Bagian XVIX - Nephrolepis Exaitata

639 92 5
                                    

Aku membuka jendela mobil yang membawa kami ke Shiroka Laka. Berusaha memenuhi paru-paru dengan udara, aku berharap kenangan buruk itu berhenti menghantui. Tadi, karena serbuan kilatan kejadian, Dimasta terpaksa menghentikan mobilnya dan membiarkanku muntah di rest area terdekat. Nyatanya, keindahan panorama sepanjang jalan Sofia-Shiroka laka tidak mampu membuat kilatan kejadian itu berhenti menggangguku.

Aku sudah mencegahnya, tapi kenangan itu membanjiri kanal-kanal pikiran, membuat sesak perasaan. Parahnya, aku juga mulai merasakan nyeri di kepala. 

Kenangan buruk itu kembali memenuhi kepalaku. Masih di dalam ruangan yang sama, kali ini, aku melihat ayah Dimasta memukulnya hingga tak berdaya. Di sudut ruangan lain, sang Ibu tersenyum sinis. Alih-alih menolongnya, wanita itu hanya berdiri dan menonton adegan di depannya. 

Ini bukan kali pertama wanita bertubuh kurus nan cantik itu hadir dalam benakku. Sekali, aku pernah mendengar Dimasta memanggilnya ibu. Dari sorot mata dan garis wajah, dia memang sangat mirip dengan Dimasta.

Lalu, Anne muncul dari balik pintu. Ia menangis melihat wajah Dimasta yang bersimbah darah. Dengan bercucuran air mata, Anne membersihkan darah dan mengobati luka-luka di tubuh Dimasta.

"Feeling any better, Ra? atau kalau kamu kecapaian, kita bisa balik ke Sofia?" tanya Dimasta entah untuk keberapa kalinya sejak aku terakhir kali menumpahkan isi perut. 

Aku menggeleng. Jika kata Dimasta kami telah melewati setengah perjalanan, kembali ke Sofia akan sama saja jauhnya. lagi pula, aku tidak ingin membuat Dimasta kecewa hanya karena tidak bisa mengendalikan pikiran.

Dimasta memegang pelipisku sesaat. "Kamu demam," katanya dengan nada khawatir. 

Ia menghentikan laju mobil ketika kami tiba di sebuah apotek kecil penggir jalan. 

"Biasa minum obat apa?" tanyanya setelah melepas sabuk pengaman dan bersiap turun.

"Apa aja, Dim." Aku tidak yakin harus menyebutkan apa. Sebelumnya, aku jarang sekali sakit. Terakhir kali sakit dan sampai dirawat inap adalah beberapa hari setelah kepergian orang tuaku. Aku tersenyum. Entah kenapa, aku merasa aneh saat Dimasta melontarkan pertanyaan ini saat dirinya dokter.

Lima menit kemudian, Dimasta kembali dengan beberapa butir obat di tangannya. Ia sempat membantuku membuka botol minuman dan memastikan aku menelan semua obatnya. "Istirahat, ya. Nanti aku bangunin kalau udah nyampai," kata Dimasta. Ia sempat menggenggam jemariku sesaat sebelum akhirnya kembali fokus dengan kemudi.

Entah berapa lama tertidur, aku melihat deretan rumah khas Bulgaria yang tidak lagi asing begitu membuka mata. "Udah sampai, Dim?" tanyaku heran. Rasanya belum lama aku terlelap dan tiba-tiba saja mobil yang kami kendarai sudah tiba di gerbang sebuah desa.

"Shiroka laka?" Aku mengulang pertanyaan yang sama saat Dimasta tidak memberi respon apa pun selain tersenyum.

Kemudian ia mengangguk. "Sayang sekali tiba di sini pas udah malem ya, Ra. Gimana pusingnya? udah mendingan?"

Aku mengangguk. Tidur yang sebentar tapi berkualitas tadi berhasil mengenyahkan sakit di kepalaku tanpa sisa. Aku merasa kembali segar. "Thanks ya, Dim. Sorry malah jadi ngerepotin kamu sepanjang perjalanan. Aku nggak pernah kayak gini sebelumnya."

"Sama sekali nggak ngerepotin, Ra. Aku justru ngerasa bersalah udah ngajak kamu pergi padahal aku tahu kamu kemarin lembur sampai larut malam." Dimasta mengelus kepalaku dan tersenyum. Ya Tuhan, di tengah jalan yang gelap, dengan sedikit sekali sorot lampu masuk ke mobil, kenapa pria di depanku ini masih terlihat tampan? Dan, Ia baru saja memotong rambutnya? Aku bahkan tidak melihat rambut tipis di sepanjang pipinya.

Rupanya, aku terlalu sibuk mengendalikan pikiran hingga tidak sadar dengan perubahan penampilan Dimasta hari ini. 

"Itu rumah Anne, rumah kami," kata Dimasta begitu kami tiba di pelataran sebuah rumah Bulgaria bergaya abad ke-17 dengan taman indah di depannya.

Berhubung kami tiba di sini setelah gelap, seperti pedesaan pada umumnya, tempat ini terlihat sepi. Hanya ada satu dua penduduk yang masih beraktivitas di luar rumah. Lalu tiba-tiba, seorang gadis berjalan mendekati kami dan memeluk Dimasta. 

"My litle Ella," kata Dimasta balas memeluknya. 

Tunggu! Wajah gadis ini sama sekali tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi....

"Ini Ella, adik yang pernah aku ceritain ke kamu. Ella, ini Ameera, ....."

"Pacar lo, ya?" potong gadis itu sembari tersenyum dan memelukku. "Hai, Ra. Glad to see you again."

Aku balas memeluknya. "Nice to meet you, Ella."

"Terakhir kita ketemu waktu di pesawat sepulang dari Indonesia, nggak nyangka bakal ketemu lo lagi sebagai calon kakak ipar gue. That time, you looked so confused. He healed you perfectly, right?" godanya tanpa melepaskan lirikan dari wajah Dimasta di sampingnya. Sementara yang digoda hanya tertawa. 

Aku menghela napas panjang dan tersenyum. Aku mengingatnya. Ella adalah gadis yang meminta Dimasta untuk segera melakukan tindakan medis saat di pesawat waktu itu. Dimasta tidak berdusta. Itu Ella, adik angkatnya.

Ella mengajak kami masuk. Anehnya, kenangan yang memenuhi kepalaku bukanlah lagi kenangan menyakitkan. Gambaran-gambaran penyiksaan dan adegan memilukan yang selama ini singgah, digantikan dengan ingatan menyenangkan.

Langkahku terhenti ketika melihat Dimasta kecil berlarian di halaman bersama Ella. Senyuman merekah indah di wajahnya. Luka-luka dan lebam yang sebelumnya memenuhi tubuhnya, tidak lagi terlihat. Ia tertawa, berlarian, dan menangis layaknya anak kecil pada umumnya. 

Aku menyeka ujung mata yang basah, lalu membalikkan badan agar Dimasta tidak melihatnya. Anne dan Ella berhasil mengembalikan masa kecil Dimasta yang terenggut. Aku melihatnya dengan jelas. Susah payah, Anne membesarkan kedua anak angkatnya, dan bangunan tua di depan kami adalah saksinya.

"Mana Anne?" tanyaku ketika akhirnya kami duduk di depan perapian. Segelas cokelat panas, selimut dan Dimasta adalah perpaduan sempurna di akhir pekan dingin ini. Kami menyandarkan tubuh di sofa besar yang berada di depan perapian. Hanya satu sofa, tapi cukup menampung tubuh kami berdua. Hening. Gemeletuk suara dari perapian menjadi backsound

"Anne udah tidur, Ra. Aku nggak mau ganggu. Kamu ketemu sama dia besok pagi, ya." Dimasta mengeratkan rangkulannya di bahuku, sementara tangan kanannya menggenggam cangkir berisi cokelat panas.

Aku mengangguk lagi. Tentu saja. Ini sudah larut malam. Ella bahkan permisi untuk pergi ke tempat tidur lebih dulu. Dan aku menikmati saat-saat seperti ini: menghabiskan waktu dengan Dimasta, mencium aroma tubuhnya, menenggelamkan wajah di dada bidangnya, dan merasakan setiap ketenangan yang tercipta. 

Seperti yang Ella katakan saat kami tiba. He healed me perfectly. Tidak peduli seberapa sering kenangan buruk masa kecilnya hadir menyapa, sebanyak itu juga kehadiran Dimasta menyembuhkanku. 

"Kamu istirahatya, Dim. Udah malem," pintaku yang dijawab dengan gumaman pelan dari mulut Dimasta. Matanya terpejam, tapi tangannya tidak melepaskan pelukan. Aku mencoba mengatakannya sekali lagi. Kali ini, ia tidak menjawab, napasnya menjadi lebih teratur, dan didetik berikutnya, aku sadar jika dia sudah tertidur.

Tidak ingin membangunkannya, aku memutuskan untuk membiarkan posisi kami tetap seperti ini. Aku menyusuri garis wajahnya, tidak pernah menyangka jika pria ini pernah mengalami hal tragis itu. Tanpa kusadari, air mata akhirnya luruh. Ini menyesakkan. But, at the same time, like I said before, he healed me perfetly.




Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang