Chapter 4 - Nyanyian Hati

374 67 7
                                    


"Hoahm."

"Baru juga jam sembilan, bro," ujar Naufal terkekeh melihat teman sebangkunya, Adyth, sedang setengah tertidur beralaskan tumpukan buku.

"Aku baru tidur jam tiga, Fal," Adyth memberi alasan.

"Liga Champion?"

Temannya itu mengangguk sebagai jawaban. Naufal hanya tertawa kecil menanggapi itu. Semua orang punya hobi mereka masing-masing, dan kadang kita memang suka lupa waktu saat tenggelam menikmati hobi tersebut. "Untungnya kita jam kosong sampai istirahat ya."

"Itulah kenapa aku bawa ini," Adyth menarik keluar sebuah penutup mata bermotif Doraemon dari dalam ranselnya. "Aku memang sudah punya niat untuk tidur dari rumah."

Naufal kembali tertawa. Pandangannya kemudian beralih pada empat sahabatnya yang lain. Aji dan Dj sedang mengobrol seru tentang balap Moto GP minggu lalu, sementara Ilman dan Dolphy sedang seru main ular tangga. Ya, ular tangga, kawan. Six Elves memang menyimpan banyak permainan papan dan kartu di laci meja mereka. Tujuannya jelas agar mereka betah di dalam kelas saat pelajaran kosong. Kalau sudah tidak betah, barulah kantin yang menjadi tujuan mereka.

"Hoahm."

Naufal yang kali ini menguap. Bukan mengantuk, tapi karena bosan. Akhir-akhir ini kota mereka begitu damai, tidak ada kejadian kriminal unik yang dapat mereka selidiki. Saking damainya, headline koran bahkan hanya diisi oleh berita olahraga dan resep makanan. Kedamaian macam ini kadang menyiksa bagi sebagian orang yang senang dengan masalah, Six Elves contohnya. Saat Naufal menatap keluar jendela--ke arah koridor kelas yang tentu saja kosong--, doanya bukanlah agar kedamaian ini terus hinggap. Sebaliknya, ia malah berharap ada seseorang yang membawa kejadian menarik untuk mereka selidiki.

Doanya langsung terkabul; seorang murid perempuan tiba-tiba lewat dengan tergesa-gesa. Wajahnya sendu, air mata terlihat mengalir turun membasahi pipinya. Tak lama berselang, Bu Winda--salah satu guru Kesenian mereka--lewat setengah berlari. Wajahnya kusut, lirih dan penuh kekhawatiran. Jelas ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

"Hey, Ji," kata Naufal pada Aji yang duduk di belakangnya. "Ayo ikut aku!"

Aji langsung bangkit tanpa banyak bicara. Wajahnya sumringah, kejadian unik saat jam sekolah memang jarang sekali terjadi.

"Aku juga ikut dong!" kata Dj yang ikut mengekor mereka berdua dari belakang.

Mereka bertiga berjalan menguntit Bu Winda dari belakang, tentu saja tanpa diketahui. Bu Winda datang menghampiri murid perempuan yang tadi beliau kejar, yang sekarang sedang duduk berlutut seorang diri di depan mushola; sementara tiga orang sahabat ini hanya bisa mengintip dari jauh.

"Ada apa? Anak itu ketahuan mesum? Hamil?" tanya Dj.

"Dibanding mencerdaskan otak, kau harusnya mencerdaskan mulut, J. Biar congormu itu sedikit terpelajar," kata Aji sambil terkikik.

"Ji, aku ingin dengar pembicaraan mereka. Kau bisa tangkap obrolannya dari sini?"

"Biar aku coba."

Inilah alasan Naufal mengajak Aji keluar, karena ia butuh telinga. Indra temannya yang satu ini memang jauh lebih tajam dari manusia biasa. Aji memejamkan mata dan mulai menarik nafas. Sebisa mungkin ia mencoba rileks agar indra pendengarannya semakin tajam. Perlahan tapi pasti, ia mulai mendengar sayup-sayup suara di telinganya.

"Tidak bisa, suara nafas kalian terlalu kencang," ujar Aji. "Syuh! Menjauhlah sedikit ke arah sana!"

Naufal dan Dj mundur beberapa langkah. Jelas mereka ingin sekali mengintip, tapi mengintip pun percuma kalau tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now