III

374 30 49
                                    

Kezeeya POV

Gadis itu mengulurkan tangannya padaku, siapa namanya tadi? Ah ya, Nadira, Dira. Aku menahan senyum karena wajahnya terlihat lucu, apalagi saat ia kaget karena aku yang tiba-tiba menatapnya. Bagaimana tidak? Dia mengetuk dinding kamarnya dengan cukup keras.

Dia juga menghampiriku dengan gaya berjalan seperti zombie, sangat jelas terlihat kalau dia sedang memaksa dirinya untuk berjalan ke arahku. Lucu sekali.

Saat ini hening menyelimuti kami, tidak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya dan dia masih terlihat gugup, mungkin karena aku belum meresponnya. Ah iya, aku lupa dia masih mengulurkan tangannya padaku.

Tang...

Bunyi itu mengalihkanku, kulihat seorang laki-laki keluar dari ruangan di ujung lorong. Laki-laki itu memikul sebuah tongkat di bahu kanannya dan menenteng kaleng cat dengan tangan kirinya. Tongkat yang ia pikul menyenggol lampu lorong hingga berbunyi dan bergoyang pelan. Ceroboh sekali, aku harus menegurnya sebelum ada lampu yang jatuh akibat ulahnya.

"Ehemhemmm..." Dira berdehem membuatku kembali menoleh ke arahnya.

Ya Tuhan, aku lupa kalau aku baru saja mengabaikannya. Dia menatapku penuh kecewa dan kulihat tangannya tidak lagi terulur padaku.

Arghh... rasa bersalah menyelimutiku. Aku benci sisi diriku yang sangat lama dalam merespon sesuatu dan terkadang psikomotorikku payah dalam memberikan kesan yang baik jika bertemu orang baru. Ditambah lagi ekspresi wajahku yang datar dan terkesan cuek, semua itu seperti paket lengkap kesombongan tingkat tinggi. Selalu seperti itu.

Maaf Dira.

Sepertinya dia kecewa padaku. Aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki kesalahan ini dan harus mulai dari mana?

Tang...

Spontan bunyi itu kembali mengalihkan perhatianku. Kulihat laki-laki tadi semakin mendekat ke arah kami dengan kecerobohan yang masih belum ia sadari.

"Awas!" Teriakku pelan.

Prank...

Tepat seperti dugaanku, lampu di atas kami jatuh dan nyaris melukai kepala Dira. Untung saja aku bergerak cepat meraih gadis itu ke sisiku. Eh tunggu! Apa yang kulakukan? Aku memeluknya? Bukan, lebih tepatnya mendekap kepalanya ke ceruk leherku?!

"Maaf, maaf kalian tidak apa-apa??" Ucap laki-laki paruh baya itu.

"It's, Okay! Tolong hati-hati ya Pak, tongkat itu lebih baik dibawa menyamping."

"Baik, bu. Saya minta maaf, akan segera saya bersihkan." Jawabnya malu dan merasa bersalah.

Dengan cekatan laki-laki itu membersihkan serpihan lampu yang jatuh lalu pergi setelah membereskan peralatannya.

"Are you okay?" Tanyaku pada Dira yang masih menempel di tubuhku. Lalu kudorong pelan tubuhnya agar terlepas dari pelukanku.

Aku masih tidak percaya dengan diriku sendiri, kenapa aku bisa secepat itu menariknya ke dalam pelukanku? Bukannya tadi kubilang aku sangat lambat dalam hal merespon? Aku sungguh tidak mengerti ada apa denganku saat ini.

Tapi tunggu, ada apa dengan Dira? Kenapa dia gemetar? Kuulurkan tanganku untuk menyentuh dahinya namun tangannya menahan tanganku dengan sedikit menggenggam. Dengan gerakan lemah, ia mengangkat kepalanya hingga kulihat wajahnya yang berubah pucat.

Mata hazelnya terlihat sayu dan bibirnya terlihat kering juga pecah-pecah. Dia seperti orang yang akan pingsan dalam hitungan detik. Tangannya yang menggenggam tanganku juga terasa panas, apa dia sakit?

"Kamu sakit?" Tanyaku padanya namun tidak diberi jawaban.

See? Sepertinya dia membalasku kali ini. Monologku dalam hati.

Tangannya semakin erat menggenggam tanganku sampai rasanya tanganku basah karena hawa panas dari telapak tangannya. Dira menatapku tapi tatapannya seperti kehilangan jiwa, kosong dan kesakitan.

Ya Tuhan, jantungku berdegup kencang ketika matanya menatapku seperti itu. Ada denyut sakit yang kurasa di hatiku? Tatapan itu, kenapa terasa begitu familiar? Air mataku menetes tanpa bisa kutahan, namun dengan cepat kuhapus air mata yang sempat lolos dari kelopak mataku itu.

Who are you Dira? Apa yang kamu lakukan padaku?

Kupejamkan mataku dan kuhembuskan nafasku perlahan lalu kembali kutatap mata itu. Namun matanya kini terpejam seperti menahan sesuatu.

"Dira?"

Kuhilangkan segala perasaan aneh yang menyelimutiku, lalu kulepas genggamannya dan kudaratkan tanganku ke dahinya. Kali ini dia hanya diam namun tangannya yang semula menggenggam tanganku beralih mencengkram blazer bawahku.

"Kamu panas..." Ucapku masih memegang dahinya.

Gadis itu tidak merespon tetapi matanya perlahan terbuka. Entah kenapa ada perasaan lega dalam hatiku ketika menatap mata itu lagi.

Perasaan lega? aneh?!

"Kamu benar, saya tidak salah kamar, saya hanya memastikan sesuatu tadi." Kataku berharap ia tidak lagi merasa bersalah.

Aku memang baru saja menghubungi kakakku dan meminta penjelasan darinya, meskipun aku agak kesal tapi kalau sudah seperti ini rasanya aku tidak tega pada Dira. Percayalah beberapa menit yang lalu aku bahkan berniat mengusir gadis ini tapi ternyata aku belum sejahat itu.

Dira menurunkan tanganku dari dahinya, "saya nggak pa-pa!" Ucapnya pelan.

Jawaban itu membuatku tersentak, dan hampir memakinya. Bagaimana bisa dia bilang baik-baik saja, kalau saat ini saja untuk berdiri dia menggunakan tanganku sebagai tumpuannya.

Namun aku tak mungkin memakinya dalam keadaan seperti ini, jadi tanpa mempedulikannya kuraih koperku dan pergi meninggalkannya.

"Kamu mau kemana?" Tanya Dira yang tiba-tiba saja menangkap pergelangan tanganku.

"Ke kamar, saya mau istirahat!" Kataku dengan nada sinis dan membuatnya menunduk. Namun saat kembali kulangkahkan kakiku, tiba-tiba bruk.

Suara itu membuatku kaget, aku menoleh kembali pada gadis itu lalu dengan cepat kuhempaskan koperku dan kuhampiri Dira yang tergeletak tidak sadarkan diri.

She is Like YouWhere stories live. Discover now