VI

293 25 14
                                    

"Lebih baik kamu susul mama ke sini! Kuliah di sini aja, ngapain sih kamu---pake segala pengen banget kuliah di sana, pokoknya mama nggak mau denger kamu ngebantah lagi!" Titah Wanita yang saat ini tersambung lewat panggilan roaming antar negara dengan jelas, tegas, tanpa terputus-putus di telinga Dira.

"Mama, Dira mau di sini. Dira capek mah, capek---" Dira menarik nafas mengendalikan emosinya, "capek harus beradaptasi lagi."

"Memangnya di sana kamu nggak beradaptasi lagi? Sama aja kan? Sodara atau kenalan juga nggak ada!"

"Tapi seenggaknya ini Indonesia mah, tanah air aku. Orangnya ramah-ramah- gak maksud rasis- lebih mudah buat aku untuk adaptasi di sini. Katanya mama mau aku jadi anak baik, nggak neko-neko. Giliran anaknya mau tinggal di tempat yang baik malah ditentang."

"Haduhh, kamu tuh ya pinter ngelesnya. Kamu nih nggak paham ya? Mama tuh khawatir Dira!"

"Aku udah bes----"

"Ssttt, udah pokoknya mama nggak lagi tawar-menawar! Kalau besok kamu masih belum dapet tempat tinggal di asrama kampus. Kamu harus kuliah di Malang biar deket sama om dan tante kamu atau kamu kuliah di sini, di Ausy!" Sela wanita itu, diikuti nada tut tut tut tanda sambungan telponnya diputus sepihak.

Dira melirik ponselnya memastikan nada tut tut tut yang ia dengar, nyata akibat ulah Ibunya. Ia mendecak kesal sambil memjit-mijit keningnya. Saat ini ia sungguh bingung harus bagaimana, haruskah ia menyerah saja dan kembali ke Ausy?

Tidak! tidak! Dira menggeleng keras, ia harus kuliah di sini. Ia harus tinggal di sini. Di Indonesia. Setidaknya ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan, sebelum ia memutuskan menyerah pada keadaan. Sambil mencoba menyemangati diri sendiri ia berjalan menyusuri gerbang keluar kampus, namun langkahnya terhenti karena tingkah seorang wanita yang membuatnya penasaran.

Wanita itu berpakaian rapih dan elegan, namun apa yang sedang dia lakukan di bawah pohon sambil berjongkok, sungguh membuat Dira penasaran. Dira pun mendekat perlahan.

Astaga! Hampir saja ia berteriak ketika melihat tangan wanita itu sudah mengeluarkan banyak darah akibat cakaran kucing liar yang saat ini masih meraung-raung digenggaman wanita itu. Ternyata kucing itu juga terluka dan wanita itu sedang mengobatinya.

"Tante, nggak pa-pa?" Wanita itu menolah ke arahnya, terlihat agak terkejut kemudian tersenyum. Keriput tipis di wajahnya tidak bisa menutupi kecantikan alami wanita paruh baya itu.

"Saya, nggak pa-pa." Jawab Wanita itu.

"Itu Tante, tangannya berdarah, aduh banyak lagi darahnya."

Dira menunjuk ke kedua tangan wanita itu yang sejak tadi mengeluarkan darah segar akibat cakaran-cakaran kucing liar tadi. Kemudian mengeluarkan sapu tangannya, "sini Tante, aku elap darahnya."

Wanita itu tersenyum dan membiarkan Dira membersihkan darahnya, "kamu ini baik sekali, tapi apa boleh Tante minta tolong lagi?"

Dira menatap wanita itu sambil menaikan kedua alisnya. Wanita itu menunjuk dengan dagunya ke arah mobil sedan putih yang terpakir di belakang Dira.

"Kamu bisa nyetir?" Dira mengangguk, "kalau gitu tolong antar saya ke klinik yang ada di dalam"---dalam kampus.

"Baik, Tante."

Dira pun menuntun wanita itu masuk ke dalam mobil dan mengantarnya ke klinik kampus. Meski masih di area kampus butuh sekitar 5 menit untuk menuju klinik dengan kendaraan, jika berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Maklumi saja, karena kampus ini sangat luas, 10 kali lebih luas dari kampus-kampus biasa yang ada di Indonesia.

She is Like YouWhere stories live. Discover now