Chapter 15 - Belajar Mandiri

211 61 3
                                    

"Yo! Dj!"

"Astaga, sedang apa kau di sini?!" tanya Dj yang baru saja keluar dari kedai burger tempat ia kerja sambilan.

"Apalagi kalau bukan makan?" jawab Naufal setelah menyeruput habis sisa soda di gelasnya. "Burger di tempat ini enak juga ya!"

"Kau memata-matai aku?"

"Lah, memata-matai apaan?!" ujar Naufal sambil tertawa kecil. "Memangnya kau penjahat?"

"Tidak mau jujur? Rumahmu tiga belas kilometer dari sini, kawan. Lapar tak mungkin jadi alasan kau datang kemari."

"Oke, oke, aku mengaku. Aku datang karena ingin melihat tempatmu bekerja, J, murni karena penasaran."

Dj menghela nafas. Ia duduk di kursi seberang Naufal. "Bukan penasaran, tapi peduli. Aku tahu kau khawatir, Fal. Terima kasih, tapi aku sungguh baik-baik saja."

"Yang khawatir bukan cuma aku--kami semua khawatir."

"Apa yang kalian khawatirkan? Rasa malu? Kalau kalian malu punya teman seorang miskin tukang cuci di kedai burger, silahkan--"

Mulut Dj langsung mengunci, tak sanggup ia selesaikan kalimat itu ketika Naufal menatap balik dengan tajam penuh kemarahan. Mungkin karena terbawa suasana, ia lupa kalau Naufal adalah satu-satunya manusia yang tidak boleh ia lawan.

"Maaf, aku tidak bermaksud untuk--"

"Jangan pernah sekali pun meragukan teman-temanmu, J. Malu? Ilman bahkan sampai punya usul supaya kami berlima ikut kerja sambilan di tempat ini bareng kau!" Naufal mengetuk meja berkali-kali dengan buku jari. "Kau tahu apa yang lebih gila? Dolphy bahkan hendak beli franchise burger ini, menyewa ruko dekat rumahmu, lalu menunjuk kau sebagai manager di sana!" lanjut Naufal. "Malu? Betul kami memang malu! Kami malu karena saat kau kerja keras untuk makan, kami hanya diam tanpa melakukan apapun!"

"Iya, Fal. Maaf--bicaraku kelewatan."

Alih-alih menjawab, sang kapten hanya membuang muka menghadap jalan raya penuh kendaraan.

"Kau tahu apa yang paling aku takutkan sekarang? Dewasa, kawan--aku takut menjadi dewasa," Dj kembali membuka percakapan. "Kurang dari setahun, kita akan lulus sekolah. Lalu apa? Kita mana mungkin terus bersama; kalian punya impian masing-masing yang menunggu untuk diwujudkan. Kalau sekarang aku terus-terusan berpangku tangan pada kalian, saat nanti kita berpisah apa yang bisa aku lakukan? Makanya mulai sekarang, aku harus berpikir lebih dewasa. Mulai sekarang aku tidak boleh manja, harus bisa mandiri dan mulai kerja keras."

"Justru pikiran macam itu menandakan kalau kau belum dewasa," balas Naufal dengan dingin. "Mandiri bukan berarti kau berjuang sendiri. Kau lihat Dolphy, dia berencana membangun bisnis kuliner selepas sekolah. Kenapa kau tidak berjuang bersama dia? Kenapa kau harus berjuang seorang diri?"

Makin menunduk kepala Dj mendengar pertanyaan itu.

"Kami bukan temanmu, J," lanjut Naufal. "Kami saudaramu--dan saudara tidak akan pernah meninggalkan saudaranya yang lain berjuang seorang diri."

"Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Waktu kita kecil, aku pernah berjanji akan membiarkanmu melakukan apapun yang kau mau, karena saat kau melakukan hal buruk, aku sendiri yang akan menghentikanmu. Yang kau lakukan kali ini tidak bisa disebut buruk, makanya aku sama sekali tidak komentar. Kau tahu alasan sesungguhnya kenapa aku datang? Karena anak-anak khawatir dan prihatin padamu! Aku satu-satunya orang yang bersikap biasa saat kau menjadi tukang cuci piring di kedai ini! Jadi kalau kau tanya aku apa yang harus kau lakukan, ya terserah kau. Ini hidupmu dan kau yang menentukan, tapi tolong ingat, kau selalu punya pilihan. Kau bisa habiskan sisa waktu SMA-mu bersama kami, atau silahkan habiskan di kedai ini untuk belajar mandiri."

✵✵✵

"Kau yakin?"

"Yakin, Pak!" jawab Dj tegas.

Pak Arif, bosnya, mengangguk pelan sebagai persetujuan. "Padahal karyawan macam kau sulit dicari, pasti akan banyak pelangganku yang merasa kehilangan."

"Kalau pelanggan itu perempuan muda dan cantik, kasih saja nomor HP aku, Pak!" kata Dj bercanda. Ia lalu pamit, mencium tangan Pak Arif lalu melangkah pergi meninggalkan kedai.

Langkahnya makin cepat karena langit sore itu makin mendung. Beruntunglah ia berhasil sampai halte saat hujan mulai turun.

Sambil bersiul pelan, Dj menatap sekeliling. Tidak ada yang aneh di sana, hanya sekumpulan orang-orang yang sedang menunggu kendaraan, saling merapat karena tidak ingin basah kena hujan. Akan tetapi, sepuluh meter di samping halte itu, dua orang anak kecil sedang duduk santai di bawah pohon, tubuh mereka mengatup diguyur hujan lebat. Yang satu dilapis jas hujan tipis, sementara yang satunya harus menahan dingin hanya dengan berbalut kaus lusuh. Puluhan bungkusan plastik bening berisi kerupuk tergantung di atas kepala mereka, menunggu untuk dibeli oleh siapa saja yang lewat dan tertarik. Ya--tapi siapa yang akan lewat di bawah hujan deras begini?

Dj yang tadinya tidak ingin kehujanan, sekarang malah berjalan mendekat karena penasaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dj yang tadinya tidak ingin kehujanan, sekarang malah berjalan mendekat karena penasaran. Jelas ia langsung basah, tapi hal itu tak pula ia pusingkan. Begitu dekat, Dj langsung menghardik, "Hoy! Ngapain kalian hujan-hujanan di sini?!"

"Ju-jualan, Bang!" jawab mereka berdua dengan gugup.

"Heh, dungu! Kalian tidak punya otak apa?! Hujan begini mana mungkin ada yang beli!" Dj kembali menghina.

"Ibu saya bilang hujan itu rejeki."

Dj refleks menepuk jidat. GOBLOK KAU! Ingin sekali Dj meneriakkan kata itu tepat di depan wajah mereka berdua yang jelas sudah salah kaprah.

"Kalian kenapa kok sampai jualan hujan-hujan begini? Kalian tidak punya uang untuk makan? Atau kalian kalau pulang tidak bawa uang bakal dipukul ayah tiri?"

"Kami jual ini karena uang kami kurang, Bang."

"Astaga, iya aku tahu kalian pasti kurang uang. Maksudku kalian butuh uang itu untuk apa?"

"Teman kami sedang sakit, Bang. Ia tak punya uang untuk berobat."

"Sakit Tangker, Bang. Kasihan, badannya kurus macem triplek," tambah bocah yang pakai baju hitam.

DEG! Kata-kata itu menghujam keras masuk ke dalam dada Dj. Terenyuh sih iya, namun ada sebagian dari diri dia yang ingin sekali menempeleng kepala bocah baju hitam itu. Sudah salah menyebut kata kanker, menghina pula.

Sejenak kemudian Dj tertawa, makin lama tawanya makin lepas.

Dua bocah itu menatap bingung, salah seorang dari mereka bertanya, "Kenapa, Bang?"

"Aku lega," jawab Dj. "Aku lega karena aku punya teman yang sifatnya persis seperti kalian, sifat mau melakukan hal bodoh demi teman mereka yang sedang berjuang."

"Nih duit! Aku borong kerupuk kalian!" kata Dj menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribu, uang pesangon yang barusan ia terima dari Pak Arif.

"Se-serius, Bang?!"

"Ya serius! Tapi lain kali pakailah otak kau sedikit kalau pun mau berjuang untuk teman. Temanmu itu pasti tak ingin merepotkan, apalagi kalau kalian sampai mengorbankan badan. Ia pastilah ingin mandiri, meskipun di lubuk hatinya yang paling dalam sebenarnya ia benar-benar butuh bantuan."


Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now