Chapter 1 - Bakso

604 86 10
                                    

"Uhh—cukup sudah."

"Hey, kau baru mengerjakan dua nomor!" protes Dj pada Dolphy yang sedang merebahkan diri di sofa.

Di minggu sore yang seharusnya digunakan untuk main dan bersenang-senang, enam sahabat ini malah sedang terkurung dengan PR matematika. Yah, begitulah nasib siswa SMA di negara kita. PR dijadikan patokan jelas aktifnya kecerdasan seorang siswa. Padahal secara realita, sebagian besar murid menyelesaikan PR dengan cara mencontek—sungguh keterbalikan total dari tujuan semula.

"Oke, selesai," kata Naufal sambil menutup pulpennya. "Nih!"

Kelima temannya serempak bergerumul untuk mencontek seperti kucing kampung berebut makanan. Inilah salah satu contoh buruk sistem pendidikan kita yang tadi disebutkan. 

"Eh, Fal. Aku menginap di rumahmu malam ini, ya?" pinta Dolphy.

"Orang tuamu ke luar kota lagi?"

Dolphy mengangguk. "Mereka selalu saja sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Padahal hari ini kami punya rencana piknik, eh tadi pagi tiba-tiba mereka harus berangkat."

"Nikmati sajalah. Setidaknya kau bisa bebas mau kemana pun, tidak seperti aku yang harus diceramahi panjang lebar dulu baru diizinkan keluar rumah," celetuk Adyth.

"Setidaknya kau punya seseorang untuk dilihat saat pulang ke rumah," cibir Dolphy. "Orang tua itu kadang egois, ya. Mereka hanya mementingkan karir, menumpuk harta. Tak peduli kali anaknya di sini sedang berbuat apa."

"Orang tuamu legowo karena kau hanya punya lima orang teman, Phy. Mereka yakin kau tidak akan mungkin macam-macam karena kau seorang anti-sosial cupu," Dj tiba-tiba menghina.

"Sudah-sudah, tidak usah diperpanjang," Naufal berusaha memotong pembicaraan sebelum berubah jadi makin panas. "Kau bisa menginap di sini kapan pun kau mau, Phy."

Tiba-tiba, terdengar suara mangkok diketuk berulang kali. Mereka jelas langsung tahu tukang apa yang lewat. Apa lagi kalau bukan jajanan nusantara paling terkenal: bakso. Tanpa banyak bicara, keenam sahabat ini langsung bangkit berdiri menyerbu tukang bakso tersebut. Tentu saja sambil tertawa, menertawakan niat belajar mereka yang langsung pupus hanya karena bakso.

"Monggo-monggo, Aden, mau dibungkus atau pakai mangkok?" tanya bapak penjual bakso setelah gerobaknya berhenti sempurna.

"Mangkok saja, Pak! Tujuh porsi, ya!" kata Ilman dengan penuh semangat.

"Kau mau makan dua porsi?" tanya Aji.

"Wah iyalah, mana kenyang kalau satu."

"Tidak sekalian kau sedot saja dari pancinya langsung," ejek Dj sambil tertawa.

Mereka kemudian duduk di trotoar sambil menikmati bakso hangat dengan syahdu. Beruntunglah saat itu kendaraan tidak seramai biasanya. Uhh ... kalau tidak, tentu mereka juga akan makan debu dan asap. Meskipun jarak ke rumah Naufal hanya beberapa langkah, mereka kekeuh ingin makan di pinggir jalan. Jajan itu lebih nikmat kalau dimakan langsung di tempat, pikir mereka.

"Saya minta satu porsi lagi, Pak," kata Ilman sambil nyengir. Sontak kelima temannya kembali tertawa.

"Kau benar-benar gila," komentar Aji. "Adyth yang tubuhnya paling besar pun cukup satu mangkok, loh!"

"Ora opo-opo toh, Den. Rejeki juga buat saya," kata bapak penjual bakso ikut nimbrung. "Makin banyak pesen, makin cepat laris, makin cepat juga saya pulang. Asal dibayar saja, hehehe."

"Memangnya bapak biasa pulang jam berapa?" tanya Naufal.

"Ya tergantung, Den, sehabisnya ini. Biasanya sih sampai jam sepuluh atau sebelas malam."

"Keluarnya dari jam berapa, Pak?" Adyth yang bertanya kali ini.

"Jam enam, Den."

"Wah, dari pagi?" ulang Aji. "Apa bapak tidak capek?"

"Bapak jualan dari mana ke mana?"

"Bapak dari Kerapu, sekitar lima belas kilometer dari sini, Den," jawab si bapak penjual bakso. Ia mengulurkan mangkok ketiganya Ilman, kemudian kembali berbicara, "Capek sih pasti, Den. Tapi mau tidak mau harus kerja keras. Anak bapak yang paling tua mau masuk kuliah tahun depan, biayanya kan tidak sedikit ya, Den. Terus anak kedua bapak mau masuk SMP, biayanya juga besar. Belum harga-harga yang makin lama makin mahal ini, kan?"

"Apa Bapak tidak ada waktu istirahat? Ini kan minggu, keluarga juga kan pasti butuh Bapak untuk ada di rumah," giliran Dolphy yang bertanya sekarang.

Si bapak penjual bakso tersenyum lirih. "Kalau saya tidak jualan, pemasukan saya akan kurang. Saya juga sebetulnya ingin sekali istirahat, Den. Siapa sih yang mau kerja setiap hari? Tapi saya takut tidak bisa mencukupi nafkah untuk keluarga saya, Den. Jadi, biarlah saya yang berpeluh keringat, bau asap kendaraan, asal anak-istri saya dirumah bisa terisi perutnya. Toh saat saya pulang, mereka menyambut dengan senyuman, Den. Itu seperti suntikan semangat bagi saya."

Dolphy merenung. Mungkin begitu pula yang ada di dalam pikiran kedua orang tuanya. Bisa jadi kedua orang tuanya sekarang sedang khawatir; sedang tersiksa karena tidak sanggup memenuhi janji pada anak mereka satu-satunya. Sedangkan ia sendiri sedang menggerutu kesal; menggerutu pada orang tua yang sedang berkutat dengan pekerjaan di hari libur mereka. Belum lagi selama ini kalau orang tuanya pulang dari luar kota, ia selalu memasang wajah benci dan kesal. Tidak terbayang seberapa besar kasih sayang kedua orang tuanya yang sabar menghadapi anak labil seperti dia.

"Pak," kata Dolphy yang baru sadar dari lamunannya. "Saya borong baksonya semua, dibungkus."

Mendengar itu, Ilman yang sedang mengunyah langsung tersedak. Ia batuk-batuk, nafasnya tercekat. Sambil mengeluarkan air mata ia menenggak es teh yang diambilkan Aji.

"Se-serius, Den?"

"Serius, Pak. Ada berapa porsi itu?"

"Ini ada mungkin tiga puluh porsi, Den."

"Bungkus semua, Pak. Hari ini saya ulang tahun, biar teman-teman saya kenyang makan bakso hari ini," kata Dolphy sambil mengeluarkan belasan lembar uang seratus ribu dari dompetnya.

Kelima temannya menatap heran. Ulang tahun apaan?  Hari lahirmu udah lewat jauh, pikir mereka.

"Ini kebanyakan, Den," kata bapak penjual bakso setelah menghitung uang yang diberikan Dolphy.

"Rejeki Bapak hari ini," jawab Dolphy sambil tersenyum. "Hitung-hitung tambahan uang untuk keperluan anak bapak masuk sekolah."

"Allahu Akbar, terima kasih Aden," kata bapak penjual bakso itu. Dengan menitikkan air mata beliau mengucapkan terima kasih berulang kali sampai kepalanya tertunduk. Mungkin uang segitu tidak ada artinya bagi anak konglomerat macam Dolphy, tapi bagi bapak penjual bakso tentu saja itu uang yang amat besar.

"Tapi aku sudah makan tiga porsi," protes Ilman. "Aku ditraktir kebab saja deh, Phy."

"Kalau kau kenyang, tuangkan saja di bak mandi, Man. Biar sekalian kau berendam pakai bakso," ejek Dj yang jelas diiringi gelak tawa yang lain.

Bapak penjual bakso itu pergi dengan senyuman merekah, meninggalkan keenam sahabat yang masing-masing menenteng lima bungkus bakso di tangan. Senyum itu jelas senyum kebahagiaan, senyum yang akan dibawanya pulang untuk dibagikan kepada keluarga bersama sepotong kisah menarik pertemuan dengan enam remaja ini.

"Kau yakin tidak berlebihan membeli semua ini, Phy?

"Tidak, tentu saja. Uang tidak lebih berharga dari kebijaksanaan, kawan. Pelajaran hidup barusan mau kucari ke sekolah mahal mana pun belum tentu ada dalam kurikulum mereka. "

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now