Bagian XXVIII - Crocus Sativus

55 2 0
                                    

Aku membuka mata ketika tiba-tiba merasakan denyutan hebat di kepala. Butuh beberapa saat hingga aku menyadari di mana aku sedang berada. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar, sebelum menyadari jika hal terakhir yang kuingat adalah kebersamaan dengan Fanya di The Briliantin, dan ... aku berharap itu hanyalah imaji.

Rasa mual memenuhi lambung saat kucoba berdiri. Lalu, denyutan hebat menghantam kepalaku sekali lagi. Shit! Aku seharusnya tidak semabuk ini. Padahal, besok adalah jadwal keberangkatanku ke Jakarta.

Tanpa menghiraukan rasa sakit yang kian menghujam, kupaksakan kaki melangkah ke meja rias dan mengambil ponsel yang tergeletak di sana. Aku menemukan sebuah pesan singkat dari Fanya.

Fanya : Ra, gue nggak tahu separah apa lo mabuk tadi malem sampe lo ngubungin Dimasta dan bikin dia harus maklumin kebiasan buruk lo tiap mabuk.

Wait. Dimasta? Aku tidak berhalusinasi? Kuperiksa log panggilan dan kotak pesan di ponselku.

Seketika, kurasakan tubuh memanas dan detak jantung kembali meningkat. Dua panggilan keluar dan ... semua pesan yang selama ini hanya berakhir sebagai draft sudah terkirim.

Aku mencoba menguhubungi Fanya, tapi nomornya tidak aktif. Dia pasti belum meninggalkan ranjangnya sekarang.

Tidak cukup dengan kejutan itu. Karena begitu keluar kamar, mataku menangkap sosok Dimasta sedang tidur meringkuk di sofabed ruang tamu. Sofabed yang panjang tidak cukup menampung tubuh jangkungnya.

Ya Tuhan. Kecerobohan macam apa yang sudah kulakukan?

Dengan tangan gemetar, kuambil selimut, dan menutup tubuh meringkuknya. Dari jarak ini, bisa kucium aroma alkohol yang kuat. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tidak ada botol wine, bir, atau apa pun yang mungkin menjadi sumbernya selain tubuh Dimasta.

Aku menatap lekat wajah pria yang tiga minggu lalu baru saja mengakhiri hubungan kami. Tidak ada yang berubah darinya selain kantung mata yang menghitam. Ia masih tampan, maskulin dan wangi seperti biasanya. Kemeja putihnya digulung hingga siku. Kusut di beberapa bagian membuatnya tampak ... seksi. 

Kemudian, tepat saat tanpa sengaja jemariku menyentuh lengannya, kenangan itu kembali memenuhi ingatan.

Aku melihat Dimasta sedang mencium punggung tangan Anne. Ia tidak menangis, tapi wajahnya melukiskan kepedihan yang sulit dijelaskan. Anne memeluknya beberapa saat kemudian. Lalu, tepat saat kubuka mata untuk menyingkirkan kenangan itu, tangan Dimasta menggenggam pergelanganku.

Menghela napas panjang, kenangan berikutnya yang muncul adalah kebersamaan kami. Aku sedang menikmati pemandangan indah yang membentang sepanjang pedestrian Alexander Nevsky Square. Sepanjang jalan, tangannya yang kokoh terus menggenggam jemariku.

Aku terduduk di lantai apartemen yang dingin. Kutundukan pandangan ketika genggaman Dimasta terasa semakin kuat.

"Ini menyakitkan, Dim. Aku mohon lepaskan tanganku," lirihku sambil menahan isak tangis agar suaraku tetap terdengar normal. Aku tidak boleh menangis di depannya. Tidak, setelah semua kecerobohan yang kulakukan.

Lalu, tanpa kusadari, jemari Dimasta membelai pipi. "Maafin aku, Ra," kata Dimasta sama pelannya.

Aku mendongak. Kutatap lekat-lekat wajahnya yang kini menghadapku. Ia berinsut duduk di sampingku, tanpa melepaskan genggaman tangannya sedetikpun. "Ra, lihat aku," pintanya saat aku kembali menunduk.

Kuangsurkan kepala kembali menatapnya. Kemudian, kurasakan tangan Dimasta kembali mengusap pipi yang kini basah oleh air mata. "Kamu boleh memaki, mengumpat atau meluapkan semuanya kepadaku sekarang. Apa pun asalkan itu membuatmu merasa jauh lebih baik. Asalkan aku bisa melihatmu seperti kemarin lagi, Ra."

Aku menunduk lagi, tak bernyali menatap mata teduh pria ini. Kugelengkan kepala kuat-kuat. Aku pasti sedang bermimpi. Namun sentuhan Dimasta sekali lagi menyadarkanku.

"Lalu?" Masih berusaha mengendalikan perasaan, aku akhirnya berani bertanya. Apa maksud kalimatnya? Apakah dengan melampiaskan semua rasa marah, takut, sedih, kecewa, dan semua yang pernah dia tinggalkan, lantas membuatku kembali baik-baik saja?

Aku ingin menangis, marah, mengumpat, atau membanting barang-barang milikku jika perlu. Namun aku tidak akan pernah melakukannya di depan Dimasta. Tentu saja. Bagaimana aku bisa melakukan itu saat mengatakan kata sependek empat huruf itu saja aku kesulitan?

Mata kami sempurna tertaut. Ada luka yang sama di kelam netra miliknya. Dimasta menarik napas panjang sebelum kembali bicara. "Ra, this three damn weeks, tidak satu hari pun kulewatkan tanpa kangen sama kamu. Tanpa bertanya-tanya sedang apa kamu? Udah baikan belum? Akhir pekan jalan ke mana? Sama siapa?" Ia memberi jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimantnya. "Setiap kali aku lewat depan apartemen ini, dan lampu ruangan masih nyala, sulit banget buat ngeyakinin diri biar nggak masuk ke gedung Sofia Apartement lalu ngabisin waktu bareng kamu kayak biasanya."

Aku masih belum menjawab. Suara, aroma parfum, cara menatap, cara bicara, sentuhan, dan semua yang kurindukan tiga hari terakhir kembali menyapaku. Menghancurkan pertahanan yang dengan susah payah kubangun.

"Sampai tadi aku kaget pas lihat kamu masuk The Briliantin sama Fanya ... maafin aku, Ra."

Aku menggeleng tegas. "Bukan kamu, Dimasta. Bukan kamu yang seharusnya meminta maaf. Akulah yang banyak bersalah di sini, dan hari itu, hari di mana kamu ninggalin aku tersedu di ruangan ini, kamu sama sekali nggak ngasih aku kesempatan buat ngomong ini." Aku menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan kalimat–yang kuanggap sebagai pelampiasan perasaan. "Aku bersalah udah tahu masa lalu kamu tanpa seizing pemiliknya. Aku udah salah besar karena nganggep kemampuanku ini justru bisa bikin ikatan batin kita menjadi lebih kuat. Aku salah karena udah bikin kamu buang-buang waktu buat aku. Aku–"

"Aku salah, Ra!" seru Dimasta dan berhasil membungkamku. "Aku salah karena udah nganggep akulah penyebab sakitnya kamu. Aku terlalu sibuk nyalahin diriku sendiri sampai nggak sadar kalau kamu justru terluka karena itu. Kamu butuh aku, dan aku justru bertingkah seperti bajingan dengan ninggalin kamu. Setelah menghabiskan waktu di Shiroka Laka bersama Anne, aku sadar. Yang kamu perlukan saat ini justru adalah aku. Dan seperti yang udah kamu bilang, kamulah bagian dari memori yang kuhilangkan, Ra. Kita bisa memulainya kembali–"

Dimasta menggenggam jemariku erat. Aku menepisnya. "Pergi dari sini sekarang kalau kamu cuma mau mengacaukan pikiranku, Dimasta!" Suaraku mulai bergetar. "Kalau kamu memintaku kembali hanya untuk pergi dengan alasan pengecutmu itu, I'll give up, Dimasta."

Ia mengangguk. "Aku udah tahu bakan ditolak, tapi aku tetep ngelakuin ini karena aku nggak pengen bener-bener pergi dari kehidupan kamu sebelum denger kalimat itu. Makasih udah bikin hidupku jauh lebih berwarna beberapa bulan terakhir, Ra. Aku harap bisa ngucapin kalimat ini berjuta-juta kali lagi, tapi jika kamu nggak ngijinin aku, biarkan aku ngucapin ini untuk yang terakhir kalinya. I love you, Ra," ucapnya sambil mengecup lembut puncak kepalaku.

Kemudian, tepat sebelum tubuhnya kembali hilang di balik pintu, dengan kekuatan yang coba kukumpulkan, aku kembali memanggilnya, "Dimasta...."

Ia menoleh. "Katakan itu sekarang, Ra. Aku ingin kamu nahan aku sekarang ...."

"Jangan pergi lagi, Dimasta."

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now