Chapter 18 - Mereka yang Merindukan Kehangatan

181 58 2
                                    

"Kau bonyok dihajar preman pasar?!"

Adyth memang kaget saat bertanya demikian, tapi kalimat itu sama sekali tidak mencerminkan orang yang sedang khawatir—lebih mirip nada ejekan yang disempurnakan. Siapa lagi targetnya kalau bukan Naufal yang sedang duduk di bangku samping supir, sedang menempelkan botol air mineral dingin ke pelipis kiri sebagai usaha meredakan nyeri.

Meski Naufal cuek dengan ejekan itu, Ilman tidak tinggal diam. "Dia dihantam balok kayu dari belakang, Dyth—dikeroyok dua orang!"

"Ayolah, Man! Kau tahu temanmu itu selihai apa dalam berkelahi, kan?! Jatuh hanya karena satu kali pukul?"

"Kalau aku boleh membela diri," Naufal menoleh ke barisan kursi belakang. "Aku jatuh karena di dorong, bukan dipukul."

"Sama saja! Intinya kau tetap celaka!" Dj teriak dari kusi paling belakang. Nada bicaranya beda dengan Adyth, yang ini benar terdengar khawatir. "Kalau lawan preman, mana boleh ulur-ulur waktu. Kau harus langsung hajar secepat mungkin! Masih untung balok kayu, bagaimana jadinya kalau belati tajam yang ditusukkan ke kau?!"

Tak ingin pembahasan itu makin panjang, Naufal malah berpaling pada Dolphy yang tengah menyetir. "Mau ke mana kita tadi? Panti jompo?"

"Iya, Panti Kembang Kamboja," Dolphy sedang berulang kali menatap kaca spion, berkonsentrasi penuh hendak menyebrangkan mobil di perempatan ramai kendaraan. "Aku dan Adyth tadi ketemu anak kecil, sedang linglung dia mencari tumpangan. Katanya mau ke tempat neneknya yang dibuang oleh ayah dan ibu."

"Hah? Dibuang anaknya sendiri dong?!" ulang Ilman dengan mata melotot.

"Kaget kau, kan? Begitu pula aku dan Adyth saat mendengar cerita miris cucunya."

"Itu! Itu Panti Kembang Kamboja!" teriak Aji girang menunjuk bangunan tua di ujung jalan.

Mobil diberhentikan—tapi justru bukan di depan panti yang jadi tujuan, melainkan restoran khas pinggir sawah tepat di seberang jalan. Mana mungkin kita datang tanpa bawaan, begitu kata Dolphy yang sekarang memesan enam puluh paket ikan bakar lengkap dengan jus alpukat segar.

Jelas seisi panti tidak ada yang menyangka kalau mereka akan kedatangan enam remaja pembawa nasi kotak. Mereka senang tentu saja, senyum merekah menghias wajah saat mempersilahkan enam sekawan masuk panti seolah yang sedang berkunjung itu artis televisi.

"Kami mencari Nenek Yunia," jawab Dolphy saat ditanya mengenai keperluan mereka datang ke panti. Seorang wanita yang rambutnya sudah sempurna beruban, melangkah mendekat. Ia tampak bingung—merasa heran sekaligus khawatir. Ada apa memangnya? Apa aku melakukan kesalahan sampai-sampai dicari ke tempat ini? Begitu mungkin yang terlintas di benak Nenek Yunia.

"Ada titipan dari cucumu, Nek," Adyth menyerahkan tasbih tua berwarna hijau ke dalam genggaman Nenek Yunia. "Ia rindu—amat sangat rindu. Sesekali pulanglah ke rumah karena cucumu selalu menunggu."

Wanita tua itu jelas langsung terharu. Dipeluknya Adyth sambil berlinang air mata, minta dijelaskan cerita lengkap pertemuan mereka dengan sang cucu tercinta. Diceritakan selengkap mungkin oleh Adyth—meskipun adegan si cucu ditendang keluar bus terpaksa di potong karena takut membuat Nenek Yunia menjadi khawatir berlebih. Ternyata seisi panti ikut mendengarkan; ternyata seisi panti mengambil duduk melingkar seolah Adyth sedang memberikan dongeng seru nan menegangkan.

"Kami juga mampir karena ingin makan siang bersama kalian," kata Dolphy dengan senyum lebar. Suasana makin riuh, bahkan beberapa kakek yang duduk di barisan belakang sampai tepuk tangan kencang. Semua bersuka cita saat menerima sekotak nasi dan jus yang dibagikan enam sekawan. Terlebih saat dibuka, ikan bakar renyah yang menyambut mata. Uhh, jelas hati siapa yang tidak bahagia? Ah, bukan—bukan makanannya yang bikin hati penghuni panti berbahagia. Atmosfer ceria ini akan tetap ada meskipun yang diberikan hanya sebungkus nasi sederhana. Ini masalah perhatian—karena orang tua yang tinggal di panti macam mereka, entah kapan terakhir kali menikmati perhatian dan kasih sayang anak muda.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now