Karya Aulia & Mora

256 1 0
                                    

Nama anggota :
-Aulia
-Mora

Judul cerpen :
Puisi Terakhir

_Ada kalanya aku benci berada disini._
_Bersama, tapi tak bisa bicara._
_Hanya menatapmu yang tak berdaya._
_Sedang aku hanya bisa terus berdoa._
_Tanpa mampu membuat mata itu terbuka._

_Tapi ada satu alasan kenapa aku mampu bertahan._
_Karena aku percaya senyummu kan kembali merekah._
_Dan kita bisa kembali menjelajah dunia._
_Menatap fajar juga senja bersama._
_Karena itu, bangunlah..._

Pena itu terjatuh dari genggamannya. Entah sudah berapa banyak bait yang tercipta hingga menjadi sebuah puisi. Tapi hanya itu yang mampu Catherine lakukan. Menyuarakan isi hatinya berharap Lexi, kekasihnya sadar dari komanya.

Kekasihnya yang sudah hampir dua minggu terbaring tidak sadarkan diri di ruang ICU rumah sakit. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa Lexi mengidap kanker otak dan sudah mencapai stadium akhir. Mungkin mustahil disembuhkan. Tapi Catherine percaya, mukjizat Tuhan itu ada. Menunjukkan bahwa kemustahilan bisa menjadi mungkin untuk terlaksana.

“Tau nggak kenapa aku betah ada disini? Padahal aku benci rumah sakit.”. Ucap Cathrine sambil mengelus lembut kepala Lexi. “Karena kamu alasan aku tetep bertahan hidup. Andai waktu itu kamu nggak ngulurin tangan buat aku malam itu, aku yakin hidupku nggak akan sebewarna sekarang.” Sambungnya.

Catherine menatap jam yang tertempel di dinding. Sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Untuk malam ini, Cathrine memang meminta izin untuk dapat menjaga Lexi hingga esok pagi.

Entah mengapa malam ini, dia begitu ingin mengenang semua masa-masa yang mereka lewati bersama.

Kembali angannya melayang mengingat perkenalannya dengan lelaki yang terbaring lemah di hadapannya tersebut beberapa tahun yang lalu.

Sudah hampir enam tahun mereka berkenalan, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA.

Sebagai dua orang siswa yang sama-sama berprestasi, tidak jarang mereka harus bersaing, baik di dalam kelas maupun ketika mereka berkompetisi di luar sekolah. Persaingan yang sportif membuat mereka menikmati persaingan itu dan malah membuat mereka semakin dekat. Mereka saling menikmati kedekatan itu, karena kedekatan itu membuat mereka saling memberikan dukungan satu sama lain. Sedikit demi sedikit Catherin merasa hidupnya lebih berwarna.

Sejak itu, tanpa mereka sadari mulai timbul sebuah rasa yang tidak bisa dicegah. Rasa simpati dan kagum satu sama lain berubah menjadi rasa sayang dan saling membutuhkan.

Mereka tidak berusaha menghindar karena mereka tidak bisa berbohong kalau mereka merasakan getaran yang sama. Hari-hari semakin indah, prestasi mereka sama-sama meningkat, begitupun juga rasa sayang itu, hingga saat ini mereka duduk di bangku kuliah.

Namun semua itu mulai terusik beberapa bulan yang lalu, sejak Lexi mulai berubah, seakan ada yang dia sembunyikan dari kekasihnya, Cathrine.
Lexi mulai menghindari Cathrine. Biasanya setiap hari mereka selalu terlihat bersama di kampus, namun perlahan Lexi mulai jarang terlihat di kampus. Saat Cathrine mencoba menghubungi, selalu saja tak pernah ada respon dari si penerima telepon.

Sampai akhirnya, Cathrine mengetahui bahwa Lexi sudah hampir sebulan dirawat di rumah sakit. Saat pertama kali Cathrine menjenguknya, Lexi masih bisa tersenyum dan berkata, _‘semua akan baik-baik saja, jadi tak perlu khawatir’._

Tapi, saat ini jangankan untuk berkata hal seperti itu lagi, bahkan untuk membuka matanya, Lexi seakan tak mampu.

_Jika satu permohonan dapat terkabulkan._
_Aku akan meminta setitik kebahagian untuk kita._
_Sekarang juga selamanya._
_Tapi mungkin, takdir tak mendengarkan._

Kumpulan Cerpen CPHWhere stories live. Discover now