Fear versi Kezeeya

290 9 2
                                    

Rintik mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen di samping kanan ranjangku. Ralat. Ini bukan ranjangku, tapi ranjang sahabatku, Putri. Ya, sejak kejadian itu aku belum kembali ke asrama.

Masih ingat kejadian saat Dira mengunci dirinya di kamar mandi? Saat sosok gadis itu tenggelam bersama suara musik yang menggema di dalamnya. Bahkan, seorang Faeyza Radista yang kukenal selalu tenang dan cool dalam menghadapi segala situasi bisa dibuat panik karenanya.

Jujur, saat itu aku melihat sisi Dira yang lain, sisi yang tidak pernah aku lihat selama aku tinggal bersamanya. Karena selama ini aku selalu melihat dirinya sama seperti seseorang, seseorang yang membuatku harus kembali kencaduan obat penenang.

Pikiranku melayang mengingat kejadian di pagi harinya? Ketika Dira bangun dengan rutinitasnya mencium lantai? Entah sudah berapa kali aku melihatnya terbangun dengan cara seperti itu. Aku selalu dipaksa menahan tawa saat menyaksikan kejadian itu.

Tapi, pagi itu sedikit berbeda. Tidak, bukan sedikit tapi pagi itu memang terasa berbeda. Apa ini karena efek obat penenang yang kuminum sebelumnya? Entahlah, yang jelas sosok Dira tiba-tiba saja tergantikan oleh sosok laki-laki itu, Zein.

Ah, menyebut namanya saja membuat hatiku berdenyut sakit. Apalagi saat melihatnya berdiri di hadapanku waktu itu. Aku syok, mencoba mencerna apa yang kulihat.

Apa aku sedang berhalusinasi?

Aku menggeleng kecil, lalu kembali pada aktivitasku sebelumnya yaitu mengobati luka di pelipisku.

Dari pantulan cermin, kulihat sosok itu masih diam menatapku.

Kenapa dia belum pergi juga? Apa aku sudah berada di alam yang sama dengannya?

Kupejamkan mataku, menekan rasa perih di hatiku.

"Maaf...," lirihnya.

Aku membuka mata, melotot tak percaya karena sosok yang kukira hanya halusinasi itu kini bisa berbicara.

Dia berjalan mendekat dan entah bagaimana tubuhku sudah menghadap ke arahnya. Matanya menatap ke dalam mataku. Jantungku kembali berdebar kencang. Ya Tuhan aku rindu debaran ini, tapi aku tahu semua ini tidak nyata.

Aku kembali memejamkan mata mencoba mencari jalan untuk menyadarkan diri sendiri. Namun sentuhannya di wajahku membuat sekujur tubuhku menegang. Ah, rasanya hatiku sakit, aku sakit. Sakit karena tahu semua ini tidak nyata.

Beberapa detik kemudian helaan napasnya menyapa wajahku. Membuatku reflek mengepal kedua tanganku kuat-kuat untuk menahan gejolak yang hendak meledak-ledak. Ya Tuhan, tolong aku.

Hatiku menikmati ini namun logikaku meronta-ronta, sampai kurasakan sebuah benda kenyal, lembut dan basah, menyentuh keningku lama.

Tubuhku tersentak, ini terlalu nyata bagiku. Bagaimana bisa sentuhannya senyata ini? Jantungku semakin berdebar kencang membuatku tak bisa lagi mengontrol gejolak dalam diriku yang minta dibebaskan. Akhirnya mataku pun terbuka otomatis.

"Aku....," lirihku pelan, sangat pelan.

"Eh, Saya bisa sendiri!" Kataku spontan memundurkan wajah dan tubuhku ketika mataku menangkap sosok Dira yang ada di dekatku.

Sejujurnya aku lega melihat wajah itu, sebuah kelegaan yang sedari tadi kutunggu-tunggu, meski agak mengejutkan, mengingat saat mataku terbuka jarak wajahnya teramat dekat dengan wajahku.

Aku kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa, alhasil aku hanya pergi meninggalkan dirinya yang mematung di tempat.

Dalam perjalanan melarikan diri itu, aku mengutuk diriku, kenapa aku bisa kembali meneguk obat itu?

She is Like YouWhere stories live. Discover now