjalanan tanpa benar-benar tau tujuan utama gue ke sini apa.

"Heu? Apaan yang ketinggalan Mas Japi?"

"Bunga."

Pikiran gue memang kosong sepanjang perjalanan, tapi entah kenapa kekosongan pikiran gue itu membawa gue kemari. Semua yang berat di pundak gue tentang Pengantara justru mempertemukan pikiran gue dengan satu orang.

"Tara bilang dia petik-petikin bunga di taman depan. Tapi lupa dia bawa."

Sampai detik ini, gue masih ingin memojokkan diri sendiri karena tingkah yang gak masuk akal kayak gini.

"Heu? Mbak Tara? Enggak ah. Dia gak petik bunga kok. Dia kemarin cuma bilang sama saya kalau suka sama bunga-bunga di depan. Bagus katanya. Tapi dia gak petik kok," Pak Joko bertutur dengan logat Sunda yang kental.

LukacitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang