Pesan

271 35 0
                                    

Dua minggu berlalu semenjak kejadian itu dan kini ia tengah mengepak hampir semua barang - barangnya yang tak begitu banyak dalam sebuah koper. Sejenak ia duduk diranjang yang sudah menemaninya selama enam bulan terakhir di Venesia. Kedua mata sipitnya menatap ke sekeliling ruangan. Tempat ini adalah rumah kesekian baginya. Tidak ada kenangan buruk selama ia disini. Sayang sekali, sudah waktunya untuk pergi.

"In - do - ne - siiii - a. Indonesia?" eja wanita itu mengeja tujuan yang tertera ditiketnya.
"Iya. Indonesia" pria itu tersenyum dan segera bangun.
"Kalau kau tak punya tempat kembali"
"Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu" lanjutnya memotong pembicaraan wanita yang mengulurkan paspor dan tiket itu padanya.
"Kami akan merindukanmu Shaun. Eh bukan. Shownu" wanita itu masih menatap si pria.
"Begitu juga aku Amora. Jaga rumahku baik - baik ya. Aku akan segera kembali" Shownu tersenyum, merangkul Amora dari samping.

"Sudah waktunya. Kalau tidak kau akan melewatkan penerbangan" ayah Amora muncul dari balik pintu yang terbuka. Showu dan Amora tersenyum, mereka segera menyusul.

***

Tiga bulan kemudian.

"Eh. Mas Nunu. Uda mau berangkat?" sapa seorang ibu dengan logat jawa yang sangat kental.
"Iya buk. Show eh nunu berangkat dulu ya" ia belum terbiasa dipanggil seperti itu oleh warga sekitar. Ia merasa panggilan Nunu terlalu cute dengan tampilannya yang seperti ini.
"Ngati - ati ning dalan lho cah bagus" Nunu sempat mengerutkan dahi. Yang ia tahu hanya arti dari kata - kata awal saja.
"Artinya hati - hati dijalan ya ganteng" seseorang yang baru saja keluar dari pagar sebelah rumahnya membuat Shownu tersenyum.
"Ooh gitu. Matursuwun nggih buk" entah kenapa Shownu tersenyum sambil membungkukkan tubuhnya. Membawa budaya tanah kelahirannya sambil menggumamkan bahasa jawa seadanya.
"Gimana di Jogja? Betah?" tanya pria itu pada Shownu.
"As well as you can see me now. Tir" jawab Shownu.
"Duh. Mbokya jangan panggil aku Tir nu. Dikiranya aku kenthir (gila) nanti" protes pria bernama Tirta itu pada Shownu.
"Hahahaha. Iya, maaf. Ta" jawab Shownu tertawa.

Mereka berdua berjalan kaki ke tempat tujuan mereka hari ini. Bukan hari ini saja, hampir setiap hari mereka pergi kesana.

"Pagi bu. Biar saya yang antar Ami masuk kelas ya" kata Shownu pada ibu paruh baya yang juga baru sampai.
"Makasi ya mas Nunu. Ngrepotin" balas sang ibu.
"Nggak kok bu. Ami pamit dulu" Shownu mengusap puncak kepala sang anak. Seketika tangan anak itu menggapai ke udara, ibunya dengan cepat meraih tangan sang anak. Ami segera mengecup punggung tangan ibunya.

Shownu mengangguk, ia segera menggandeng salah satu anak didiknya yang berkebutuhan khusus.

Ia membantu Ami duduk. Baru kemudian ia menyapa beberapa guru di ruangan sebelah.
Hanya ada lima guru disini, Shownu, Tirta, Bu Nanda, Mia dan Ajeng. Setelah berdoa bersama, mereka segera kembali ke aktivitas masing - masing. Shownu mengajar kelas dua SD untuk membaca. Kelasnya hanya berisi tiga orang murid. Ami, Sigit dan Anis.

Mendengar sapaan mereka, membuat Shownu tersenyum. Ia meminta mereka untuk segera membuka halaman lima. Ada cerita singkat mengenai itik buruk rupa. Shownu meminta Anis untuk membaca kalimat pertama. Bocah berkerudung kusut itu meraba buku dengan jemari kecilnya dan mulai membaca. Beberapa saat anak itu terhenti, Shownu segera duduk disamping Anis untuk membantu membaca kata - kata yang sulit bagi anak didiknya.

"Pak Nunu. Ini titiknya susah dibaca" keluh Anis.
"Ini bacanya terkucilkan Anis. Aku aja bisa" protes Sigit.
"Hush. Sigit. Kamu nggak boleh gitu" tegur Ami. Mata mereka tak saling bertemu. Tapi, merek berkomunikasi dengan baik.

"Pelan - pelan sayang. Sini. Coba Anis raba lagi. Ini, lalu kesini. Huruf apa?" Shownu menuntun tangan sang bocah.
"Ooh. Te - e - er - ter - ka - u - ce - i - kuci - l - terkucil - ka - a - en - kan. Terkucilkan" bocah itu tersenyum, menampakkan giginya yang hilang dibagian tertentu. Tangan bocah itu terangkat, meraih wajah Shownu.

"Pak Nunu belum cukuran ya?" kata Anak itu membuat Shownu tertawa.
"Iya. Bapak nggak sempet. Besok ya" Shownu menepuk - nepuk tangan Anis untuk kembali ke buku braille nya. Mereka kembali melanjutkan membaca cerita.

Iya. Shownu sekarang menjadi guru sukarela untuk mengajar anak - anak tunanetra. Merekalah yang mewarnai hari - hari Shownu selama diJogja.

"Pak Nunu" panggil Sigit. Tangannya menggenggam secarik kertas yang ia acungkan ke udara.
"Kenapa git?" tanya Shownu mendekat.
"Tadi ada mas - mas nitip ini ke aku. Buat bapak Nunu katanya" kata Sigit berusaha mengarahkan kertasnya kepada Shownu. Sedangkan Shownu datang dari arah sebaliknya.
"Disini git" Shownu tertawa meraih tangan Sigit dan segera membaca pesan didalamnya. Ia menghela nafas.

"Kenapa pak? Sigit nggak bisa bacanya. Kan bukan braille" kata Sigit.
"Kepo kamu. Ini bacanya Bapak Shownu ganteng semalioboro" kilah Shownu.
"Ngapusiii (bohong - bahasa jawa)" Sigit berteriak membuat Shownu kembali tertawa. Muridnya yang satu ini memang paling lantang berbicara. Tapi, ia termasuk pintar. Awalnya paling susah mengajak bocah ini berbicara, karena ia tak suka diganggu. Lama kelamaan, karena ia sering mendengar Shownu bercerita pada Anis dan Ami mengenai tempat - tempat yang ia kunjungi. Sigit penasaran dan turut mendekat tiap kali Shownu memulai cerita petualangannya dan kini mereka akrab.

Sigit juga mempunyai kelebihan yang unik. Dia tahu ketika seseorang berpura - pura hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Para guru berpikir jika Sigit mempunyai indera keenam. Seakan ia dapat melihat ekspresi orang yang berbicara dihadapannya. Maka dari itu tak ada yang bisa berbohong pada bocah satu ini. Menurut Shownu bukan indera keenam alasan kenapa Sigit sangat peka.

Walaupun ia buta. Ia dapat melihat dengan hatinya
Quote by Bapak Nunu

RiseWhere stories live. Discover now