Part1

6.9K 354 9
                                    

Han - Gang Park (Han = Han, Gang = Sungai, Park = Taman, jadi Taman Sungai Han) adalah deretan tempat yang sudah biasa di datangi Seo Joohyun. Entah untuk berjalan-jalan, jogging ataupun bersepeda ria. Itu sudah kebiasaan di akhir minggu bersama Ayah atau Ibunya. Atau paling-paling dengan beberapa teman dekatnya.

"Semenjak Appa sibuk, aku jarang melihat pagi disini." Gumamnya sambil menikmati keadaan sekitar.

Seohyun kemudian menatap dua orang yang sudah berjarak dengannya. Sekitar lima atau enam kaki dari tempatnya berdiri. Seorang namja cuek yang hobby berbicara sedikit kini terlihat mengaggumkan, wajahnya tersenyum tulus sambil mengajak anak kecil disebelahnya mengobrol panjang lebar.

Kedua tangan mereka yang bertautan kini berayun-ayun kecil. Membuat keakraban yang terjalin cukup hangat dan membuat banyak mata memandang iri. Mereka bahkan menggumam tentang betapa tampannya namja itu. Dan menyayangkan masih muda sudah memiliki anak. Tetapi beberapa diantaranya bahkan tidak mempermasalahkan dan siap untuk dijadikan ibu untuk anak itu. Ck. Menggemaskan.

"Aku jadi merindukan Appa." Ujar Seohyun iri.

Ia kemudian berjalan sendiri. Kalau tanpa Ayah dan Ibunya, ia benar-benar bukan gadis apa-apa. Tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak berguna dan diandalkan. Mungkin Ibunya sudah lelah mengurusinya atau Ayahnya angkat tangan. Bisa sajakan. Karena ulah kekanakannya yang sudah tidak wajar.

"Appa, Eomma, jeongmal mianhaeyo." Katanya lagi.

Seohyun menatap langit. Seharusnya ia bisa berpikiran dewasa. Ayolah, usianya sudah 17 tahun dan harusnya ia bisa bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri. Memang mau sampai kapan ia bergantung dengan Ayah dan Ibunya terus-menerus.

Pandangannya menurun ke sekitar. Beberapa pasangan muda saling bergandengan mesra, atau ada yang duduk berdekatan dengan pandangan cinta. Seohyun tidak pernah iri tentang itu. Mungkin hati kecilnya pernah mengatakan bahwa kapan waktunya tiba? Dicintai oleh namja selain Ayahnya. Namun semua hati kecilnya berterbangan saat melihat wajah lelah Ayahnya setiap pulang kantor.

Bagaimana bisa ia berpaling dari Ayahnya, sementara Ayahnya berkorban banyak untuk Ibunya? Atau bagaimana bisa hidup tanpa pelukan Ibunya. Seohyun sudah terlanjur menggantungkan diri di hidup Ayah dan Ibunya. Kalau tanpa mereka mungkin ia akan mati karena tidak bisa melakukan apapun.

Kalimat itu apa masih bisa digunakan? Sudah lebih dari 6 jam ia tidak menatap Ayah dan Ibunya tapi ia masih bisa bernapas dengan baik. Masih bisa berdiri diantara orang-orang yang lain. Senyum kecil Seohyun tersungging. Ia memang hidup tetapi bagian lain dirinya merasa kosong. Apa ini dinamakan hidup tanpa jiwa yang utuh?

***

"Berhenti menangis seperti itu Eonni, ck, kau ini bukan anak muda lagi."

Yeoja yang menangis itu menatap sebal sahabatnya, "Karena siapa aku begini? Ini semua karena ulah konyolmu."

"Waeyo? Kenapa aku? Aku hanya memberikan Eonni saran dalam mendidik putrimu itu." balas yeoja lainnya tak mau disalahkan.

"Mendidik apa? Seharusnya aku tidak menerima sejak awal. Kau bahkan tidak benar mendidik anak-anakmu." Kim Taeyeon menutup mulutnya cepat. Aish, baboya. Ia menatap menyesal pada sahabatnya itu.

Wajah yeoja lainnya tersenyum miris. "Apa Eonni menyesal menyetujui usulanku?"

"Bukan menyesal Fanny ~ah, aku hanya memikirkan hidup Seohyun saja." Bantah Taeyeon halus. "Aku sangat mencintainya. Dia putriku satu-satunya, meskipun nakal dan sulit diatur. Tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Seohyun tetaplah putriku yang manis dan menggemaskan."

Tiffany Hwang tersenyum lalu memeluk Taeyeon. "Karena aku tahu Seohyun anak yang baik makanya kuharap dia bisa memberikan sisi positif untuk Eun Bi, Eonni ~ah, aku bukanlah Eomma yang baik untuknya. Dia bahkan lebih memilih tinggal dengan Kyuhyun dibanding debngan Ibunya sendiri."

SeoKyuBiWhere stories live. Discover now