18; (Tak) Mengucapkan Selamat Tinggal

656 209 21
                                    




Satu bulan telah berlalu, selama itu pula Govinda tak datang menemui Haidar.

Namun Haidar tak menyerah berharap akan kehadiran Govinda.

Semesta memang senang memberi kejutan, senja kali ini, anak laki-laki itu mendengar derap kaki seseorang mendekat dari belakang, indera penciumannya membau harum buah stoberi yang amat ia kenali.

Namun ada hal yang kini mengganjal, kenapa ia juga mencium bau kopi yang datang bersamaan dengan bau stroberi?


"Halo, kamu Haidar?"

Suara asing itu menyapa rungu Haidar, "Iya, maaf, dengan siapa?"

"Ini Fathoni, sama Gowon juga kok."

Haidar menoleh ke kanan dan ke kiri dengan senyuman lebar terpatri pada bibirnya, "Fathoni? Gowon? Maaf, kalian di sebelah mana?"

"Kananmu," Suara Govinda menyahuti, kini ia tengah duduk sembari merapikan bajunya, setelah turun dari gendongan saudara kembarnya.



"Pakai waktu kalian, ya? Aku ke tempat lain dulu." Suara Fathoni kembali terdengar sebelum akhirnya suara langkah kaki yang semakin lama semakin jauh, menyambangi rungu Haidar.

"Jadi, apa kabar, Gowon?"

Butuh waktu lama hingga akhirnya Govinda membuka suara, "Masih kaya biasanya kok, Haidar."

"Sebulan ini isitirahat total kah?"

"Hm, bed rest total."

Lalu hening hingga beberapa saat.



"Haidar?"

"Iya?"

Terdengar helaan nafas yang berat keluar dari bibir Govinda, "Aku minta maaf ya, mungkin selama ini udah sering ngerepotin kamu."

Haidar tertawa ringan, "Ngerepotin apanya? Nggak kok, sama sekali nggak."

"Ya-aku pasti ngerepotin...."

"Enggak, serius, kamu ngomong apa?"

Hening lagi, terkadang diselingi Govinda yang seperti ingin berbicara, namun diurungkan, hingga beberapa kali terus berulang, membuat Haidar sibuk bertanya-tanya dalam hati.

Pasti ada sesuatu yang Govinda sembunyikan.


"Gowon, siniin tanganmu."

Namun Haidar tak mendapatkan sambutan apapun.

"Gowon?"

"Haidar, boleh tanya sesuatu nggak?"

Haidar mengangguk tanpa mengalihkan tatapan kosongnya.


"Kamu punya harapan nggak akhir-akhir ini?"

Haidar lagi-lagi terkekeh ringan, "Harapan aku dari dulu kayanya masih sama, malahan. Kamu sendiri?"

"Jangan ketawa ya? Sederhana kok, aku cuma pengen punya banyak temen."

Haidar menghela nafas, lalu tersenyum untuk kesekian kalinya, "Aku nggak bakalan ketawa, lagian itu harapan mulia kok. Sekarang kamu punya banyak temen, kan?"

"Ya," Govinda menerwang, "Makanya akhir-akhir ini harapan aku bertambah."

"Oh ya? Memang kamu mau apa?"


Hening beberapa saat lagi, hingga kemudian Haidar kembali meminta Govinda untuk berbicara, "Gowon? Hei? Masih di situ nggak?"

"Aku nggak mengharapkan umur panjang, aku cuma mau orang yang ada di sekitarku bahagia. Boleh nggak berharap kaya gitu?"

Haidar bergerak-gerak gelisah, "Hush, nggak boleh ngomong kaya gitu! Orang di sekitar kamu juga bahagia kalo kamu baik-baik aja, jadi jangan pernah mikir yang enggak-enggak."

Tanpa alasan yang jelas, kini Haidar gelisah.

Namun tiba-tiba Govinda tertawa, "Nggak usah panik gitu astaga Haidar, aku cuma bercanda."

Meskipun Govinda berkata demikian, Haidar tetap menangkap getaran aneh dalam kalimat Govinda barusan.

"Oh iyaa, kamu belum bilang loh apa harapan kamu."

Tanpa ekspresi berarti, Haidar menyahut, "Dari dulu sampai sekarang, aku nggak punya harapan lain kecuali diberi kesempatan buat melihat lagi, Gowon."

"Kalau boleh tau, kamu kepengen lihat apa?"

"Aku mau lihat orang yang udah banyak membantu hidupku, anggota panti, ngelihat dunia lagi-"

Kalimat Haidar terdengar menggantung.



"Aku juga mau lihat senja lagi, sama kamu."

"Y-ya?"

"Kamu pasti cantik, aku pengen lihat kamu."

Lidah Govinda kelu.

"Aku pengen lihat kamu dalam bingkai senja. Dua hal yang belum bisa aku lihat saat ini. Maaf kalau terdengar egois, tapi jangan pergi kemana-mana, ya?"




Seolah terpukul telak, sore itu, lagi-lagi Govinda tak bisa jujur.

Dan Govinda, tak sanggup mengucapkan kalimat perpisahan, tak sanggup mengucapkan kata selamat tinggal.


tbc

One and Only | Seungmin, Gowon ✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें