Azzara yang Tak Pernah Terlupa

807 34 3
                                    

PLIS BANGET NGEPLAY
PAMUNGKAS - i love you but im letting go

Saya tertawa sembari memegang novel yang dikirimkan dua hari lalu. Novel dengan sampul seorang laki-laki tengah merunduk di bawah teriknya matahari. Kata penulisnya, ini fiksi, nggak nyata. Padahal nyatanya, saya masih ingat dengan jelas kisah cinta abu-abu rona merah jambu yang kita berdua alami dulu. Saya juga baca kok, bagaimana komentar kalian menanggapi betapa bejatnya saya sebagai laki-laki.

Saya nggak tau kalau Azzara dengan indahnya menulis bait-bait cinta tentang asmara kita. Bahkan dengan apiknya, dia membuat karakter saya seolah guru paling digemari sedunia. Sampai ketika saya melihat postingan di salah satu media sosialnya tentang launching buku pertamanya yang ternyata menjadi best seller, saya berniat untuk membelinya. Beruntung ketika saya melihat salah satu aplikasi belanja online, buku ini masih tersedia.

Awalnya saya juga enggan untuk mengetik cerita tentang masa lalu. Bukan karena malu atau berusaha melupakannya, tapi karena malas mengetik dan memilih menikmati Minggu dengan menyesap kopi sembari membaca koran - atau barang kali mengantar Adinda, anak pertama saya yang lahir tiga tahun yang lalu, untuk les renang.

Di sini saya akan menulis untuk meluruskan apa-apa yang sepertinya menjadi salah paham bagi kita. Tapi kalau untuk urusan saya brengsek, saya akui bahwa memang itu faktanya. Menyakiti perempuan setulus Azzara adalah salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya. Jadi, masih mau mendengarkan bagaimana saya menyakitinya?

Bermula dari masa kelulusan magister saya, relasi Ayah menawarkan untuk bekerja di sebuah sekolah karena seorang guru yang memang sesuai jurusan saya akan pensiun. Kata Ayah, ikuti saja, lagipula sekolah tersebut cukup bergengsi. Batin saya berteriak, jangan mau kerja karena relasi Ayah! Cari sendiri, Ndra!

Tapi kemudian, guru Matematika kala itu memang tidak banyak yang membutuhkan karena sudah full semua. Saya pergi ke Puncak bersama beberapa kawan saya yang berhasil haha-hihi dengan uang hasil kerja mereka.

Saya merenung, bertanya, kapan bisa seperti mereka. Kemudian, tanpa pikir panjang saya menghubungi Ayah untuk menjadwalkan pertemuan dengan relasinya.

Jumat, minggu ke tiga bulan Februari, saya menghadiri tes sebagai formalitas. Dengan kemeja polos yang saya gulung sebatas siku, saya mengikuti tes wawancara bersama lima pendaftar lainnya. Wajah mereka nampak tegang, serius. Batin saya berteriak bahwa saya nggak pantas di sini. Tapi kenyataan selalu menarik paksa saya untuk kembali ke titik yang menyadarkan bahwa ternyata memang saya membutuhkan pekerjaan ini. Persetan dengan mereka-mereka yang juga butuh pekerjaan ini!

Pertama kali masuk kelas, saya sedikit gugup karena jujur saya masih minim pengalaman. Kemudian, seorang siswi perempuan datang terlambat ke kelas saya dengan kantung mata yang nampak dengan jelas. Melihat wajahnya, saya jadi teringat dengan teman sepermainan dulu, Mas Yovie yang memang berada satu tingkat di atas saya. Ini..... Adiknya yang sering diceritakan dulu?

Dulu, beberapa kali saya main ke rumah Mas Yovie. Adiknya yang entah siapa namanya--saya lupa waktu itu, habis pulang dari sekolah. Memang waktu itu Azzara masih kecil. Namun yang Azzara tidak ketahui, kita sudah pernah bertemu lagi, beberapa tahun lalu saat Mas Yovie menikah dengan istrinya.

Saya tau mulut sampah saya nggak berhak mengatakan ini. Tapi, kalau boleh jujur. Azzara itu... manis.

Banyak sekali penyesalan-penyesalan saya mengenai Azzara. Sebentar, kita panggil Zara saja ya? Mulai dari jarak usia saya dengan Zara, keputusan saya menunjukkan perasaan saya kepada Zara, menjadikan Zara bahan omongan dari mulai siswa sampai guru, dan.... mengkhianati Zara dengan teman saya yang juga sesama guru.

Mengkhianati Zara tentulah penyesalan terbesar saya. Waktu itu kami sedang berlibur, udaranya dingin. Nggak ada orang selain saya dan dia--yang saya enggan sebutkan namanya. Dan... semua itu berakhir begitu saja.

AdiksiWhere stories live. Discover now