Chapter 16 - Rindu

196 54 2
                                    

"Sudah jualan di sini sejak kapan?"

"Baru setengah tahun, Bang."

"Dari jam berapa sampai jam berapa jualannya?"

"Mulai jualan sih dari subuh, biasanya sampai jam sepuluh, tapi kadang bisa sampai sore. Tidak menentu, Bang, sehabisnya saja."

"Loh, kamu tidak sekolah?"

"Engga, Bang. Berhenti."

"Kalau boleh tahu, kenapa adik memutuskan untuk berhenti sekolah dan jualan buah di sini?"

"Ayah saya sakit keras, Bang. Kalau saya tidak jualan, ayah dan adik saya makan apa? Ibu saya yang jadi TKW sudah bertahun-tahun tidak ada kabar. Jangankan mengirim uang, mengirim salam pun tidak pernah."

"Terima kasih sudah berbagi cerita, Dik. Ini ada sedikit rejeki dari kami, semoga bermanfaat."

"Oke, cut!"

Lagi-lagi, tugas mata pelajaran sosial memaksa Six Elves untuk berbaur ke masyarakat. Kali ini mereka berperan sebagai reporter yang sedang menggambarkan kondisi pasar. Agar hasilnya majemuk, enam sekawan memutuskan untuk melakukannya secara berpasangan. Aji dan Dj melakukan rekaman di tengah pasar, Naufal dan Ilman di areal pasar basah, sementara Adyth dan Dolphy kebagian tempat di dekat terminal.

"Bagus kan ya?" tanya Adyth pada Dolphy yang sedang sibuk memperhatikan hasil rekaman di DSLR miliknya.

"Lumayan. Suaramu sudah jelas, tapi wajahmu itu kaku dan benar-benar datar, padahal cerita dia itu sedih loh!"

Adyth tertawa kecil. "Namanya juga gugup! Aku kan tidak lihai bicara, apalagi kalau di depan kamera."

"Jadi bagaimana? Kita cari penjual lain terus take ulang?"

"Apa tidak bisa kau poles muka aku di video itu? Kan kau jago komputer!"

Dolphy merespon dengan melipat bibir bawah. "Oke, mungkin bisa aku edit sedikit supaya wajahmu lebih terlihat natural."

"Nah, begitu dong!" kata Adyth sambil memukul pelan bahu temannya itu.

Sebuah bus yang baru keluar terminal mendadak berhenti di dekat mereka. Begitu pintu dibuka, seorang bocah perempuan dilempar keluar sampai jatuh terjerembab di trotoar. Umurnya mungkin masih enam atau tujuh tahun, masih sangat muda untuk ukuran orang yang ditendang keluar dari sebuah bus kota. Pipinya masih basah karena air mata saat bus yang tadi ia tumpangi berjalan pergi meninggalkan lokasi.

Melihat ada bus lain yang lewat, bocah itu langsung bangun. Tangannya melambai naik turun memberi kode pada si supir agar berhenti untuk memberikan tumpangan. Sayang, hasilnya tetap sama, usahanya sia-sia.

Sekali lagi ia melambaikan tangan, bus antar provinsi yang jadi targetnya kali ini. Di luar dugaan, bus itu ternyata berhenti. Bocah itu sudah sumringah saat si kernet memekik dari dalam.

"Mau ke mana kau, Dik?!"

"Panti Kembang Kamboja!"

"Bah, di mana itu?!"

Si bocah menggeleng pelan.

"Ini bus ke Medan! Kalau kau bingung, tanya dulu yang benar sana baru nyetop kendaraan orang!"

Jelas tingkah bocah itu menarik perhatian Adyth dan Dolphy.

"Gila, nekat amat itu bocah!" gumam Adyth. Lalu sambil melambaikan tangan ia memanggil, "Kau tidak apa-apa, dik?!"

Merasa ada orang asing yang mengajaknya bicara, bocah itu merasa curiga. Ia tidak menjawab, hanya melengos pelan untuk kembali melambai ke arah bus-bus yang lewat. 

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang