Chapter 6 - Menguping

242 59 2
                                    

"Tumben cuma berdua," komentar Bu Thapen saat Dj dan Aji numpang lewat di dapur kantin sehabis melompat masuk lewat pagar belakang sekolah.

"Batal minggat  nih, Bu," jawab Aji.

"Minggat kok batal?"

"Mendadak tobat dia," komentar Dj diiringi tawa kecil Bu Thapen.

Begitu keluar mereka berdua dari dapur kantin, sorak penghinaan langsung terdengar.

"Hiyaa balik lagi mereka!" teriak Ilman.

Six Elves yang lain sedang duduk santai, menyeruput jus, bahkan Adyth sedang memainkan gitar menyanyikan lagu lawas.

"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Aji saat ia dan Dj sudah duduk bergabung. "Kelas matematikanya bagaimana?"

"Ibunya cuma masuk sebentar tadi," jawab Dolphy yang sedang main HP.

"Bah, mending lanjut main warnet tadi kan!"

"Hush! Harusnya Alhamdulillah, jadi kita tidak perlu buru-buru buat tugas, J."

"Tugas tetap dikumpul kok," komentar Adyth. "Kan jadi pengganti nilai ulangan. Hayo! Nilai kalian nol! Mampus!"

"Ah yang benar kau?!" Aji tampak panik. "Waduh, ayo, J, kita buat dulu!"

"Punya kalian sudah dikerjain sama Ilman kok," jawab Naufal sambil bangkit meninggalkan meja.

"Mau kemana kau? Kami baru datang kok kau langsung pergi," kata Dj.

"WC sebentar!"

"Langsung mules kali dia liat muka kau J," ejek Adyth sambil terbahak.

Refleks Dj melempar gelas plastik jus ke wajah Adyth sebagai balasan.

✵✵✵

Sambil mencuci tangan, Naufal bersiul kecil penuh kebahagiaan. Untunglah toilet sekolahnya bersih dan terang sehingga nyaman untuk dipakai. Bayangkan kalau bentuknya gelap dan kotor, uh ... jangankan bersiul, mau masuk pun rasanya enggan.

Selesai menutup keran, telinganya tiba-tiba mendengar percakapan. Berjalan anak ini mencari sumber suara, dibalik tembok dinding salah satu bilik. Naik dia ke atas kloset untuk mengintip lewat jendela kecil di bagian atas, mencari tahu apa yang diributkan orang di belakang toilet sekolah. 

"Ulangi!" pekik tertahan seorang murid perempuan berambut setengah pirang.

"Ampun kak! Ampun! Saya minta maaf!" ujar murid perempuan lain yang kini sedang jongkok di tanah. Tubuhnya basah kuyup seperti habis mandi.

"Nih ... nih ... nih, satu ember lagi." Tiba-tiba datang murid laki-laki membawa ember penuh air lengkap dengan gayung.

Tanpa babibu, ditumpahkan airnya langsung oleh si pirang ke murid perempuan yang jongkok di tanah. Lututnya gemetar, bibirnya memucat, sementara mulut tak henti-henti berucap ampun, memohon agar siksaan itu segera dihentikan.

"Makanya jangan cari gara-gara sama Vero, Queen sekolah Vinhale!" teriak angkuh si siswi rambut pirang.

"Nah, sebagai denda karena sudah berbuat dosa pada murid paling disegani di sekolah ini, mulai besok kau harus bayar denda lima puluh ribu rupiah per hari. Setorkan padaku setiap hari selama seminggu, paham?!" tambah si murid laki-laki.

"Ampun kak, aku tidak punya uang banyak. Orang tuaku cuma pedagang kecil di pasar, aku—"

"Tidak ada yang tanya, bego!" pekik si rambut pirang sambil menjambak rambut korbannya. "Mau orang tua kau pedagang kek, pembantu kek, urusan kau! Kami tahunya lima puluh ribu satu hari!"

Naufal turun dari kloset, tidak lagi ikut menguping pembicaraan. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku; membuka daftar kontak untuk kemudian menelepon seseorang.

"Halo? Ya, aku sedang tidak di kelas—Bu Hana cuma masuk sebentar tadi untuk mengumpulkan tugas. Apa kelasmu juga kosong? Bagus! Aku kebetulan butuh bantuanmu, Tasya. Bisakah kau kemari? Ke bagian belakang toilet sekolah dekat kantin Bu Thapen. Ah, dan tolong kau belikan dulu baju olahraga satu stel di koperasi ... iya tenang, nanti uangnya aku ganti kok!"

✵✵✵

"Ampun, Kak. Aku tadi itu betul-betul tidak sengaja, pas jalan agak nunduk jadi ketabrak Kakak. Kan tumpahnya juga cuma sedikit Kak."

"Tumpah sedikit?! Mau sengaja kek, tidak sengaja kek, bajuku basah tahu!" teriak Vero kasar. "Seragam aku ini dibuat khusus—mahal! Jangan samakan dengan baju yang kau pakai dong, dasar gembel!"

"Siapa nama kau tadi? Ah, iya, Sisil—kelas X.4 kan kau? Ingat ya, lima puluh ribu satu hari!" tambah temannya cengingisan sementar Sisil hanya sesegukan di lantai, pasrah menerima takdir.

BYUUURRR!!!

Seseorang menyiramkan air satu ember penuh dari arah belakang. Langsung basah kuyup tubuh Vero dan si murid laki-laki.

"Ah, maaf, aku tidak sengaja. Kupikir tidak ada orang," kata Naufal terkikik.

Jelas saja si pembully ini makin berang. Setelah sebelumnya seseorang menumpahkan minuman ke baju, kini malah diguyur habis dari atas sampai bawah. "Apa-apaan kau, bangsat?!" teriak Vero penuh amarah. "Berani sekali kau dengan aku, hah? Kau tidak tahu siapa aku?! Aku bisa bikin kau dikeluarkan dari sekolah ini dan jadi gelandangan tahu! Dasar An—"

Si murid cowok dengan sigap menutup mulut Vero. Tangannya gemetar, wajahnya dipenuhi rasa takut.

"Apa sih kau ini?!" Vero menepis tangan si murid cowok. "Kau itu harusnya membela aku! Hajar dia! Pukul!"

"Wow, wow. Hajar? Pukul?" ulang Naufal sambil tertawa.

Mendengar itu, si murid cowok langsung berlutut. "Ampun, Bang! Ampun! Dia belum kenal Abang, jadi dia belum paham, Bang!"

Bingung, shock. Baik Vero dan Sisil, mereka berdua hanya melongo heran.

"Emang kenapa kalau dia tidak kenal aku? Ngapain pula kau panggil-panggil aku Abang, hah? Kenal pun tidak aku dengan kau."

"Ampun Bang! Maaf!"

"Ah, yang seharusnya minta maaf itu aku," ujar Naufal. "Aku tidak sengaja membuang air ke arah kalian ini. Maaf ya!"

Sebelum Vero kembali nyolot, si murid cowok sudah lebih dulu menimpali.

"Tidak masalah, Bang! Sumpah, tidak apa-apa! Cuma air ini kok, kami bisa langsung ganti baju nanti!"

"Syukurlah," kata Naufal. "Cepat sana ganti baju kalau begitu, nanti keburu masuk angin."

Si murid cowok menggenggam tangan Vero, menarik si pembully itu untuk segera pergi. Namun begitu hendak melewati Naufal, pundak si cowok ditepuk pelan.

"Eh, kudengar tadi ada pungutan lima puluh ribu satu hari ya? Pungutan apa itu? Bukannya sekolah kita tidak pernah ada pungutan apa-apa selain SPP?"

"Ampun Bang! Itu tadi saya bercanda, Bang, sumpah bercanda!"

"Bagus," jawab Naufal singkat. Ia lalu mengepalkan tangan kanan tepat di depan wajah si murid cowok sambil berkata, "Soalnya kalau memang ada, aku mau ikut setoran juga."

Si murid cowok langsung lari terbirit-birit bersama Vero, membuat heran Tasya yang kini baru datang membawa satu stel baju olahraga.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now