Melawannya

72 17 0
                                    

"Cepat, kita harus cepat masuk ke pintu itu!" Ayah menunjuk sebuah pintu yang bertuliskan, "Utara."

"Stop ayah!" larang ku untuk menahan tangannya yang sedang memegang gagang pintu itu.

"Kenapa kamu malah menahan ayah?" tanya dengan alis kanannya terangkat.

Aku menunjuk ke arah daun pintu itu. Di sana terdapat bercak darah dan di bawah gagang pintu itu, ada cincin batu giok berwarna merah delima.

Tanpa aku duga, ayah malah terdiam dengan melihat cincin itu dengan lamat-lamat. Aku tidak tau apa yang dipikirin ayah mengenai batu tersebut. Namun yang jelas, segerombolan tawon itu sudah dekat dengan kami.

"Ayah!!!"

Ayah langsung tersentak ketika aku berteriak memanggil namanya. Lalu dia mengambil cincin tersebut dan aku langsung membuka pintu yang bernama "Selatan." Kemudian kami bersama-sama memasuki pintu tersebut dan menutupnya rapat-rapat.

*Ngung... Ngung... *

Suara bising itu masih terdengar walau pintu sudah tertutup rapat. Aku gak bisa memikirkan bagaimana kami berdua telat sedikit saja. Pasti kami sudah tewas tersengat oleh ribuan tawon tersebut.

"Fiuh... Untung kita tepat waktu ya, ayah..."
ujarku sembari melirik ke arahnya.

Tak aku duga, ayah malah meneteskan air matanya. Lalu aku juga melihat dirinya tetap menggenggam cincin tersebut dengan kuat.

Aku tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti itu. Kenapa dia tiba-tiba menangis melihat cincin batu akik berwarna merah delima tersebut.

"Ayah, kenapa ayah menangis melihat cincin itu?”

Dengan perasaan untuk bertanya semakin kuat, aku membuka keheningan diantara kami dengan menanyakan sebab dirinya menangis. Namun ayah tetap meneteskan air matanya.

Aku mengamati cincin tersebut, pikiranku teringat kejadian dirinya yang kehilangan cincinnya. Mungkin saja itu cincin yang waktu itu.

"Apakah itu cincin ayah yang hilang waktu dulu?”

Ayah masih tetap meneteskan air matanya. Apakah aku telah salah bertanya mengenai cincin itu? Di pikiranku sudah tidak ada cara lain lagi, selain membiarkannya puas mengingat hal yang berhubungan dengan cincin itu.

Setelah beberapa menit kemudian, ayah yang sudah rada mendingan langsung menoleh ke arahku.

"Cincin ini memang milik ayah, namun cincin ini ayah berikan ke sahabat ayah yang istrinya lagi ngidam ingin menyentuh batu cincin yang bermata merah delima.” ujarnya sembari menatap batu cincinnya.

“Tapi sayangnya dia tidak menemukan satu penjual pun yang menjual cincin tersebut. Ketika kami lagi berkumpul untuk membahas suatu misi, dia menatap cincin ayah terus menerus.” lanjutnya yang masih tetap menatap cincin itu dengan senyum tipis di wajahnya.

“Setelah kami selesai, aku langsung menanyakan kenapa dia melihat cincin ayah dengan begitu serius. Dan dia mengatakan istrinya lagi ngidam. Karena ayah merasa kasihan kepadanya, ayah kasih batu cincin ayah kedia. Karena dia adalah sahabat ayah.” ucapnya kembali.

Aku merasa takjub dengan jiwa solidaritas ayahku. Dia rela memberikan hal yang paling berharganya demi temannya itu. Jika aku jadi dia, mungkin aku masih pikir-pikir lagi untuk mengasih barang kesayanganku.

Namun beliau berbeda. Ayah langsung memberikan barang favoritnya ke sahabatnya tanpa memikirkan lagi. Sungguh pertemanan yang kuat.

“Dan lagi, dialah yang sudah berjasa menolongmu saat kamu tertabrak mobil sewaktu kecil. Dan untungnya dia berada deket kamu dan langsung membawa kerumah sakit. Jadi kamu bisa langsung ditangani oleh dokter.”
           
Aku terkejut mendengar pernyataan dari ayahku. Aku baru mengetahui perihal sewaktu aku harus dilarikan ke rumah sakit akibat tertabrak mobil. Ternyata paman itulah yang berjasa dalam membawaku ke rumah sakit

Virus Injection Blood [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang