Chapter~39🍁✔

25.2K 1K 67
                                    

"Jangan mencariku saat aku sudah mulai ikhlas dengan semua ini. Aku hanya ingin pergi dengan kebahagiaan. Bukan kesedihan dan air mata."

~Fransiska Gabriela Leonard Dawson

----

Satu yang aku pikirkan saat semua pandanganku belum benar-benar menghilang. Mungkin ini saatnya aku pergi. Tapi tak masalah jika ini sudah takdir dan waktunya aku pergi.

Tak apa jika aku harus pergi meninggalkan semua ini. Setidaknya aku tidak harus menderita lebih lama lagi.

Namun, yang aku sesalkan kenapa aku harus pergi dihadapan mereka semua. Aku tak suka melihat mereka mengeluarkan air mata. Aku tak mau kepergianku diiringi dengan air mata.

Kusunggingkan senyum saat samar-samar ku dengan Brian memanggilku.

"Briela.."

Dan setelah itu, semua pandanganku benar-benar menghilang.

---

Tak ada yang bersuara di tempat itu. Semua diam membisu. Suara mereka seakan-akan menghilang. Mereka berusaha tegar tak mengeluarkan air mata. Susah, jika jujur mereka tak bisa menahan air mata untuk tak keluar.

Kenapa semua ini harus terjadi kepadanya? Kenapa harus sekarang? Apa salahnya?

Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

Begitu sesak dada ini saat melihat dia pergi. Ingin rasanya mereka mengganti semua apa yang mereka miliki asal dia kembali.

Ingin rasanya mereka mengubah takdir gadis itu. Namun, siapa mereka? Mereka tak memiliki sedikitpun kuasa untuk melakukan itu.

Berdiri di sebelah gundukan tanah itu. Riel, berusaha menahan air matanya. Sakit rasanya harus kehilangan separuh nyawanya. Perih rasanya harus melihat dia pergi.

Betapa hancur dirinya saat mendengar kabar dia pergi.

Dengan kasar ia menghapus air mata yang memaksa keluar dari tempatnya.

Semua memakai pakaian serba hitam.

Tatapan mereka terfokuskan pada gundukan tanah di bawah.

Sarah berusaha tegar menerima semua takdir ini. Kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya bukanlah hal yang mudah. Bahkan ia semalaman tak bisa menghentikan air matanya. Ingin marahpun ia tak tau harus marah ke siapa.

Jika bukan karena keinginan dia mungkin mereka semua tak akan setegar ini. Mereka hanya ingin menunjukkan kepada dia bahwa mereka tegar dan menerima semua ini.

David Leonard Dawson, tatapannya lurus ke depan. Tatapan matanya kosong. Kehilangan bidadari kecilnya cukup membuat dirinya sedikit terguncang.

Mengikhlaskan kepergian bidadari kecilnya bukanlah hal yang mudah.

"Bun, Yah. Ayo pulang. Sudah sore," ucap Steev. Jika dilihat mungkin Steev terlihat kuat. Namun, siapa sangka jika di balik kacamatanya terdapat genangan air mata yang siap saja meluncur jika ia berkedip.

Sarah menggeleng pelan, "Bunda masih mau disini," ucapnya pelan. Bahkan hampir tak bersuara.

"Sarah, ayo kita pulang. Kau terlihat sangat lelah," ucap David membujuk.

Sarah menatap David lalu menganggukkan kepalanya.

Mereka semua pergi kecuali teman-teman Gaby, Riel, James dan Brian. Steev pergi menemani kedua orang tuanya.

"Gaby udah pergi ninggalin kita semua. Jangan ada yang nangis disini. Inget permintaan Gaby. Jangan ada air mata saat dia pergi," ucap Laura dengan nada bergetar.

Tasya dan Loli yang berada di sebelahnya memegang tangannya memberikan kekuatan.

"Gue masih gak nyangka dia pergi secepat ini," ucap Riel. Kehilangan kembarannya sangatlah menyiksa batin.

"Lo kuat. Gue yakin itu, lo gak sendirian. Kita semua ada buat lo." ucap James. Meskipun belum lama ia mengenal Gaby, ia cukup merasa kehilangan.

"Tapi kenapa harus dia? Kenapa harus sekarang?!"

"Udah Riel! Lo gak bisa merubah semua ini! Setidaknya sekarang dia udah gak ngerasain sakit lagi. Ikhlasin dia!" ucap Brian sedikit meninggikan suaranya.

Riel menatap Brian, "Lo bilang ikhlasin dia?! Sekarang gue tanya, apa lo bisa ikhlasin orang yang lo sayang pergi dari hidup lo? Apa lo bisa, Hah?!"  ucap Riel sambil menunjuk Brian dengan jari telunjuknya.

Brian menatap ke bawah. Diam membisu. Walau bagaimanapun ia juga tak bisa ikhlas menerima semua ini. Hatinya tak bisa menerima kepergian Gaby.

"Iya. Gue gak bisa! Tapi setidaknya gue udah berusaha buat ikhlasin kepergian dia. Lo jangan terpuruk gini. Lo gak boleh lemah!" ucap Brian.

Laura menatap tajam ke arah Brian dan Riel, "Kenapa kalian malah berantem disini sih? Gak punya otak kalian?!".

"Udah udah. Kalian jangan malah kayak gini disini. Kalian harus tau tempat. Jangan bikin Gaby kecewa sama kita!" ucap James menengahi.

Mereka semua diam. Mereka hanya masih tak menyangka dengan semua ini. Semua ini tampak seperti mimpi.

"Gue masih gak percaya sama semua ini," ucap Loli pelan.

"Gue juga. Gue ngerasa ini tuh mimpi. Cepet banget dia pergi." ucap Tasya.

"Kalau jujur, gue masih gak nyangka sama semua ini. Tapi, kita jangan malah terpuruk kayak gini." ucap Laura berusaha tegar.

"Iya. Lo bener. Kita jangan sampe terlalu sedih kayak gini, dia pasti gak suka lihat kita sedih kayak gini." ucap Brian.

Mereka semua mengangguk lemah,

"Mending kita pulang aja. Udah sore juga,  kalian pasti juga capek." ucap Riel.

"Yaudah. Kita pulang aja ya,"

Mereka semua pergi meninggalkan tempat itu. Dengan berat hati mereka  harus menerima semua ini.

Langit senja itu menjadi saksi bisu kesedihan mereka. Mungkin takkan ada senyuman lagi di bibir mereka. Senyuman mereka telah menghilang seiring bergantinya senja itu dengan langit malam yang gelap.

Gelap, dingin dan tak tersentuh. Mungkin itulah gambaran diri mereka sekarang.

Kembali lagi dengan sikap mereka yang dulu.

Mereka yang sekarang akan berbeda dengan mereka yang kemarin. Membuka lembaran baru dengan hal yang baru.

Apakah akan ada sosok yang mengubah mereka lagi? Akankah ada yang bisa mencairkan dinginnya hati mereka?

Fransiska Gabriela Leonard Dawson tak akan pernah tergantikan oleh siapapun.

-----

Pendek? Maaf 😞
Gimana sama part ini? Sedihnya gak dapet ya? :(
Comment dongg :v
Ada satu part lagi. Tungguin aku update yaaaa 😂😂

Sabtu, 4 Mei 2019

Briela(FakeNerd)-END✔Where stories live. Discover now