20; Surat Terakhir

762 211 34
                                    


Untuk beberapa alasan, Haidar mempertanyakan tentang isi surat Govinda yang selalu saja sama.

Isinya hanya mengatakan bahwa ia masih baik-baik saja, terus seperti itu, namun Govinda tak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi walaupun terus menuliskan jika ia baik-baik saja.

Haidar lelah termakan gelisah, senja kali ini ia memaksa ikut keluar bersama Ibu Panti menuju ke taman seperti rutinitasnya dahulu.


Haidar berjalan tergesa kearah bangku taman.

Sempat terpaku untuk sesaat, ternyata tempat yang selama ini dibaginya bersama Govinda memang seindah ini.

Namun hari ini lain. Langitnya tak berwarna jingga.

Langitnya gelap, seolah hendak menangis.

Lalu hati Haidar berubah semakin gelisah. Memikirkan sebuah nama yang selalu akrab disapanya.


Hari itu pula, Haidar memutuskan untuk membalas surat Govinda, menanyakan apakah Haidar bisa menemuinya.

Namun sekitar satu minggu kemudian, Haidar mendapat surat balasan dengan gaya penulisan sedikit berbeda.




Mungkin, nggak?

-Gowon






Dan Haidar tak lagi mendapat surat sejak hari itu.




-one and only-




Haidar tak pernah menyangka hari itu akan tiba.

Haidar akan kembali memiliki sebuah keluarga, Haidar akan merasakan bagaimana indahnya dunia.

Haidar masih ingat bagaimana Ibu Panti mendatanginya dengan seorang wanita paruh baya, sembari menangis untuknya saat memberikan sebuah berita bahagia pada Haidar.


Hingga tak terasa, hari ini Haidar sudah berdiri di depan rumah barunya, meninggalkan Panti dan segala kenangan indahnya. Bohong kalau Haidar tak merasa sedih.

"Ayo masuk, Haidar."

Suara anak laki-laki yang mungkin seumuran dengannya terdengar menyapa dan membuyarkan lamunannya, yang aneh, Haidar seperti mengenal suara serta parfum anak tersebut.

Anak itu mengantar Haidar ke kamar barunya, "Ini kamar kamu, maaf ya soalnya sempit..."

Haidar menoleh, "Kamu bercanda? Kamar ini nyaman banget kok! Makasih ya!"

"Sama-sama, ngomong-ngomong, kamar ini bekas kamar saudari kembarku, jadi maaf kalau warna catnya bukan seperti selera kamu."

Haidar tersenyum ramah, "Eh nggak papa kok!"


Anak laki-laki dihadapannya mengusap air mata, membuat Haidar sedikit terbelak.

"Loh kamu kenapa nangis?"

"Enggak kok, oh iya, aku ada sesuatu buat kamu! Tolong dibaca, ya, Haidar?"

Haidar menerima sepucuk surat berwarna biru, aneh, inipun tak terasa asing, "Buatku?"

Sang lawan bicara mengangguk lalu berbalik undur diri.

Haidar memperhatikan surat tersebut hatinya resah ketika membuka amplop berwarna biru manis tersebut.

Haidar mengenali tulisan rapi pada surat tersebur, namun Haidar masih mengelak, berharap mungkin ini semua hanyalah semata sebuah kebohongan.

Matanya kembali membaca surat itu berulang-ulang, namun nama yang ada dan ditulis rapi di ujung kanan surat tersebut benar-benar amat ia kenali.

Tak berubah meskipun ia membolak-balik surat tersebut. Tak ada pula kebohongan, semua ini adalah nyata.



Haidar termangu, air mata mulai menetes membasahi lembaran surat tersebut.

Tetap saja, setelah lama membaca surat tersebut berulang-ulang dan mengingat surat-surat lain yang pernah ia terima dahulu, membuat anak itu mengerti.

Air matanya diseka dengan hati-hati, dan anak itu berlari menghampiri anak laki-laki sebayanya.

"Kamu Fathoni Chanindra? Kamu Nino?"

Anak itu mengangguk.

Entah datang darimana, wanita tua yang sepertinya Bunda Govinda, datang dan memeluk erat tubuh Haidar dan Fathoni.

"Mulai sekarang, kamu bagian dari kami, Haidar."

Haidar tersenyum, menyeka kristal dinetra Bunda.





"Bunda, Nino, antarkan Haidar ke tempat Gowon ya?"






Hai, Haidar!

Cahaya sudah kembali padamu, dan aku turut bahagia!

Maaf, aku cuma bisa lari dan bohong sama kamu.

Kalau kamu mau tau siapa sosok gadis dalam foto, itu adalah aku! Iya, aku nggak ngambil fotonya pas senja, dan aku nggak secantik yang selalu kamu harapkan, jadi maaf.

Lagi, aku bener-bener minta maaf, nggak bisa penuhi permintaan kamu waktu itu.

Nyatanya, aku nggak baik-baik aja, Haidar. Aku juga bakal pergi kemana-mana.

Harusnya aku jujur dari awal ke kamu, tapi setiap kali aku berhadapan sama kamu, aku bahkan jadi bingung, takut, dan akhirnya nggak bisa jujur sama kamu.

Sebagai gantinya, tolong tinggal sama Bunda dan Nino, ya?

Tolong jaga duniaku dan semua duniamu yang masih tersisa, karena saat kamu baca kalimat panjang ini, mungkin aku udah nggak ada lagi di dunia.

Terimakasih untuk cahaya yang selalu kamu berikan padaku, satu dan satu-satunya hal yang sangat aku syukuri adalah bertemu denganmu dikala senja itu.

Sekali lagi, maaf karena nggak bisa nemenin kamu lihat senja, nggak bisa lagi bicara panjang lebar, dan nggak bisa lagi main ke panti asuhan.

Jangan nangis, ya? Jaga Bunda sama Nino.

Gowon sayang sama Haidar, Gowon bersyukur kenal sama Haidar disisa hidup yang Gowon miliki.

-dari jingga yang telah berpulang pada senjanya, Gowon.









tbc

epilogue left

One and Only | Seungmin, Gowon ✔Where stories live. Discover now