Bagian XXV - Chrysanthemum

1.5K 97 23
                                    

Aku membuka pintu balkon apartemen. Seketika hawa dingin musim semi menyambutku. Samar-samar, dari ruang keluarga di belakangku, terdengar suara merdu Ed Sheeran memenuhi pendengaran. Lagu Dive yang Nico putar sebelum meninggalkan Sofia Apartemen sore tadi, menambah sendu suasana hatiku.

Maybe I came on too strong

Maybe I waited too long

Maybe I played my cards wrong

Tadi, tepat saat aku menempelkan access card di mesih pemindai, Margareth menyapa. Ia menanyakan kenapa akhir-akhir ini Dimasta jarang berkunjung. Seperti yang Dimasta katakan, aku menjawabnya dengan, "Dia sedang sibuk, Margareth. Banyak operasi berat yang harus dia pegang beberapa minggu terakhir."

Sebenarnya, aku tidak tahu, apakah ini sebuah jawaban, atau penengang untuk diri sendiri?

Kenyataannya, bukan hanya aku, Margareth juga sama herannya. Biasanya, sesibuk apa pun Dimasta, ia akan meluangkan waktunya mengunjungi apartemenku sepulang kerja. Apalagi, jika waktu belum larut dan lampu apartemen masih menyala. Dan hal yang tidak pernah ia lewatkan adalah menyapa Margareth di meja resepsionist sebelum naik ke lantai sepuluh tempat unitku berada. You know how manly he is?

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Hari terakhir dia bersikap sangat manis kepadaku. Malam itu, kami duduk berdua saling berpelukan di sofabed ruang tamu apartemen. Tidak banyak yang kami bicarakan. Seperti biasa, kami menghabiskan waktu membicarakan hal random yang tiba-tiba muncul di kepala seperti: berapa suhu Bulgaria di awal musim semi, seberapa sering terjadi badai, progress apa yang sudah dicapai Valley dengan proyek penanggulangan kematiannya. Bahkan topik tentang betapa cocoknya Nico dan Fanya tak luput dibicarakan.

Aku mulai merasa tenang karena sikap Dimasta mulai normal kembali. Sampai akhirnya dia berkata, "Hubungan yang sempurna itu nggak bisa didapat begitu saja, Ra. They take time. Butuh kerja sama yang baik dari keduanya."

Dan lagi-lagi, aku melihat kegetiran dalam tatapannya. Entahlah. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya. Sebab, selain kenangan menyakitkan masa kecilnya, memori kebersamaan kami-lah yang terlihat.

Aku menggeleng kuat-kuat, mencoba menyingkirkan pikiran negatif tentang hubungan kami. Tidak. Tidak ada yang salah dengan hubunganku dan Dimasta. Kami hanya sedang sama-sama tenggelam dalam kesibukan. Dan tidak seharusnya aku bersikap seperti anak kecil dengan memintanya bertemu malam ini.

Aku baru saja mengambil ponsel, berniat membatalkan janji temu dengannya saat denting bel dua kali berbunyi. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju interkom, dan memeriksa siapa yang berada di balik pintu. Itu benar Dimasta. Lagi-lagi, tidak seperti biasa, ia hanya berdiri mematung di sana. Sementara ia mengetahui kode pintu unitku.

"Dari rumah sakit langsung ke sini?" tanyaku begitu Dimasta selesai melepas sepatu dan berjalan beberapa langkah di belakang. Ia tidak memberiku kecupan singkat, apa lagi pelukan hangat seperti biasa. Kami berjalan layaknya tamu dan tuan rumah. Bukan sepasang kekasih.

Dimasta hanya mengangguk, lalu berkata, "Ada yang harus kita bicarain, Ra."

Aku menelan ludah kecewa. For your information, mengawali obrolan dengan basa-basi bukan gayaku-bukan gaya kami tepatnya. Jadi, aku memilih untuk langsung bertanya, "Ke mana aja akhir-akhir ini?"

Ia duduk di sofabed favoritnya. Karena suasana aneh menyelubungi kami, aku sengaja memperpanjang jarak. Aku tidak duduk di sampingnya.

"Aku tahu ini akan terdengar sangat childish, tapi-"

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें