Bagian XVI - Myosotis

710 95 20
                                    

Tubuhku sempurna mematung. Apa yang Eren katakan padaku tadi siang mungkin benar adanya. Apa yang kualami selama ini bukanlah mimpi. Aku mengalaminya dalam keadaan sepenuhnya sadar. Aku hanya tidak menyadarinya.

Aku menghela napas dalam. Baiklah, mungkin aku akan mulai menyebutnya sebuah kilasan kejadian. Namun, bagaimana dengan nama yang terus menerus diteriakan oleh wanita gempal dalam kilasan itu?

Menggelengkan kepala kuat-kuat, aku berharap ini semua terjadi karena memang Dimasta sedang dekat denganku. Anak kecil yang ada dalam bayanganku itu bukanlah dirinya.

Waktu itu, adegan penyiksaan dengan cukup jelas terlihat saat Dimasta memelukku di Melnik. Tidak seperti biasa, aku hanya mampu melihatnya tanpa rasa sakit. Lalu, hari ini hal yang lebih jelas terlihat tepat saat ia menciumku.

Aku kembali melihat, mendengar, juga merasakan bagaimana rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku. Itu terjadi setiap kali Dimasta melakukan kontak fisik denganku.

"Dimasta, bangunlah! Aku akan membawamu pergi jauh dari sini. Kau ingin ikut aku berlibur ke Yakimovo? Pergi jauh dari tempat ini? Aku akan membawamu ke sana tidak peduli jika aku harus kembali hidup dalam cengkeraman kemiskinan. Kumohon bangunlah, Dimasta. Bukalah matamu. Aku akan membesarkan dan menjadikanmu manusia berguna." Wanita gempal dengan pakaian adat Bulgaria itu mengguncang tubuh anak lelaki yang tertidur di atas ranjang megah. Tubuh dan wajahnya dipenuhi luka juga darah.

Setelah beberapa saat, anak yang dipanggil Dimasta itu menggeliat. Ringisan kecil terlihat di wajahnya. "Aku baik-baik saja, Anne." Kini wajahnya berubah menjadi lebih tenang dan senyuman mengembang di wajah keduanya.

Memilukan.

Sepanjang yang kuingat, anak kecil itu sering tersenyum.

Astaga! Aku sempurna menangis ketika sadar siapa pemilik senyuman yang terukir di wajah anak kecil itu. Itu adalah senyuman milik Dimasta yang berhasil membuatku terpesona; senyuman yang sempat meredakan mabuk udara saat di pesawat; senyuman milik seseorang yang kini mulai mengisi hari-hariku.

Itu bukan Dimasta, 'kan? Dia bukan orang yang memiliki masa lalu sekelam itu. Kekerasan, percobaan pembunuhan, dibiarkan kelaparan dan kedinginan.

Merasa tidak percaya, aku meletakkan barang-barang yang baru saja dibeli ke atas nakas di kamar, lalu mencoba menghubungi Eren. Sayang sekali, Eren tidak menjawab panggilan dariku. Sudah larut malam, mungkin Eren sudah terlelap.

Aku membuka buku yang tadi kubeli dengan perasaan tidak keruan. Tidak banyak yang bisa kupahami dari buku psikologi berjudul Clairvoyance ini. Namun, dari beberapa lembar pertama buku, dapat kusimpulkan jika kemampuan ini bisa hadir tanpa disadari. Aku memang pernah mendengar komentar Nico dan Fanya tentang ketajaman indra penciumanku. Namun calirvoyance? aku sama sekali tidak pernah mendengar istilah itu sebelumnya.

Aku bahkan sudah mengabaikan kejadian di Bandara waktu itu. Alih-alih menganggapnya sebagai kilasan kejadian, waktu itu, aku lebih memilih mengartikannya sebagai imbas dari patah hati yang kualami, dan itu cukup masuk akal.

Retrocognition. Aku menemukan kata ini ketika membuka halaman lima puluh tiga buku Clairvoyance. Dari penggalan kisah yang muncul selama ini, aku meyakininya sebagai kejadian yang sudah lama berlalu.

Aku mengambil ponsel dan memutuskan menghubungi Dimasta. Bukan panggilan suara, aku memutuskan untuk melakukan sebuah panggilan video. Aku ingin melihat wajahnya, juga senyumnya. Entahlah, aku hanya merasa begitu terluka saat ini–atau setelah kenangan itu muncul.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now