Bagian III - Prunus serrulata

1.2K 119 51
                                    

"Dasar absurd!" cibir Fanya sembari menghapus air yang mulai membasahi sudut mata karena tidak berhenti tertawa. "Si Nico nyuruh lo jadi model majalah dewasa? Udah cocok jadi gigolo ya dia."

Fanya tertawa lagi.

Ini Fanya, sahabat baik selain Tafissa yang kukenal sejak pertama kali menginjakkan kaki di Nine Bank Indonesia lima tahun lalu. Berbeda denganku, Fanya mendapat tawaran promosi sebagai senior strategic planning & analysis manager dua tahun lebih cepat.

"Bukannya keanehan Nico yang dulu bikin lo mewek sampe empat puluh hari empat puluh malam?" giliran aku yang mencibir.

Aku memiliki daya ingat yang cukup baik untuk sekadar mengingat bagaimana dua tahun lalu, tepat satu bulan setelah mutasi Fanya ke Bulgaria, ia menjadikanku tumpuan dari sesak akibat patah hati setelah hubungannya dengan Nico berakhir. Rutinitas itu dia lakukan setiap hari hampir selama dua bulan penuh, terkecuali jika aku lupa mengisi daya baterai ponsel.

Namun, aku bersyukur karena hari ini, setelah mendaki tanpa persiapan apa pun dengan track yang cukup licin, pergi sejauh 25 km dari Sofia sebelum aku sempat puas beristirahat, menikmati keindahan kota dari atas ketinggian, dan menghabiskan dua jam penuh membicarakan banyak hal ditemani suara air terjatuh, aku kembali mendengar tawa lepas Fanya–dan juga tawa lepas milikku sendiri.

"Udah beda ceritanya, Nyet!" jawab Fanya tanpa melepaskan senyuman di wajah.

"Udah ada mainan baru?" godaku.

"Back to holy. Gue udah tobat," elaknya sambil memasang wajah sok polos.

Aku tahu bagaimana Fanya menghabiskan hidupnya sebagai seorang 'penakluk pria' sebelum bertemu Nico.

Fanya cantik, cerdas, sangat humble, seorang pendengar yang baik juga perhatian. Menurutku, wajah Fanya adalah bentuk copy-paste paling sempurna dari wajah penyanyi solo Raisa dalam kepribadian yang berbeda, hingga aku sering membuat perbandingan keduanya saat menggoda Fanya. Walau jelas aku tahu, tidak mungkin Raisa memiliki kepribadian 'unik' seperti Fanya, seberapa mirip pun wajah mereka.

"Itu nggak ngubah predikat lo sebagai manizer di masa lalu, Fan." Aku terkekeh. Belum puas menggoda Fanya.

"Paling enggak, Nico pergi bukan karena mau nikah sama sahabat baik gue."

Sial. Fanya kembali mengungkit soal ini setelah berhasil kulupakan, dan jika boleh jujur, itu adalah sindiran paling menohok sepanjang dua bulan terakhir. "Iyalah. Sahabat baik lo kan cuma gue."

Fanya tertawa lagi. "Nah itu lo tahu. Eh, ralat. By the way, Tafissa juga sahabat baik gue."

Aku berterima kasih kepada Fanya. Berkat Fanya, sejak tiba di Sofia Airport, aku berhasil mengenyahkan bayangan Haris dan segala rasa sakit yang cukup membuat mood-ku berantakan sepanjang perjalanan. Bahkan saat ini, saat Fanya menyebut nama Tafissa kembali, aku tidak lagi merasa sesak.

Aku tidak lagi menyesali keputusan menerima tawaran mutasi ini. Dulu, Fanya selalu bilang jika Bulgaria adalah sekeping surga yang ada di Benua Eropa. Ia selalu bercerita tentang bagaimana Bulgaria telah membuatnya jatuh cinta, dan hari ini, jika aku adalah satu dari banyak orang yang tidak percaya dengan love at first sight, Bulgaria berhasil membuatku merasakan itu.

Deretan bangunan bergaya Eropa kuno dan patung Saint Sofia di tengah kota menjadi pemandangan indah yang menyambutku begitu tiba di sini. Beberapa gedung tua berumur ratusan tahun juga nampak masih kokoh berdiri. Aku sama sekali tidak menyangka akan menginjakkan kaki di Bulgaria: tempat yang pernah membuat aktor dan aktris sekelas Arnold Schwarzenegger, Mel Gibson dan Antonio Banderas menjulukinya sebagai negara romantis.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Onde histórias criam vida. Descubra agora