28. Ordinary Love

22.9K 3K 1.2K
                                    




Bagian dia puluh delapan.

Ordinary Love (2019)

"You are sincerely the best thing that ever happened in my worst life."

❀❀❀❀

Yasa

Setiap hari baru tiba, gue hampir selalu melupakan apa yang terjadi kemarin. Yang gue khawatirkan selalu hari esok. Atau minimal apa yang akan terjadi satu jam lagi, dua jam lagi, lima jam lagi. Akan makan apa gue nanti malam, apa yang harus gue kerjakan nanti.

Tapi lucunya, di tengah-tengah gue akan bertanya pada diri sendiri, "Buat apa lo lakuin ini semua?"

Lalu sekejap mata, gue mendadak gak tau apa yang sedang gue lakukan sekarang.

"Kamu sudah dua hari gak ke kantor. Bukannya minggu ini film kamu udah premiere?" suara Ayah terdengar membuka pintu kamar. Seharian gue lebih banyak tidur. Kalaupun keluar rumah, itu hanya untuk menjemput adik gue dari kampus.

"Udah dikerjain orang marketing."

Ayah sempat terdiam menatap gue sebelum melipat tangan di depan dada dan menghela napas.

"Kamu baik-baik aja?"

Mungkin Ayah tau, gue bukan tipe orang yang akan tidur seharian di rumah, dan baru akan keluar cuma untuk makan, atau untuk mencari-cari kerjaan yang terkesan maksa. Dan ini bukan hanya gue lakukan sehari ini aja, tapi berhari-hari sebelumnya.

"Not really," lagipula gue gak ada celah untuk mengelak lagi. "I hate my movie."

Everything about it.

Gue bangun dari tidur dan terduduk di atas kasur sambil bersender pada tembok ketika Ayah perlahan berjalan dan duduk di samping gue.

"Inget gak waktu dulu kamu bilang sama Ayah, kamu pengen jadi sutradara?" gue ingat hari itu. Sesaat setelah gue mendaftarkan diri ke kampus diam-diam di saat teman-teman gue masih berusaha mencari PTN lain dengan jurusan yang paling pasti. Akuntansi biar besarnya bisa jadi auditor, Teknik supaya bisa punya gaji besar, DKV supaya bisa bertahan di dunia kreatif, IT karena jaman mulai masuk digital.

Sementara gue malah memilih perfilman, sehingga gue takut orang tua gue akan berkata gak.

"Kamu bahagia sekali..," gue menoleh hanya untuk. mendapati Ayah sedang menatap lurus ke depan sambil tersenyum. "Kamu bilang kamu melakukan ini, karena kamu yakin, film akan bikin kamu jadi orang sukses. Kamu akan belajar sungguh-sungguh.. Kamu akan banggain keluarga.. Karena film itu passion kamu. Cita-cita kamu."

Senyum ayah perlahan mengembang pahit, seperti sedang mengenang sesuatu.

"Terus Ayah jadi inget diri sendiri dulu... Dari kecil seneng main Lego, terus selalu seneng lihat orang bangun rumah, waktu SMA, Ayah bercita-cita jadi kontraktor. Harus jadi insinyur. Harus bisa bangun gedung," beliau menatap gue sebelum melanjutkan,

"Ternyata waktu udah kerja... berhasil gapai cita-citanya... rasanya gak sebahagia itu. Capek tetap capek. Kecewa juga sesekali. Ingin berhenti juga seringkali.. Tapi yang mungkin lebih bikin sakit hati... ekspektasinya yang terlalu tinggi. Karena apa yang buat Ayah capek, kecewa, dan ingin berhenti itu... adalah cita-cita Ayah sendiri."

Gue terkesiap, namun gue juga ingin tertawa. Karena semua tentang dunia ini rupanya lucu.

"Ada beberapa hal yang memang cukup jadi cita-cita saja...Karena ketika jadi nyata.... mereka jadi gak semenyenangkan saat membayangkannya dulu."

LukacitaWhere stories live. Discover now