Chapter 10 - Panas

225 57 4
                                    

(Catatatan : Adegan dalam cerita ini hanya fiksi demi kepentingan literasi semata. Tidak untuk ditiru)

"Astaga, sudah jam berapa ini coba?!"

"Lima menit lagi istirahat," jawab Aji.

Sebenarnya kalimat yang diucapkan Ilman barusan bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah keluhan. Sebuah bentuk protes halus atas hukuman hormat bendera yang mereka terima akibat ketahuan kabur dari prosesi upacara.

"Hampir satu jam setengah," Dolphy yang mengeluh sekarang.

"Sedikit lagi, kawan, bertahanlah. Lima menit lagi," ujar Naufal memberikan semangat meskipun ia sendiri sudah lemas.

"Ini gara-gara kau sih, Dyth! Pakai acara mampir beli pempek pula, telat kan kita jadinya!" tuduh Dj.

"Lah kok aku sih, cuk?! Kau sendiri makan sepuluh tadi kan!" Adyth membela diri.

"Sepuluh itu kan hasil bagi dua sama kau! Kita kan satu mangkuk tadi!"

Meskipun perdebatan bodoh itu menyakitkan telinga, empat temannya yang lain tak punya cukup tenaga untuk melerai. Fokus mereka hanya di telapak kaki dan dengkul penyangga badan, juga sikut dan lengan yang terus mengangkat memberi penghormatan pada sang bendera pusaka.

Bel istirahat berbunyi. Kompak enam sekawan menurunkan tangan lalu duduk di lantai meregangkan kaki. Namun, mereka harus kembali bangkit berdiri saat Pak Mul, guru BK sekolah Vinhale, datang mendekat sambil mencak-mencak penuh amarah.

"Siapa yang suruh kalian duduk, hah?! Berdiri! Hormat!" pekiknya keras sampai-sampai membuat kepo semua murid yang baru keluar kelas .

"Ayolah, Pak! Kami sudah satu jam setengah kena setrap!" sang kapten yang ngeluh sekarang.

"Jangan mengeluh! Kalian minggat saja lebih dari satu jam setengah!" balas Pak Mul.

"Tapi kan kami baru sekali ini minggat upacara Pak!"

"Iya, minggat upacara baru sekali. Minggat dari kelas? 112 kali!"

"Kok bapak ngungkit-ngungkit masa lalu sih?" ujar Ilman. "Hukuman ini kan untuk kesalahan kami di masa sekarang. "

"Bagi anak nakal macam kalian, tidak ada masa lalu atau masa sekarang, sama saja!"

"Pak, sekali lagi kami katakan, kami menyesal. Kami mengaku salah dan berjanji tidak akan minggat upacara lagi," kata Naufal mulai melunak.

"Halah, janji palsu!" Pak Mul menolak mentah-mentah. "Anak macam kalian harus diberi hukuman sampai kapok!"

"Pak, harus sampai kapan kami berdiri? Lututku sudah gemetar," ujar Dolphy. "Hari ini panas terik dari pagi, kepalaku rasanya sudah mendidih."

"Kepalaku lebih mendidih lagi tahu! Aku selalu cari celah untuk puas menghukum kalian, dan sekarang saat yang amat tepat!" kata Pak Mul seolah sedang berbahagia. "Setengah jam lagi, tepat bel masuk istirahat barulah kalian boleh masuk kelas."

"Astaga, Pak! Total dua jam jadi?!" pekik Adyth refleks.

"Kau kalau tidak mau dihukum jangan kriminal makanya!" balas Pak Mul.

"Bah! Kriminal apaan? Dosa apa kami sampai kau sebut kriminal?!" ujar Dj dengan kasar seolah tak peduli orang yang ia hadapi adalah guru BK. "Kami maling? Mabuk? Narkoba?!"

"Nah, makin ngelunjak kau ini! Kuberi skors kau tiga hari!"

"Tiga hari?! Kau kasih aku satu semester pun aku tidak peduli!"

"Kurang ajar! Sini kau ikut aku ke—"

Kalimat itu terhenti. Bukan karena Pak Mul tak sanggup marah, tapi terpotong oleh suara tubuh Dolphy yang jatuh keras menghantam lantai seperti batang kayu. Teman-temannya jelas langsung panik luar biasa.

"Oh, shit, keringatnya dingin," ujar Ilman gugup.

"Ayo! Gendong dia bawa ke UKS!" ajak Adyth pada yang lain.

"Mau ke mana kalian?!" ujar Pak Mul mencegah. "Pura-pura pingsan lagi?! Halah! Sudah tidak mempan! Aku sudah hapal akting dan akal bulus kalian berenam!"

"Jangan dengarkan dia, kawan! Cepat bawa ke UKS!" perintah Naufal.

Kesal Pak Mul sudah sampai ubun-ubun. Ia merasa diabaikan, merasa harga dirinya sebagai seorang guru sedang dipertaruhkan. "Hey, mau kemana kalian?! Kalian masih dihukum sampai bel masuk istirahat! Tetap berdiri di sini!"

"Aku yang akan tetap berdiri di sini menggantikan mereka, Pak! Jangankan sampai bel masuk istirahat, sampai bel pulang pun aku sanggup!" teriak Naufal sekuat tenaga, suaranya menggema terdengar sampai ke setiap sudut sekolah. "Anda seorang guru, Pak! Bukan algojo! Temanku pingsan dan kau masih ingin memanggangnya di bawah matahari?! Kurikulum apa yang kau pakai?! Kami sudah mengaku salah, kami sudah minta maaf, kami sudah berjanji untuk tidak mengulang. Sebagai seorang guru, tolong sebutkan manfaat apa yang anda dapat dengan menyiksa kami lebih lanjut di sini?!"

"Naufal! Pak Mul!"

Kepala sekolah membuyarkan perdebatan itu. Sang kapten dan Guru BK dipanggil masuk ruangan, diminta untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Jelas situasi macam itu tak baik dilihat oleh murid dan guru, tak baik diselesaikan di depan umum. Terlepas dari siapa yang keterlaluan, muridnya bisa dibenci dengan cap bengal, sedangkan gurunya bisa hilang wibawa dan kehormatan.

Untunglah Vinhale punya kepala sekolah yang bijak. Pak Mul dan Six Elves berdamai, keduanya mengaku salah dan mau introspeksi diri. Si enam sekawan malah kena hukuman tambahan, mengecat ulang gedung olahraga yang dindingnya sudah kacau mengelupas. Itu pun mungkin baru akan mereka kerjakan minggu depan karena Dolphy harus dibawa ke rumah sakit sebab matanya tak lagi sanggup membuka.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now