Bagian XXII - Orchidaceae

650 90 6
                                    

"Harus banget lo pakai setelan batik ke sini, Nic?" tanyaku ketika akhirnya kami–aku dan Dimasta–menemukan Nico di ruang kedatangan internasional Sofia Airport pagi ini. Tidak ada yang aneh sebenarnya. Namun Nico terlihat cukup menyolok dengan kostumnya. 

Menggunakan batik Indonesia di antara beberapa orang dengan kostum musim semi? Aku tidak bisa menahan tawa sekarang.

"Harus banget lo ngurusin penampilan gue yang sebenernya mau digimanain juga tetep tampan ini?" Nico balik bertanya sembari merentangkan tangannya lebar-lebar. "Missing you so bad, Ra," kata Nico begitu tubuhku sempurna berada dalam dekapannya. 

Nico akhirnya berangkat ke Bulgaria setelah beberapa kali membatalkan penerbangannya. Berdasarkan info yang kudapat dari Fanya, Nico meninggalkan ruang pesta dan langsung menuju bandara. For your information, Fanya mengambil cuti tahunannya dan pulang ke Indonesia sejak akhir pekan lalu.

Aku baru saja akan menjawab kalimat Nico saat serbuan kenangan memenuhi pikiran. Ingatan membawaku pergi ke His Grand Slipi Convention Center, bunga-bunga berwarna pastel, suasana pesta, Nico dengan kemeja batiknya, Fanya, juga Tafissa dan Haris di kursi pelaminan. 

Yang kulihat barusan, itu pesta pernikahan Haris dan Tafissa yang berlangsung kemarin pagi. Dengan dalih belum bisa mengambil cuti tahunan, aku memutuskan untuk tidak menghadirinya. Dan benar, bukan? aku bahkan bisa melihat prosesi pesta hanya dengan menyentuh Nico. Aku melihat dan merasakannya: hiruk pikuk tamu undangan, musik jazz yang mengalun, tawa Nico dan Fanya, juga aura bahagia yang terpancar dari wajah kedua mempelai. 

"Ra, what happen? jangan bilang ini yang–?" 

Pertanyaan Nico membuatku membuka mata. Lalu, kutatap dia dengan pandangan 'kita bisa bicarakan ini nanti', dan ia langsung mengerti maksudnya.  Kutemukan Dimasta  menatapku sama herannya. Lalu, belum sempat aku menjawab pertanyaan Nico darah segar keluar dari hidungku. Refleks, Dimasta memberiku tisu yang akhir-akhir ini selalu kubawa ke mana pun pergi. Belakangan, intensitas mimisanku menjadi lebih sering. 

Aku menggeleng dan tersenyum. "Aku baik-baik aja, Nic," kataku sambil menyeka darah dari hidungku. "Ah, iya. Kenalin, Nic. ini Dimasta. Dim, ini Nico, adikku."

Mereka bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing. Nico yang biasanya tidak secara terang-terangan menunjukkan keditaksukaannya kepada seseorang, hari ini tampak lain. Ia menatap Dimasta lurus-lurus dengan ekspresi datar. Jangan tanya betapa awkwark-nya momen ini. 

"Mau makan di mana?" Dimasta akhirnya membuka suara setelah mobilnya keluar dari area bandara, sementara Nico memilih bungkam. 

Aku memeriksa beberapa nama restoran di internet sebelum akhirnya memilih Adi's Cook and Book sebagai tujuan. "Nggak jauh dari sini, 'kan, Dim?"

"Sekitar delapan kilo meter. Gimana?"

Aku mengangguk. Sepertinya, mood Nico masih berantakan. Meminta sarannya di saat seperti ini bukanlah hal yang baik, jadi aku memutuskan tidak bertanya. Lagi pula, tahu apa Nico tentang Bulgaria selain hal mistis yang menjadi perhatian utamanya?

Lima belas menit kemudian, tibalah kami di sebuah restoran yang ... menurutku sangat jauh dari ekspektasi. Restoran ini lebih mirip sebuah vila bercat biru dengan taman yang indah. Sesuai namanya, restoran ini juga memiliki banyak koleksi buku. Ruangan disesain seperti rumah di Bulgaria pada umumnya. Alih-alih merasa sedang berada di restoran atau perpustakaan, restoran ini berhasil membuatku feels like home

Kami akhirnya memilih meja di sebuah ruangan yang mirip ruang keluarga. Di depan kami, layar televisi 32 inch menampilkan siaran berita lokal. Di rak yang sama, puluhan buku memenuhi setiap lacinya. 

"Ra." Nico yang sejak tadi lebih banyak diam akhirnya membuka suara. Matanya menatapku lurus-lurus. Aku mendongak, mengalihkan perhatianku dari buku ke wajahnya. "Dari 7,7 miliar manusia di dunia dengan rasio gender 1:1, kenapa harus dia?"

Aku menatap Nico tidak percaya. Selama ini, Nico tidak pernah ikut campur dengan hubunganku. Dia tidak pernah mempermasalahkan profesi, jabatan, fisik bahkan latar belakang dari seseorang yang dekat denganku. Dan dari cara bertanya dan isi pertanyaan, aku menduga Fanya sudah memberitahu banyak hal.

"Harus dibahas sekarang?" tanyaku yang dijawab dengan dengusan sebal Nico. Ia lalu memejamkan mata.

Meskipun Dimasta sedang permisi ke kamar mandi, membicarakannya saat ini tetap bukanlah keputusan yang baik. Lagi pula, dari gesturnya, aku tahu akan segera beradu argumen dengan Nico. 

"Ra, sejak bokap sama nyokap pergi, lo jadi satu-satunya orang yang gue miliki buat dilindungi. Lo alasan kenapa gue bertahan sampai hari ini. You know what I feel after I see you at airport this morning?" Nico sengaja memberi jeda, dan menatapku lebih dalam. "Gue hampir aja ngajak lo balik ke Indonesia saat itu juga, Ra. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran gue adalah bawa lo pergi jauh dari Bulgaria."

"Nic–"

"Jangan potong kalimat gue, Ra!"

Aku mengangguk patuh dan menghela napas panjang. Berdebat dengannya saat ini hanya akan sia-sia. Nico mengatakan itu seolah tidak sadar jika sebab aku mimisan tadi pagi adalah kilasan memori dari ingatannya.

"Gue udah denger semuanya dari Fanya, Ra. Apa yang lo alamin, gimana lo bisa ngelihat masa lalu pria itu dan gimana kondisi lo tiap kali kilatan kejadian itu muncul. You feels hurt and confuses at the same time. Dan gue nggak pengen lihat lo kayak gitu terus, Ra," kata Nico tanpa berusaha menyembunyikan kekhawatiran di setiap kalimatnya.

"Nic, to tell the truth, awalnya gue juga frustrasi. Gue nggak ngerti kenapa tiba-tiba, hari itu, gue bisa lihat lo ngehajar Haris pas di bandara. Awalnya, gue kira itu halusinasi sampai akhirnya gue ngalamin semua itu berulang. Dari temen, gue akhirnya tahu kalau it's called retrocognition. I know, it sounds too much, tapi gue udah mikirin banyak hal sebelum nerima Dimasta, Nic. Dan  lo sadar nggak, bukan cuma Dimasta yang bisa gue lihat masa lalunya. Lo, Fanya dan semua orang yang gue sentuh ...."

"Termasuk masa lalu kelam dia yang bikin seluruh tubuh lo sakit, Ra? Kalau lo serius sama dia itu artinya lo bakal ngehabisin sisa hidup lo dengan rasa sakit itu?"

"Gue lagi belajar ngendaliin ini, Nic. Gue bisa milih buat ngelihat atau enggak. Lo nggak perlu khawatir. Please, Nic. Kita bahas ini nanti, ya?" pintaku memelas. 

"Gue nggak tahu apa yang mendasari kemampuan aneh lo ini, tapi kalau dikasih pilihan, gue lebih seneng kalau lo nggak punya kemampuan ini," kata Nico sambil menggenggam tanganku erat. Dan di saat yang sama, aku kembali melihat kilatan kejadian. 

Kali ini, apa yang kulihat sempurna membuatku tersenyum. Aku melihat Nico sedang mencium Fanya di sebuah tempat yang kuyakini sebagai Apartemen kami di Belleza. Namun, aku tidak akan menggodanya sekarang. 

"Kemampuan apa, Ra?" tanya Dimasta begitu tiba di meja kami. 

Aku dan Nico saling bertatapan sebelum akhirnya dengan enteng Nico menjawab, "Lo percaya kalau Ameera bisa ngelihat masa lalu orang lain?"

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now