Chapter 2 - Isi Hati Manusia

394 78 7
                                    

"Jadi, keluhan utama Ibu adalah harga kebutuhan pokok yang sekarang ini makin naik ya? Biasanya Ibu mengeluarkan berapa rupiah Bu untuk sehari-hari?"

"Ya lima puluh ribu mah ada kali, Mas. Itupun sudah saya tekan habis-habisan karena penghasilan saya dan suami ga seberapa. Belum untuk biaya sekolah, listrik—macem-macem deh! Jujur rasanya saya itu benar-benar tercekik, Mas," jawab Bu Minah, salah seorang penduduk di daerah kumuh pinggiran kota Easterham. Six Elves saat itu sedang mewawancarai beliau, bagian dari tugas mata pelajaran sosial mereka.

"Satu pertanyaan lagi, Bu, kalau ibu tidak keberatan," kata Dolphy.

"Silahkan, Mas."

"Sebenarnya kami agak kurang enak untuk menanyakan ini kepada Ibu. Tapi berhubung ini tuntutan tugas, kami berharap Ibu tidak tersinggung dan berkenan menjawab," ujar Dolphy. "Maaf sebelumnya ya, Bu. Kalau boleh tau, kenapa Ibu dan suami memutuskan untuk punya anak banyak? Kalau tidak salah tadi Ibu punya 4 orang anak, kan? Dengan kebutuhan ekonomi yang menjepit, apakah ibu tidak memprediksikan beban pengeluaran yang akan bertambah?"

Bu Minah tidak langsung menjawab. Ia menghela nafas panjang, kemudian menatap enam sekawan dengan lirih.

"Anak bukanlah beban; anak itu pemberian Tuhan. Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan atas apapun yang Ia berikan," jawab Bu Minah. "Saya dan suami alhamdulillah tidak pernah menganggap kehadiran anak sebagai sebuah beban, Mas. Meskipun keadaan mencekik, saya dan keluarga selalu berusaha untuk tetap bersyukur. Kami meskipun cuma makan nasi dengan telur dan tempe, setidaknya masih bisa tidur dengan perut kenyang. Di luar sana ada orang-orang yang harus meringkuk tiap malam, berusaha tidur sambil melawan perut yang perih menahan lapar."

Keenam sahabat itu tercengang mendengar jawaban luar biasa dari Bu Minah yang sebenarnya hanya lulusan SD. Ah, bukan karena pendidikannya. Kalimat itu keluar bukan sebagai cerminan isi kepala, melainkan cerminan isi hati yang memang penuh dengan kemuliaan.

Setelah mengucapkan terima kasih dan memberikan santunan, si enam sahabat pamit pulang. Mereka kini sedang berjalan menyusuri pemukiman kumuh yang ditinggali hampir setengah dari masyarakat miskin Easterham.

"Berhentilah menangis, Man. Geli," ejek Adyth.

Ilman menyeka air mata kemudian menjawab, "Ibu itu sekuat tenaga mengatur keuangan hanya 50 ribu satu hari, J, sedangkan teman kita punya uang jajan 100 kali lipatnya setiap hari. Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dan mendengarkan cerita beliau. Mengetahui ada orang yang sebetulnya jauh lebih sengsara dari kita kadang menjadi obat agak kita tidak munafik memandang kehidupan."

Dolphy menatap Ilman dengan tajam. "Maksudmu aku golongan orang-orang yang tidak bersyukur, begitu?"

"Apa ada aku bilang begitu tadi, hah?" Ilman mencibir.

"Ya, tapi kan kata-katamu itu loh seolah-olah banget!"

"Hey, hey, tidak usah berdebat untuk sesuatu yang tidak pantas didebatkan," tegur Naufal.

"Iya nih berisik," kata Adyth. "Macam rebutan tusuk cilok saja kalian ini!"

"Eh ngomong-ngomong soal makanan, aku tahu nasi rames enak daerah sini. Mau coba cicip sebelum pulang?" ajak Aji.

Lima sahabatnya tentu tidak bisa menolak. Dengan semangat dan lapar yang mulai menggebu, mereka setengah berlari menuju warung nasi rames yang dimaksud Aji.

Sayangnya begitu tiba di lokasi, bukan nasi rames yang mereka dapatkan. Melainkan sekumpulan masyarakat yang sedang berteriak penuh amarah kepada petugas berseragam yang jumlahnya tak kalah banyak. Dibelakang keramaian itu, sebuah backhoe sedang berjalan meruntuhkan beberapa unit bangunan.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now