Bagian XXVII - Pedicularis Canadensis

33 1 0
                                    

"Lo seriusan mau liburan ke Jakarta, Ra? Yakin itu nggak akan memperparah patah hati lo? Secara, kemungkinan lo bakal ketemu Haris atau Tafissa tinggi banget, sih," cerca Fanya begitu menemukan e-ticket di dalam Leuchtturm1917 Notebook milikku.

Aku menatap Fanya. "Fan, lo tahu banget apa yang gue rasain saat ini. Sakitnya ditinggal Haris saat itu nggak seberapa dibanding ini, Fan," ujarku lirih. Lagi pula, Eren mengatakan jika bertemu dengan mereka mungkin akan membuat perasaanku menjadi jauh lebih baik.

Fanya mengangguk. "Gue inget, Ra. Hari lo putus sama Haris waktu itu, lo cuma beberapa kali ngubungin gue buat nyampah. Bahkan pas lo ngubungin gue buat ngasih tahu keputusan mereka, lo kedengeran baik-baik aja. Bu Salsa bahkan nggak nyangka lo sama Haris udah putus segitu profesionalnya lo kerja. Tapi saat ini, ya Tuhan, Ra. Gue nggak kenal sama lo. Mau sampai kapan kayak gini?"

Bukan tanpa alasan Fanya akhirnya mengatakan itu. Tadi, aku sempat berdebat dengan Mr. Krashimir di kantor hanya karena aku salah menyebutkan angka di belakang koma dari hasil salah satu analisis rasio. Biasanya, berdebat dengannya adalah tugas Fanya. Namun hari ini, aku melakukannya. Seisi ruangan teridiam. Aku sempurna menjadi sosok lain di ruang pertemuan tadi pagi.

Ini sama sekali tidak mudah bagiku. Apa lagi, Dimasta sudah menemaniku sejak tiba di Bulgaria. Bukan. Bahkan saat masih di pesawat menuju ke sini. Aku bahkan sudah lupa, tempat mana saja yang pernah kami kunjungi selama tiga bulan di Sofia. Alexander Nevsky Cathedral, Saint Sofia Church, Church of St.George, Boyana Church, bahkan National History Museum pernah kami kunjungi.

Tiga minggu berlalu sejak terakhir kali aku dan Dimasta bertemu. Dan hari ini, Fanya mengajakku menghabiskan malam di The Briliantin, sebuah klup paling sibuk yang ada di Ibu Kota Sofia. Sepertinya, Fanya sudah mengenal beberapa orang di sini. Dia juga sudah memesan meja sejak pagi.

"Jangan bilang Nico kalau gue ngajak lo ke sini hari ini, Ra. Gue udah bosen denger dia ngomen gara-gara gue nggak nemenin lo pas lo patah hati. Padahal, kan, lo-nya yang nggak mau gue temenin," ocehnya saat kami mulai memasuki ruangan bergaya klasik dengan lampu warna warni menggantung di langit-langit ruangan.

Bangunan The Briliantin tidak besar, tapi nyaman. Ada beberapa lounge dengan sofa dan meja tinggi. Di bagian depan, kulihat layar plasma besar dipajang. Kami berjalan melewati dua bar panjang di sisi kanan. Sesaat, kudengar Fanya menyebutkan brand minuman yang menjadi pesananannya kepada pria muda di meja bartender.

Setelah memesan dan duduk di salah satu lounge yang sudah dipesan sebelumnya, aku tersenyum sinis. Bukan kepada siapa pun, tapi kepada diriku sendiri. Ini adalah kehidupan lama yang sempat kutinggalkan. Dan ini adalah kali pertama aku kembali membiarkan alkohol memasuki lambung sejak dekat dengan Dimasta.

Aku menyukai ini, dari pada tersiksa dengan pikiran tentang kapan Dimasta akan kembali, dan datang ke apartemenku lagi. Karena hal bodoh yang selalu aku lakukan adalahdengan terus memeriksa ponsel.

Barang kali kutemukan satu pesan darinya.

Barangkali ada panggilan tidak terjawab darinya.

Barangkali dia tiba-tiba menghubungiku.

Everything is falling apart.

"Lo boleh nangis, lo boleh teriak, lo boleh ngeluapin kesedihan lo di sini sekarang. Selama lo sama gue. Dan sepulang dari Jakarta ntar, gue nggak pengen lihat muka lo yang kayak gini. Life must go on, Ameera."

Di tengah-tengah dentuman musik beraliran keras yang memekakkan telinga, kudengar Fanya mengatakan kalimat itu lagi. Ya. Life must go on. Tidak peduli seberapa kacaunya dua minggu terakhirku.

Dua minggu yang menyesakkan. Tidak ada lagi aroma Eternity-nya Calvin Klein yang memenuhi seisi apartemenku. Tidak ada lagi orang yang selalu mencium puncak kepalaku setiap kali bertemu. Tidak ada lagi pesan singkat pembangkit semangat yang ia kirim untukku. Tidak ada lagi pertemuan.

Lalu, tepat saat cairan koktail menyentuh lambungku, kenangan itu kembali memenuhi ingatan.

"Gimana kalau abis nikah kita harus jauhan, Ra? Missal kamu harus mutasi lagi ke Indonesia sementara aku nggak bisa ninggalin kerjaan di Bulgaria," ujarnya ketika kami menghabiskan sore di Sunny Beach satu bulan lalu.

Aku tertawa. "LDR? But, wait, nikah?" tanyaku kemudian. Entah bagaimana cara kerja kata itu hingga membuat pipiku memanas. Pernikahan? Kami bahkan belum pernah membahas ini sebelumnya.

"Iya. Jangan bilang kalau kamu nggak pernah mikirin pernikahan, Ra?" tanya Dimasta sambil mengeratkan pelukan. "Di usiaku saat ini, udah bukan saatnya aku ngejalin hubungan yang cuma main-main. Dan itu jugalah alasanku minta kamu jujur kalau ada hal yang tanpa sengaja bikin kamu nggak nyaman. Termasuk bahas soal ini–"

Aku membalikkan badanku, dan mendaratkan kecupan singkat di pipinya. Itu adalalah kali pertama aku melakukannya, dan berhasil membuat Dimasta tidak mampu melanjutkan kalimat. "No, Dimasta. Apa pertanyaan kamu tadi? Em, kalau harus LDR abis nikah? Kalau aku, sih, nggak masalah. Kalau kamu sibuk, ya aku ambil cuti buat ke sini. Kecuali kalau kamu kangennya ...." Aku berpura-pura sedang memikirkan sesuatu. Lalu, belum sempat berkata apa pun lagi, ia sudah mencium bibirku.

"Jangan kayak gitu, Ra."

"Apa?" tanyaku masih berusaha memasang ekspresi senormal mungkin. Tidak peduli jika hatiku kian bergemuruh, dan pipiku sempurna menghangat.

"Jangan godain aku." Dimasta kembali mengeratkan pelukan dan menyandarkan dagunya di bahuku.

Aku tidak menjawab, menunggunya melanjutkan kalimat.

"Aku nggak tahu sebatas apa aku bisa ngendaliin diri, Ra ...." katanya sambil tertawa jail.

Oh, shit! Hanya dengan mengingat itu saja sempurna membuat air mataku berguguran.

Aku mengambil ponsel di dalam tas lalu membuka galeri. Kutekan salah satu gambar yang menampilkan wajahku dan Dimasta sedang tersenyum. Di belakang kami, matahari hampir tenggelam di ujung laut.

Sunny Beach, satu bulan lalu.

Dengan tangan bergetar, kucari kontak dengan namanya. Aku berakhir menekan kembali nomor itu setelah dua minggu menahan diri untuk tidak menghubunginya. I missed him so much. Itu faktanya. Awalnya, kukira Dimasta tidak akan menjawab teleponku sebelum akhirnya kudengar suara beratnya di seberang telepon.

"Ra?"

Air mataku kembali jatuh. Di tengah hiruk pikuk The Briliantin tidak lantas membuatku melupakan Dimasta. Aku menghubunginya, mendengar suara beratnya, lalu membayangkannya ada di sini; di depanku, menatap dengan lembut, memeluk, mencium, menenangkan ... pertahananku berantakan. Aku sangat merindukannya.

"Dimasta ...."

Kini, aku tidak hanya mendengar suaranya. Namun juga bisa menyentuhnya. Aku kembali mencium aroma aroma Eternity-nya Calvin Klein. Dimasta ada di depanku. Menatapku dengan tatapan penuh luka. Sama sepertiku, air matanya menderas basahi pipi. Aku tidak sedang bermimpi, bukan?

"Sorry karena datang terlambat, Ra."

Aku hampir tidak mendengar apa yang Dimasta katakan saking pelannya. Dan di detik berikutnya, tanpa sempat mengerti apa yang sedang terjadi, aku sudah berakhir di pelukannya.

"Karena aku nggak percaya kalau kebetulan bakalan terulang. Gimana kalau kita ketemunya nggak usah nunggu kebetulan, Dim?" lirihku di sela isak tangis yang tidak tertahan lagi.

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Kali pertama Dimasta mengatakan itu dan menjadi awal dari kedekatan yang terjalin di antara kami.

Ini menyakitkan, Dimasta. Jangan pergi lagi.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now