Bagian I - Diantus Caryophyllus

2.1K 178 103
                                    

Penyesalan memenuhi dadaku. Bersama deru mesin mobil yang menjauh dari lobi utama bandara, hatiku seketika hampa. Kemantapan dan ambisiku yang sebelumnya meluap-luap, berganti kegamangan sulit dijelaskan.

Ada kekhawatiran menyeruak ketika aku mulai melangkah memasuki pintu masuk bandara, menyeret satu koper besar, melakukan check-in, security check, hingga kini duduk di permier lounge dengan segelas Americano panas.

Aku tahu, pergi jauh dari kota ini, meninggalkan jejak-jejak bisu kenangan yang terpatri, bukanlah solusi.

Aku menghela napas panjang. Sebenarnya, berada di premier lounge Bandara Soekarno Hatta bukanlah hal baru. Aku biasa melakukan perjalanan dinas ke luar negeri dua tau tiga kali dalam satu bulan. Bedanya, kali ini aku pergi dan mungkin tidak akan kembali. Dengan dalih menerima mutasi, kutaruh harapan Bulgaria bisa menjadi tempat menata hati dan perasaan yang kadung berantakan.

"Ke Bulgaria buat kerja ya, Mbak?" tanya salah seorang check in counter staff saat memeriksa tiket dan dokumen milikku beberapa saat lalu.

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk ramah. Tidak mungkin kuceritakan sejarah panjang yang menjadi alasan kepergian ke Bulgaria selain untuk bekerja, kan?

Adalah Haris Antonio Putra, seorang associate partner dari F&B Consulting Firm. Konsultan pertama yang kukenal sejak awal karierku sebagai banker. Teman baik yang sejak satu bulan lalu resmi menjadi mantan kekasihku.

Haris adalah salah satu alasanku berada di sini, menggenggam visa dan boarding pass dengan tangan gemetar. Berencana pergi sejauh mungkin dari Jakarta, dan carut marut perasaanku. Menjadikan Sofia, sebuah kota yang belum pernah kukunjungi menjadi tujuan.

An emergency exit? Not at all. Bu Salsa menawarkan sebuah promosi di waktu yang tepat. Akhirnya, demi bertambahnya digit angka di slip gaji, dan sebelum berita pernikahan Haris menyebar, kuterima tawaran itu tanpa pikir panjang

"Batalin ide gila lo ini!"

Pria yang satu jam lalu memberiku kabar jika masih di Changi Airport, tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan tempat dudukku.

Dia Nico. Adik lelaki lebih muda lima menit dariku. Saudara satu-satunya yang kumiliki. Tampan, insecure, cerewet, narsis sekaligus lelaki paling hangat setelah Papa.

Aku mendesah pelan, lalu memberikan tatapan penuh kekesalan kepada lelaki jangkung yang sekarang sudah duduk di sampingku ini.

Nico menempelkan punggung tangannya di pelipisku. "Lo nggak sakit, kan, Ra? Hanya karena Tafissa dan Haris akan segera menikah, bukan berarti harus minggat dari Jakarta, kan? Gue sama sekali nggak nyangka bakal nemuin lo di ruang tunggu bandara setelah satu minggu penuh nggak ketemu."

"Gue nggak minggat, Nic. Gue kerja. KERJA!" sergahku.

Nico mendesah, dan dengan tatapan innocent-nya Nico berujar, "Kalau urusan gaji, lo nggak perlu khawatir. Gaji gue masih cukup buat menuhin gairah shopping lo yang di atas rata-rata itu. Lagi pula lo cewek, Ra. Gue nggak mau tahu lo batalin penerbangan ini!"

Aku tidak percaya saat orang-orang mengatakan jika saudara kembar bisa membaca isi kepala dari kembarannya. Namun sepertinya, mulai hari ini aku harus mempercayai kalimat itu. Nico berhasil menebak apa yang memenuhi kepalaku sejak membaca kontrak yang ditunjukan Bu Salsa hari itu. You got it, Nic.

"Jangan jadi irasional deh, Nic."

"Lo yang irasional, Ra," sergahnya. "Gue bertanggung jawab penuh atas lo sejak bokap pergi. Dan lo tahu gimana perasaan gue tadi pas dapet SMS dari Tafissa tentang keputusan gila lo ini?"

Aku sudah menebaknya. Siapa lagi yang akan memberitahu Nico tentang ini kalau bukan Tafissa?

"Kasih gue kesempatan buat buktiin kalau gue cukup mandiri buat keluar dari zona ini, Nic. Gue udah gede, oke?"

Nico mengabaikan ucapanku, menarik pergelangan tangan, lalu beranjak pergi. "Lo cantik, punya tubuh tinggi, putih, wajah lo juga nyaris sempurna. Gue lebih rela lo jadi model majalah dewasa daripada lo harus pergi ke tempat itu," cerocos Nico, mengabaikan ekspresi memohon yang kubuat senatural mungkin.

"Lagi pula ini cuma siklus, Ra. Lo kenalan sama cowok, sahabatan, baper, saling suka, jatuh cinta, bahagia, patah hati. Siklus ini akan terulang terus. Sialnya, yang ngambil mantan pacar lo adalah sahabat baik lo sendiri." Nico melanjutkan kalimatnya. Wajah yang semula tampak serius berubah jenaka.

Sialan! Di saat seperti ini, Nico masih bisa mentertawaiku.

Bukan tidak tahu, Nico hanya sedang mengabaikan kenyataan jika menjadi senior finance manager di Nine Bank adalah impian terbesarku. Majalah dewasa? Nico tidak perlu mengatakan hal itu dengan cukup keras, sehingga membuat beberapa orang yang sedang berlalu lalang menoleh ke arah kami, kan?

Please, Nico! Jika tidak sedang berada di tempat umum, mungkin aku sudah menoyor kepalanya. Kalau cara bicaranya seperti ini, siapa yang akan percaya jika pria maskulin yang sedang menyeretku ini adalah partner di The Boston Consulting Grup?

"Lo berlebihan, Nic. Gue cuma pergi ke Bulgaria bukan ke Palestina atau Korea Utara. Lo nggak usah over possessive gitu deh," gerutuku yang sudah sama kesalnya dengan Nico.

Memilih tidak menjawab, Nico kembali menarik pergelangan tanganku.

Tiba-tiba, langkahku terhenti. Bersamaan dengan itu, indera penciumanku berhasil menangkap aroma Giorgio Armani Acqua Di Gio Pour Homme. Jantungku memburu cepat, berharap ini bentuk halusinasi, atau paling tidak ada orang lain dengan parfum sama.

Aku memperhatikan sekitar. Tidak ada Haris di sini. Namun, aku melihatnya dalam benakku selama beberapa detik. Aku melihat Nico berlari ke arah Haris dan ....

Nico menatapku tajam. "Ra?"

Aku tidak menjawab, masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.

"Ra!" Nico memanggilku sekali lagi.

"Nic, lo tadi ketemu ... Haris?" penasaranku. Pertanyaanku berhasil menghentikan langkah panjang Nico.

Nico menatapku peuh selidik, memohon penjelasan. "Dia ngadu ke lo?"

Aku menggeleng. "Gue nyium wangi parfumnya. Gue ngeliat dia barusan–"

"Sekacau itu pikiran lo, Ra?"

Sempat mengeram marah, Nico meremas rambutnya dengan frustrasi.

"Oke, Ra," kata Nico saat akhirnya melepaskan genggaman di pergelanganku.

"Oke, gue boleh ke Bulgaria?"

Nico mengangguk. "Percobaan. Lo boleh pulang dan mengundurkan diri dari Nine Bank kapan pun lo mau. Kasih gue kabar setiap hari, jangan lupa sarapan lagi, dan lo harus angkat telepon dari gue kapan pun," titahnya dengan nada protektif seperti biasa. Demi Tuhan, jika kami bukan saudara kembar–dan tidak tahu semua kebiasaan buruk Nico, aku pasti sudah jatuh cinta padanya.

Aku mengangguk, lalu mendaratkan kecupan singkat di pipinya. Lagi-lagi, wajah Haris muncul dalam benakku. Aku bisa melihatnya dengan begitu nyata sekarang. Adegan Nico berjalan cepat ke arah Haris, mencengkeram kerah kemejanya, lalu melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai hidung.

Aku menghela napas panjang, dan menggelengkan kepala. Apa yang baru saja kulihat?


🍃🍃🍃

Terima kasih sudah meluangkan waktu buat baca Chrysanthemum, ya. Bebas tinggalkan kritik dan saran di kolom komentar juga, lo.

Sampai jumpa akhir pekan ini, ya. See u.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now