cerita pendek (8)

5 0 0
                                    


Satu Dua Tiga, Aku Akan Jadi Lebih Baik

1.30 wib

Sudah 30 menit berlalu sejak waktu perjanjian. Kenapa yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba? Apakah tiba-tiba sakit, jadi belum sempat memberi kabar? Atau ada kemungkinan lainkah?

Safa setia menanti kabar. Smartphone di genggamannya dibiarkan menyala sejak ia mendudukkan tubuhnya di kursi kafe itu, menanti. Sesekali ia membuka aplikasi akun-akun sosial medianya, menghilangkan bosan. Sekaligus menghilangkan gelisah karena ditatap orang-orang sekitarnya.

Ia sudah duduk di sana selama 40 menit. 10 menit lebih awal dari janji. Tanpa pesanan, tanpa teman. Hanya duduk. Pelayan kafe sudah 2 kali menghampirinya 20 menit terakhir, bertanya pesanan. Safa hanya menggeleng, tidak mau, aku masih menunggu temanku.

10 menit lagi berlalu. Pelayan kafe sepertinya sudah kesal. Dihampirinya Safa dan bertanya sekali lagi, namu jawabannya sama saja, sebuah gelengan.

"Maaf, tapi anda sudah duduk di sini sejak 50 menit yang lalu. Sementara adalah aturannya jika harus memesan setiap 2×30 menit. Tidakkah anda ingin memesan sesuatu? Minuman setidaknya, Nona," tegur sang pelayan.

"Lalu kenapa? Aku di sini baru 50 menit. Belum 2×30 menit seperti yang anda katakan. Aku sedang menunggu temanku, ah tidak, narasumberku. Aku wartawan, tidak beretika sekali jika aku memesan sebelum narasumberku datang," balas Safa.

"Maaf Nona. Memang 2×30 menit aturannya. Tapi, tidakkah anda ingin minum dahulu? Segelas jus mungkin?" tidak menyerah, sang pelayan tetap bertanya.

"Ya sudah, segelas jus. Terserah rasa apa," balasan dengan nada malas keluar dari mulut Safa.

"Baiklah, tunggu sebentar," sang pelayan kafe menunduk lalu berlalu.

Segelas jus sirsak tersaji di depan Safa. Ia menatap haus kepada jus itu, tapi tetap kekeuh tidak akan minum hingga narasumbernya tiba. Jus ini buat beliau saja, pikirnya.

5 menit, Safa menyerah. Ia minum jus itu dengan nikmat. Kenapa pelayan kafe itu tahu ia suka sirsak? Sudahlah, pasti hanya kebetulan.

2.00 wib

3 kali panggilan telepon, tidak diangkat semua. Benar-benar sakit sepertinya. Akhirnya, Safa bersiap meninggalkan kafe. Percuma saja, satu jamnya terbuang. Juga uang 10.000,- nya untuk memebeli jus. Ia berkemas, berdiri lalu ke luar dari kafe tersebut.

Tujuannya kini adalah rumah. Dengan menonton anime sebentar mungkin akan menjadi moodbooster-nya. Ia terlanjur bad mood. Semalaman disiapkannya berbagai pertanyaan untuk si narasumber yang bahkan tidak datang pada jam perjanjian. Setidaknya jika telat ia masih bisa bersabar, namun ini tidak datang sama sekali.

Di perjalanan menuju rumah, ia merutuki atasannya. Tadi malam tiba-tiba ia dapat perintah mewawancarai seseorang tentang perubahan kurikulum pendidikan. Orang penting katanya. Tempat dan waktunya sudah disediakan. Tinggal datang dan wawancara. Sialnya, Safa harus menyiapakan pertanyaannya sendiri. Ayolah ia baru 1 bulan menjadi wartawan dan diberi tugas serumit itu. Yang benar saja. Tapi karena demi gajinya bulan ini, ia datang. Deringan smartphone memutus sesaat rutukannya. Narasumber, begitu yang tertulis di layar. Buru-buru Safa menjawabnya.

"Ah, selamat siang bu mm," Safa terdiam, ia bahkan tak tahu nama narasumbernya.

"Ya selamat siang. Maaf, kenapa tadi anda menelepon? Dan dengan siapa saya berbicara?"

"Ah saya Safa bu, yang ingin mewawancarai ibu terkait perubahan kurikulum. Sebelumnya sudah diberitahu oleh rekan saya kan bu?"

"Ah ya. Di mana anda sekarang? Saya sudah menunggu dari 3 menit yang lalu," Safa membatin, etdah nih ibu, 3 menit juga, lagian siapa yang suruh telat?

"Baik bu, saya balik lagi. Tadi karena menunggu 1 jam dan ibu belum datang saya putuskan pulang," Safa memutar kemudinya kembali ke kafe, "1 menit lagi bu," lanjutnya. Sindir narsum boleh jugalah, pikir Safa.

Safa memasuki kafe tempatnya menunggu tadi. Pelayan kafe memberi sambutan, hanya senyuman kecil sebenarnya. Ia melirik meja-meja, menerka seperti narasumbernya. Yang Safa tau, narasumbernya adalah seorang perempuan. Kenapa Dafa tidak memberikan foto ibu itu setidaknya?

Ditelepon saja, pikirnya. Dan Safa dapati narasumbernya duduk di meja dekat jendela, melihat ke smartphonenya yang berbunyi dengan kening berkerut. Lalu dijawabnya panggilan tersebut. Melambaikan tangan ke arah pintu kafe yang mana berdiri Safa di sana. Safa hampiri ibu itu dengan wajah sumringah.

Safa menyapa "Permisi bu-" "-Fany," sela si narasumber. Safa kikuk, menyesal tak tahu namanya. "Ah ya, bu Fany. Apa kabar?" Si ibu narasumber mengangguk sekilas, baik. Basa basi sebentar, lalu dimulailah wawancara tersebut.

Safa melihat berita buatannya dengan nanar. Ia sedikit kesal dengan si narasumber. Ibu Fany itu. Ah tidak, banyak kesal mungkin lebih benar. Bagaimana tidak? Ketika ia memulai wawancaranya saja si ibu sudah mengritik gayanya. Beliau bilang kalau Safa masih sangat kecil untuk hal begini. Beliau bilang pertanyaan yang diberikan Safa tidak kritis. Berbagai hal. Kesal menyapa Safa tentu saja.

Safa ingat pesan ibunya, terlintas tiba-tiba. 'Safa, kritikan orang harusnya menjadi cambukan buat diri kita. Mereka mengritik berarti peduli bukan? Yah, kita harus menanggung sabar memang, tapi bukankah itu lebih baik?'

Ya, Safa ingat itu. Ia ingat. Dihirupnya napas pelan lalu menekan tombol send. Ia kirim ucapan terima kasih kepada narasumbernya. Lalu mengirim berita kepada rekan kantornya.

Ia memejamkan mata. Berhitung. Satu dua tiga, aku akan jadi lebih baik tentu saja. Kenapa tidak?

This StoryWhere stories live. Discover now