Prolog

13.8K 1K 116
                                    

[ Markren
One's Place ]







_____

[Mark]

Jam menunjukan tepat pukul 17.00, sedangkan pemuda dengan tas gunung dan dua buah koper tidak kunjung menemui jemputanya di halte. Bus pada pukul segini harusnya cukup untuk menampungnya, tapi nyatanya takdir kembali menjadi sasaran empuk pelampiasanya. Bagaimana pemuda itu menyumpahi dirinya yang harus pindah dari gemerlapnya dunia malam, atau dengan paksaan kembali hidup mandiri dengan uang pamannya.

Mark benci mendapat paksaan dalam hidupnya. Jiwa bebasnya tidak pernah mampu dikekang siapapun, belengu gadis manapun, bahkan orangtuanya jarang berhasil untuk mengikatnya—atau bahkan tidak pernah—ketika mark menginginkan sesuatu, tidak dengan uang orangtuanya dia membeli, jiwa bebasnya memaksa untuk bekerja, kemudian mendapatkan barang itu. Apapun itu ia lakukan secara mandiri.

Tidak termasuk mandi.

Ia benci air, badanya terkenal bau jika sudah duduk didepan televisi pada hari minggu, hari ini —mark merutuki dirinya—karena bus yang tak kunjung ada. Dirinya kembali merutuk dan menyalahkan takdir yang membuatnya tidak mandi sejak pemberangkatan pertama.

"Sialan." umpatnya ketika mencium bau tidak sedap, berasal dari tong sampah disebelah bangkunya.


Crittt...


Saat itulah Bus pertamanya datang, sepi seperti ekspetasinya selama ini. Hanya duduk dua orang pria dan seorang pemuda SMA yang tampak sibuk dengan urusanya masing-masing.

Mark duduk dibangku tengah dengan seribu kepercayaanya pada Sopir Bus yang akan membawanya ke rute yang benar. Pemuda bermata almond mendengus ketika menatap jalanan yang tampak asing baginya, ketika jalanan menunjukan pemandangan kota asing yang tidak ia ketahui sama sekali.

Bus berhenti di halte berikutnya, tempat dimana Mark harus turun untuk pergi ke tempat tinggal barunya—yang dibiayai oleh Pamannya yang baik hati dan tidak sombong.

Jalanan sepi, adalah pemandangan yang ia saksikan saat melangkahkan kakinya keluar Bus. Tidak seperti Seoul tempat tinggalnya yang ramai setiap saat, Jalanan kota ini tidak padat sama sekali, bisa dibilang rendah penduduk.

Kuliah, jika bukan demi itu Mark tidak akan sudi untuk sekedar meninggalkan gemerlapnya kehidupan di Seoul, walau harus bekerja untuk menikmatinya. Orangtua Mark bukan pasangan yang mampu untuk membiayai kebiasaan minumnya yang akut. Mark paham betul kondisi orangtuanya, kali ini saja dia mengalah untuk membuang sikap bebasnya.

Apartemen, pemandangan yang harus ia biasakan ketika ada di kota ini. Rumah baru baginya yang disewakan pamannya, menjulang cukup tinggi diatas tanah lapang berbeton.

Tidak, ralat soal apartemen. Ini adalah rumah susun. :)

Percayalah itu meruntuhkan ekspetasi Mark saat menginjakan kakinya kedalan bangunan itu. Tampak anak kecil berlarian dengan kutang putih, wanita dibelakangnya mengejar sambil marah-marah dengan bahasa china. Kemudian kakek-kakek yang duduk berdua dengan nenek-nenek bertongkat, bergandengan dengan mesra. Adapula penampakan seorang pria yang mengenakan daster baby blue, melenggak-lenggok saat turun dari tangga.

"Woya... Penghuni baru?" Mark merasa kakinya barusaja ditabrak eksistensi mini.

Mark menatap bocah itu gusar, gugup kembali melanda saat beberapa orang disekitarnya menatap.

One's Place || Markren✔Where stories live. Discover now