Chapter 9 - Upacara

222 60 3
                                    

"Pembina upacara memasuki lapangan upacara."

"Hoahm." Adyth menguap kencang tepat setelah kepala sekolah naik sempurna ke atas podium.

Senin hari itu, seperti biasa murid-murid sedang melaksanakan upacara bendera. Kegiatan rutin sejak sekolah dasar, bagian dari kurikulum yang diharapkan mampu menanamkan nasionalisme di setiap insan muda Indonesia.

Namun, tidak semua murid suka dengan upacara. Kalau kau termasuk yang sebal berbaris di lapangan tiap Senin pagi, kau tidak sendiri kawan. Six Elves juga begitu.

"Waduh, Pak Karyo pula pembina," keluh Aji. "Bisa setengah jam kalau dia yang kasih amanat."

"Sabar, kita upacara kan cuma seminggu sekali. Kalau kau lakukan dengan penuh penghayatan, ga akan kerasa kok!" Ilman sok bijak.

"Penghayatan dengkulmu," ejek Dj. "Kalau upacara dalam ruangan sih oke, lah ini panas begini--mendidih otak aku rasanya."

"Otak apaan? Emang kau ada otak?" cetus Adyth yang langsung dibalas Dj dengan tepukan keras di punggung.

"Minggat sajalah yuk! Makan lontong kari di pasar enak kayanya," tiba-tiba Dolphy memberikan usul.

"Uangku di tas nih!"

"Aku bayarin."

"Aku mau dua porsi loh!"

"Ga masalah."

"Yakin?"

"Bawel kali kau ini, kampret. Dia kan udah bilang iya, ya udah berarti iya. Banyak tanya kau macam baru kali ini saja ditraktirnya,"  komentar Dj sementara Aji hanya terkikik.

"Gimana, kapten? Approve ga nih?" tanya Dolphy.

"Hajar," jawab Naufal cepat. "Man, kau ikut?"

Ilman mengangguk. "Ikut dong! Aku pun belum sarapan, Fal."

Kita semua pasti sepakat, minggat dari kelas adalah tindakan yang relatif gampang. Tinggal angkat tangan, izin ke toilet atau rapat OSIS, selesai. Namun, lain ceritanya kalau kau mau minggat dari lapangan upacara. Kau tidak mungkin mengangkat tangan lalu berteriak meminta izin, tak mungkin pula diam-diam kabur karena pembina berdiri tegap di atas podium memperhatikan barisan.

Tapi Six Elves punya cara. 

BUGHHH!

Memekik beberapa siswi dari barisan kelas 3.1. Suasana menjadi heboh, padahal saat itu tim paskibra sedang bersiap memasuki lapangan untuk mengibarkan bendera. Bahkan Kepala Sekolah mereka harus bersusah payah bantu menenangkan barisan.

"Minggir! Beri ruang! Minggir!" pekik Dolphy dengan panik mendorong kerumunan bersama Aji.

Adyth sedang tergeletak lemas di tanah, terkulai tanpa tenaga dengan mata terpejam.

"Angkat dia kawan-kawan! Bawa ke UKS!" Naufal memberi komando.

Dengan susah payah mereka berlima menggotong tubuh Adyth yang besar bersama-sama keluar dari barisan.

Tim PMR datang membawa tandu, tapi langsung kembali mundur beberapa langkah begitu Dj berteriak, "Telat, bodoh! Sudah tidak perlu tandu, tanggung!"

Padahal sebenarnya tim PMR sudah bergerak cepat, dasar merekanya saja yang cari-cari alasan untuk keluar dari lapangan upacara.

"Awas aer panas, aer panas!" Aji teriak setengah melawak saat menggotong tubuh Adyth menjauh dari lapangan.

Setelah sampai di depan UKS, Adyth kembali melek. Sambil tertawa mereka berenam lari menuju kantin belakang sebelum ketahuan.

"Punten Bu Thapen," Ilman pamit dengan sopan saat mereka numpang lewat di dapur kantin.

"Aku sama Dj ngambil gorengan satu, Bu! Nanti dibayarnya ya pas istirahat!" kata Adyth yang lari paling belakang. 

Bu Thapen hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil. Mau dilarang pun percuma, guru saja tak sanggup membuat mereka tobat dari minggat. Makin dihukum, makin jadi. Toh mereka bukan kriminal, hanya golongan murid-murid yang tak suka belajar dengan dibatasi oleh dinding sekolah.

✵✵✵

"Alhamdulillah, buka tuh!" teriak Aji menunjuk gerobak putih yang nangkring sendirian di ujung pertigaan.

"Mari-mari, Dek, mau makan?"

"Ga, Bang, mau ngadu cupang," jawab Dj cepat.

"Ah, bisa saja sampean ini," kata si abang penjual sambil ketawa. "Enam porsi ya? Duduk dulu, duduk dulu! Tak buatkan dulu sebentar!"

"Pengibaran sang saka merah putih diiringi lagu Indonesia Raya."

Melongok langsung mereka berenam mencari sumber suara. Mereka cukup jauh dari sekolah, kok bisa suaranya sampai ke sana?!

"Itu dari Kodim sebelah sana, Dek," ujar si abang penjual seolah paham apa yang sedang dicari enam sekawan. "Ga upacara tah kalian? Minggat?"

"Lapar, Bang! Kalau tidak makan terus pingsan pas upacara kan jadi masalah," jawab Adyth nyengir. 

Sementara teman-temannya sedang bercanda dengan empunya lapak, Dolphy malah tertarik dengan hal lain.

Tepat di depan pagar Kodim yang tadi ditunjuk abang penjual lontong, berdiri seorang pria tua dengan tubuh yang tak lagi segar. Tangan kirinya menggenggam plastik bening berisi belanjaan pasar, sementara tangan kanannya mengangkat tegas memberi hormat ke arah bendera merah-putih yang sedang berkibar naik beriring lagu kebangsaan.

 Tangan kirinya menggenggam plastik bening berisi belanjaan pasar, sementara tangan kanannya mengangkat tegas memberi hormat ke arah bendera merah-putih yang sedang berkibar naik beriring lagu kebangsaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perasaan malu langsung hinggap dalam diri Dolphy. Kakek tua itu hormat bukan karena kewajiban, bukan pula karena ikut-ikutan. Ia rela berhenti jalan untuk sejenak memberikan hormat karena paham perihnya perjuangan para pahlawan mengibarkan selembar bendera tanda kemerdekaan.

Lalu bangkitlah Dolphy dari duduknya. Tegak ia berdiri di samping si Kakek untuk ikut memberikan hormat sampai tiba sang merah-putih diujung tiang. Terbersit dalam hatinya untuk tidak lagi melewatkan upacara. Ya, karena apalagi yang bisa diharapkan oleh negeri ini kalau generasi penerus bangsa macam mereka tak lagi menghargai esensi dari pengibaran bendera?


(Sumber gambar : http://www.korem071.mil.id/wp-content/uploads/2019/08/IMG-20190817-WA0938.jpg, website Korem 071/Wijayakusuma)

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang