22. Tree of Life

24.1K 3.6K 515
                                    

Bagian dua puluh dua.

Tree of Life (2011)

We love this life to hold on
If we give up, there is no love anymore.


**

Tara

Takut.

Kalau ditanya soal, "Lo punya rasa takut gak?"

Gue pasti akan dengan lantang jawab, "Punya."

Banyak pula.

Gue takut nonton film horror dan thriller -terakhir kali gue nonton film Midsommar karena tertipu dengan kovernya yang estetik dan cantik, gue jadi parno sekalipun itu di siang hari karena ternyata hal-hal menyeramkan juga bisa terjadi saat langit lagi terang.

Gue juga takut sama kecoa. Sekalipun orang bilang kecoa itu bisa mati kalau dia terbalik, gue tetap panik dan teriak-teriak setiap melihatnya.

Banyak deh, kalau gue sebut satu-satu, mungkin chapter ini bakal penuh sama daftar rasa takut gue.

Emang, gue ini manusia cupu. Apa-apa ditakutin.

Tapi ternyata, ada ketakut lain yang kasat mata. Saking kasatnya, kadang manusia enggan mengakui sebagai rasa takut. Cuma khawatir, mereka bilang. Padahal, itu takut. Rasa takut yang amat besar, yang lebih mengganggu dari film horror, yang lebih menyebalkan dari kecoa.

"Gue gak pernah lihat dia kayak gitu..," sepanjang jalan turun dari Puncak, gue gak berbicara, dan sepertinya Aslan juga gak berniat memulai duluan. Atau mungkin karena ini masih terlalu pagi, dan dia masih ngantuk. "Javi maksud gue..," tatapan gue fokus menikmati pemandangan samping yang gak benar-benar gue amati.

"Gue gak pernah lihat dia... Kayak gitu."

"Javi selalu berani," suara Aslan membuat gue menoleh menatapnya. "Dari awal kita kenal pas SMA, dia gak pernah takut siapapun dan apapun," sedikit lebih lama gue tau, dia sedang tersenyum simpul sambil menyetir.

"Dia pernah gebuk kakak kelas yang pernah curangin gue pas tanding sepakbola. Pas kuliah, Lando juga cerita kalau Javi pernah maki-maki dosen yang sengaja kasih Lando nilai jelek biar dia ngulang mata kuliah yang sama. Javi pernah samperin perusahaan lama Bang Jul cuma untuk permaluin mantan atasan Bang Jul di sana karena udah fitnah dia. Javi selalu berani...."

"Javi selalu berani akan hal apapun yang ganggu orang-orang pentingnya and a little did he knows.... That it's his actual fear, definitely."

Hati gue perlahan terenyuh.

"Javi takut terlalu sayang dan peduli sama orang lain karena once they become his dear ones... He would do anything to keep them save. With all the powers he had."

"Sometimes it makes him scary. Sometimes it makes other people hate him. And sometimes... It hurts him too."

"It hurts him to not being able to do anything to keep them."

"Javier.... He hates losing."

"He is fear of losing."

Ada masa di mana gue merasa, gue orang paling menderita di dunia ini.

Gue sering merasakan banyak rasa yang gak spesifik tanpa pernah tau alasannya.

Gue merasa sedih tanpa tau apa yang menyedihkan.
Gue merasa takut tanpa tau apa yang ditakutkan.
Gue juga merasa nol tanpa tau apa yang membuatnya demikian.

Ada masa di mana gue merasa, apa yang gue lakukan semuanya sia-sia tanpa sisa. Gue hanya melakukannya semata-mata karena gue perlu melakukannya. Gue lupa bagaimana rasanya punya keinginan. Gue gak tau harus melakukan apa.

Lantas, setiap bertemu dengan orang yang lebih kuat, orang yang sungguh tau pondasi hidup mereka akan terbangun macam apa, gue semakin menelungkupkan diri gue lebih dalam. Merasa gak pantas untuk mengeluh karena rupanya ada orang lain yang lebih berjuang dari gue, merasa gak pantas memuji diri karena pencapaian gue belum seperti mereka.

Akhirnya, gue sering sakit sendiri.

Itu ketakutan gue.

"Javi... Mungkin dia orang yang paling gue respect selama gue hidup." Aslan tiba-tiba berucap lagi. "Itu yang jadi alasan gue tetep ada di Pengantara.. Meskipun sampai detik ini gue gak tau ke depannya nasib kita gimana, meskipun gue capek dan seringkali pengen cabut dari Jakarta, bangun hidup baru sendiri. Itu semua karena gue respect dia."

Umur bekerja gue di Pengantara masih secuil. Yang gue lihat setiap hari hanya bagaimana Aslan, Lando, Bang Jul, Rumi, dan Javier bekerja setiap hari. Jadi, gue gak pernah tau di luar sana, sedekat apa mereka, bagaimana eratnya benang yang terikat antar mereka satu dengan yang lain. Sesekali gue hanya menerka, tapi gak pernah memastikan.

Sebab bicara soal sahabat, gak pernah ada yang pasti. Semuanya tentang terkaan. Yang semoga pastinya kelak akan jadi sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang menyakitkan.

"Tapi pelan-pelan... Rasa respect itu berubah jadi kasian.."

Tatapan gue yang melunak, perlahan mengeras. Gak tau apa alasannya.

"Kasian karena gue tau... Selama ini semua hal yang bikin gue respect sama dia.. Beraninya dia, kuatnya dia, hebatnya dia.. Bikin dia seolah-olah gak boleh punya celah buat ngeluh, buat istirahat, buat seenggaknya.. Jadi diri dia sendiri aja."

Itu yang belum begitu gue resapi selama ini. Bukannya semua manusia memang begitu? Melihat dari kasat mata, apa yang tampak aja, dan merasa itu sudah lebih dari cukup.

"Javier.."

LukacitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang