Bagian XX - Heliotropium

668 94 8
                                    

Aku menyibak gorden yang menutupi jendela kamar. Bukan di sofa depan perapian, aku kini berada si sebuah kamar sederhana dengan gaya minimalis. Tadi malam–atau dini hari tadi tepatnya, Dimasta membangunkanku. Saking lelahnya, aku ikut tertidur di sofa.

"Aku nggak yakin bisa mindahin kamu dari sini ke lantai dua tanpa bangunin kamu sih, Ra," katanya tepat ketika mataku terbuka. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti, dan dari jarak itu, aku bisa merasakan hembusan napasnya membelai pipi. "Ngomong-ngomong tanganku kesemutan," lanjutnya disertai ringisan kecil di wajah.

"Sorry, Dim," sesalku sambil berusaha membenarkan posisi duduk. "Aku naik sendiri." Aku berjalan menuju tangga sampai akhirnya sadar ketika mendengar suara tawa Dimasta.

"Kamu tahu di mana kamarnya?"

Aku menghela napas panjang. Mengutuk kebodohanku, lalu menggeleng.

Kami jalan beriringan menaiki anak tangga, menyusuri lorong lantai dua, hingga tiba di sebuah ruangan yang kuyakini sebagai kamar Dimasta. Ia sempat memeriksa kondisi kamar sebelum kembali meninggalkan ruangan. Seperti biasa, sebuah kecupan singkat mendarat di keningku.

Mengingat itu, membuatku tak bisa menahan sensasi menyenangkan dalam hati. Aku tidak bisa memejamkan mata kembali hingga pagi.

Baru saja selesai melipat selimut, kudengar ketukan singkat di pintu. Lalu, kudengar suara Dimasta memanggil.

Sudut bibirku kembali tertarik ke atas saat kutemukan Dimasta berdiri di depan pintu kamar. "Anne sudah bangun?" tanyaku begitu selesai mengagumi penampilannya pagi ini.

Dimasta mengangguk. "Ayo turun. Anne membuatkan bubur ayam pagi ini."

Lalu, belum sempat aku menjawab ajakan Dimasta, seorang wanita paruh baya bertubuh gempal menghampiri kami.

"Kemarilah, Nak," kata wanita Bulgaria itu dengan Bahasa Indonesia yang sama fasihnya dengan Ella. Bukannya merasa asing, aku justru merasa sedang berada di rumah sendiri yang lama tak dikunjungi. Wanita yang kuyakini sebagai Anne ini tersenyum ramah. Seketika, hatiku menghangat.

Kuhampiri Anne dan mengecup punggung tangannya. "Glad to see you, Anne. Thank you for your acceptance."

Mengikuti saran Dimasta, aku memanggilnya Anne. Bukan tanpa alasan, Dimasta bilang jika Anne lebih suka dipanggil dengan namanya.

Anne menepuk punggungku singkat lalu tersenyum. Matanya yang teduh menatap jauh ke dalam mataku. "Terima kasih sudah mengunjungi kami, Ameera. Selama ini, aku hanya sempat mendengar berita tentang kekasih Dimasta tanpa sempat mengetahui siapa namanya. Namun hari ini, putraku akhirnya membawamu pulang."

"Ma ...." Terlihat sedikit keberatan, Dimasta ikut membuka suara.

Wanita yang kini sedang menggenggam jemariku erat itu tidak bisa menyimpan rasa harunya. Aku melihat embun di manik birunya. Hatiku kembali menghangat, tidak percaya jika Anne menyambutku dengan begitu antusias–dan ini adalah kali pertama Dimasta membawa pulang gadisnya?

Pipiku memanas. Aku merasa istimewa. Lebay? Ah, aku tidak peduli. Wanita mana yang tidak bahagia saat ibu sang kekasih memperlakukannya dengan cara seperti ini?

Kami menuruni tangga dengan sangat hati-hati. Anne masih menggenggam erat tanganku, sementara Dimasta sudah turun lebih dulu.

Tempat ini masih sama, hanya furnitur dan beberapa bingkai foto yang baru dipasang menjadi pembeda. Perapian, sofa, ruangan, bahkan taman di depan rumah masih tampak sama. Rumah ini dan segala kenangan manisnya, membuatku tidak menyesali keputusan untuk menghabiskan akhir pekan di tempat ini.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang