Hampa

7 1 0
                                    

Jika tak niat bersama, mengapa menarikku masuk dalam orbitmu? Kau genggam erat pangkal hasta, berceloteh
perihal harapan, ikatan, dan janji untuk kita. Dan salahku, yang menggantungkan asa. Meskipun kutahu kau tiada rasa.

Hingga suatu periode, manakala dia bertandang dengan menawar peluk mengurai pelik, aku masih bergeming. Adakah puing harap tersemogakan? Sayangnya, netraku enggan menangkap kilat sukarela darinya. Seketika, hatiku mati dijebak rasa.

Langit kian menggelap, gugus rekata terlihat gemerlap. Indahnya malam saat ini, bertolak belakang dengan hatiku yang kelabu.

Balada menyelimuti tiap sudutnya. Menjelma potongan-potongan rumit yang mana menjerit sakit.

"Jadikan aku rumahmu, maka kau akan tahu rasanya dicintai tanpa perlu bersusah payah mengejar cinta," ujar pria bernetra gelap di sampingku.

Bibirku tersenyum kecut. Tak ada getaran yang membuncah, seolah perkataannya hanyalah semu. Kutarik lenganku dari tautannya. Batinku menjerit tak keruan, apakah aku
benar-benar sudah mati rasa?

Getir. Benar-benar terjebak dalam elegi yang kau ciptakan. Kau memasungku dalam ruang gelap yang berisi namamu —tak ada nama lain. Menguncinya rapat kemudian seolah memaksanya terisolasi dari mayapada luar.

Sebab, setelah kehilangan yang meninggalkan luka, rasaku hampa.

—xiaorina

Setangan Kenangan Where stories live. Discover now