Chapter 7 - Tawuran

285 66 3
                                    

"Sebelum Ibu menutup pelajaran hari ini, Ibu ingin kalian paham kalau ujian tinggal 10 bulan lagi," kata Bu Nana, guru fisika yang kini sedang mengisi kelas 3.1. "Khusus untuk pelajaran Fisika, akan ada tiga belas materi yang masuk ke Ujian Nasional. Persiapkan diri kalian dengan matang, belajarlah dengan serius, dan JANGAN TIDUR DI KELAS LAGI ADYTH!"

Naufal berusaha menggoyang-goyangkan tubuh temannya itu. Percuma, Adyth tetap pulas tenggelam dalam nikmatnya tidur pagi.

"Biar nanti saya yang marahi, Bu," kata Naufal sebelum Bu Nana kembali melontarkan amarah. "Nanti kita juga ada agenda belajar bersama, Bu. Aku bisa pastikan Adyth tidak akan ketinggalan pelajaran."

Bu Nana menghela nafas. Guru teladan ini bukannya tidak ingin menegur atau menghukum Adyth--ia sudah kapok. Adyth bukannya berubah, malah guru-guru lain yang heran kalau Adyth masih tetap terjaga sampai akhir pelajaran mereka. Toh nilai anak itu selalu saja memuaskan, prestasi olahraganya apalagi. Makanya guru-guru di sekolah Vinhale menganggap ketiduran di akhir pelajaran sebagai hak khusus bagi Adyth.

 Bel istirahat berbunyi kencang, murid-murid lain berlarian keluar kelas. Ada yang ke kantin, ada yang nongkrong di taman sekolah, ada yang pergi ke ruang ekskul masing-masing, ada juga yang menghabiskan waktu dengan bermain basket atau membaca buku di perpustakaan. Six Elves? Harus berkutat susah payah membangunkan Si Beruang Cokelat dulu baru bisa istirahat.

"Loh, kok sepi?" Begitu kalimat pertama yang keluar dari mulut Adyth saat ia telah sempurna membuka mata.

"Kau tidur sampai jam istirahat," jawab Ilman. "Gila kau ya, aku mana pernah sanggup tidur di dalam kelas. Ngantuk pun aku tahan-tahan."

"Ngantuk itu alamiah, Man. Pertanda tubuhmu perlu istirahat, jangan ditahan-tahan," jawab Adyth sambil nyengir.

"Mau makan di mana kita?" Aji bertanya. "Kantin Bu Thapen? Atau mau makan soto?"

"Habis ini kelas Seni kan? Bagaimana kalau kita makan gudeg saja?" timbrung Dj.

"Gudeg? Gudeg di pasar maksudmu?" Dolphy memastikan. "Engga, engga. Aku males minggat keluar hari ini, J."

"Tapi kalau kata Naufal kita keluar, kau mau ikut keluar, kan?" bujuk Dj.

"Sayangnya aku sepakat dengan Dolphy, J. Aku pun malas minggat hari ini," jawab Naufal terkekeh. "Ayolah, kita ke tempat Bu Thapen saja."

Baru juga mereka keluar kelas, mendadak terdengar suara riuh teriakan orang-orang, bersamaan dengan bunyi pagar yang seperti dipukul berulang kali dengan logam. Belum sempat mereka pergi mengecek, terdengar suara pengumuman di toa sekolah.

"Semua murid yang ada di bagian belakang sekolah segera masuk ke dalam Gedung Olahraga, yang di bagian depan sekolah silahkan segera masuk ke dalam kelas masing-masing. Diulangi sekali lagi, semua murid yang ada di belakang sekolah--"

"Ada apa sih?" tanya Dolphy penasaran.

Tiba-tiba, ada sekitar seratus murid menyerbu masuk sekolah mereka. Setengah dari mereka tampak berlari menuju lapangan basket, setengahnya lagi mengejar. Kedua kelompok ini bukan dari SMA Vinhale, jelas terlihat dari seragam mereka. Yang satu mengenakan baju bengkel warna biru, satunya lagi seragam batik coklat keemasan.

"Widih, tawuran nih," ujar Dj sambil tersenyum. "Jarang-jarang nih kejadian begini."

"Yang baju biru itu SMK 13 kan? Yang satunya SMA mana?" Aji bergumam.

"SMA 21, satu-satunya sekolah yang pakai baju batik di hari selasa" jawab Dolphy. Anak ini sudah siap mengangkat kamera, tidak ingin kehilangan kejadian yang bisa menjadi konten heboh nan berharga.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now