V

320 27 69
                                    

Flashback.

"Selamat Pagi..." Sapa laki-laki dengan setelan jas rapi dan berdasi kepada sepasang suami istri paruh baya, yang kemudian dibalas dengan senyum dari kedua wajah yang mulai keriput itu.

Wanita parah baya itu, menyendokkan nasi dan lauk ke piring kedua laki-lakinya. Baru kemudian ke piringnya.

"Kamu, sudah berhasil hubungi adekmu?" Laki-laki paruh baya itu membuka percakapan di meja makan.

Laki-laki yang diberi pertanyaan, hanya menggeleng pelan.

"Sampai kapan dia mau begini ke kita? Mentang-mentang sudah bisa cari uang sendiri!"

"Pa--"

"Jangan membela anak durhaka itu di depanku!" Potong laki-laki paruh baya itu.

Laki-laki bertubuh tinggi dengan perawakan penuh wibawa itu terlihat mencoba menahan emosi di dadanya yang terlihat naik turun.

Radista Van Wijaya, memang tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan amarahnya jika lagi-lagi teringat pada anak gadisnya yang sudah 10 tahun ini menghindar darinya. Ia bahkan harus mengancam anak itu agar pulang ke tanah air.

"Aku...akan coba terus hubungi dia, Pah--Mah," laki-laki yang lebih muda itu mencoba menenangkan orang tuanya. "Nanti Eyza akan cari waktu untuk cuti biar bisa susul dia ke sana." Lanjut laki-laki itu.

"Kamu gak perlu repot-repot cuti, cuma untuk susul dia ke sana."

Eyza dan Wanita itu mengernyitkan alis mereka penuh tanya.

"Bulan depan dia pulang, pasti pulang!" Jelas Van --begitu laki-laki paruh baya itu biasa disapa-- kepada dua orang di hadapannya yang menunggu kejelasan ucapannya.

"Van, kamu nggak melakukan hal yang aneh-aneh ke dia kan?" Tanya Clara--wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun menjadi pendamping hidupnya-- dengan nada cemas.

"Memangnya aku sekejam itu di matamu?"

"Ng...nggak, makanya aku tanya?" Clara menarik nafas, "bener ya, kamu nggak pakai cara kekerasan?"

"Nggak, dia yang mutusin untuk pulang, katanya dia capek. Dia minta aku nggak ganggu dia lagi setelah ini." Van menyungging senyum sinis di wajahnya, tangannya mulai meremas-remas sendok dalam genggamannya, "yang benar saja, mana bisa seorang ayah diusir dari kehidupan putrinya sendiri." Van membanting sendoknya cukup keras, sambil membuang nafas kasar berulang-ulang untuk menenangkan dirinya.

Eyza dan Clara hanya diam menatap laki-laki itu. Suasana di meja makan ini membuat mereka tak lagi merasa lapar. Meski semua yang di atas meja begitu menggunggah selera, namun jika selera itu pergi maka rasa kenyang akan menjadi kambing hitam dari kata tidak nafsu makan.

"Mah--Pah, Eyza pamit ya. Ada rapat tahunan pagi ini." Ucap Eyza memecah keheningan setelah beberapa kali ragu melihat waktu yang terus berjalan di arlojinya.

"Loh kamu, makanannya belum disentuh udah mau pergi aja." Clara melirik dan tangannya menunjuk-nunjuk ke arah piring Eyza yang memang belum dijamah.

Van, juga melirik ke arah piring yang ditunjuk Clara. Ia mulai sadar kalau ulahnya pagi ini membuat selera makan meraka hilang.

"Ng...ehm itu, Eyza masih kenyang Mah." Ia bangkit dari tempat duduknya dan bergantian menyalami kedua orang yang dicintainya itu. "Eyza, berangkat ya." Pamitnya berlalu meninggalkan kedua orang yang masih dibalut keheningan di meja makan.

Ia melajukan mobilnya menuju Universitas swasta di daerah Jakarta milik keluarganya. Di usianya yang baru menginjak 28 tahun, ia sudah diberi kepercayaan menjadi Rektor di Universitas tersebut. Jangan anggap remeh, di usia ini juga Ia sudah menyandang gelar Doktor, tentunya di bidang Ilmu Kedokteran.

She is Like YouWhere stories live. Discover now