Bagian XII - Geranium

717 105 13
                                    

Suara piano berdenting-denting dari televisi yang baru saja kunyalakan. Sebuah lagu milik Richard Clayderman yang berjudul Ballade Pour Adeline mengalun syahdu. Sungguh, di momen seperti ini, aku lebih memilih mendengarkan musik beraliran keras dari pada melodi menyayat hati. Namun, mengganti channel juga bukan pilihan. Hari ini, semua stasiun televisi di Bulgaria sedang menayangkan acara yang sama: Bulgarian Music Festival.

Aku mendesah pelan. Pertemuanku dengan Tafissa tadi siang cukup menguras emosi. Aku sama sekali belum siap menghadapinya. Tidak kusangka, aku berhasil menghabiskan sepiring pasta tanpa banyak drama. Aku mendengarkan apa yang Tafissa katakan tanpa menyela, memaafkan, dan mengucapkan selamat kepadanya.

Pertemuan itu berjalan lancar–I means kami terlihat sangat baik-baik saja. Sepertinya, aku bisa dengan baik mengontorol perasaanku. Terlebih ketika Tafissa berkata, "Dari awal kita saling kenal, gue udah punya perasaan lebih ke Haris. Gue milih buat nyimpen perasaan ini pas sadar kalau Haris mulai berharap lebih ke lo,"–jeda beberapa saat–"segalanya baik-baik aja sampai akhirnya gue tahu kalau hubungan kalian udah berakhir. Gue berubah jadi temen paling mengerikan buat lo. Gue ngerasa bersalah tiap kali inget gimana lo terluka karena kehilangan Haris, tapi di saat yang sama gue juga berharap bisa milikin dia. I became a bad person for you, for our friendship,"–Tafissa menghela napas berat,  matanya berkaca-kaca–"gue cuma mikirin diri gue sendiri selama ini. Gue nggak mikir kalau keputusan gue bakal berimbas ke banyak hal. Parahnya, gue nggak nyadar kalau gue cuma pelarian Haris dari patah hatinya. Kemarin gue ribut besar sama Haris–"

"Stop, Tafissa! Gue udah baik-baik aja sekarang. Haris udah nggak berada dalam fase itu, Tafissa. Dia nggak mungkin milih lo buat nikah sama dia hanya karena butuh pelarian. Trust it, dan apa pun yang sekarang sedang terjadi di antara kalian, udah bukan urusan gue lagi," tukasku, berharap Tafissa akan berhenti bicara dan menyudahi obrolan itu.

Namun, dia melanjutkannya, "I was too late to fix it, but i'm very sorry, Ra. Gue nggak akan ngelanjutin pertunangan ini sebelum lo maafin gue."

Oh, SHIT!

Aku menatap Tafissa dengan perasaan campur aduk. Namun aku harus tetap berpikir logis. Pada akhirnya, aku sadar jika ini bukan salah siapa pun. Satu bulan terakhir, aku merenungkan banyak hal. Hal mendasar yang sepenuhnya kusadari adalah mereka memutuskan menikah setelah hubunganku dan Haris berakhir. Tafissa tidak bersalah.

"To tell the truth, Sa, gue akuin gue sempet kecewa sama kalian. Gue sempet mikir, kok kalian tega, ya. Gue nekat ngambil mutasi dari Bu Salsa tanpa pikir panjang cuma karena gue nggak pengen hadir di pernikahan kalian. Tetapi akhirnya gue sadar, gue sama Haris emang harus segera ngambil keputusan, dan Bulgaria bukan hanya sekadar pelarian. Terlepas dari apa yang pernah terjadi di antara kita, you both were, are and still my best friend, Sa."

Aku tersenyum saat Tafissa memeluk erat.

Tidak banyak yang kami bicarakan. Tafissa mengatakan jika dirinya tiba di Bulgaria dua hari lalu. Namun karena aku terjebak hectic dan harus lembur di akhir pekan, ia menunda rencana untuk bertemu. Dia menginap di apartemen Fanya, by the way. Itu artinya, dia ada di Bulgaria saat Haris mengirim undangan malam itu.

Sebenarnya, aku sudah tahu alasan Tafissa meminta bertemu. Aku juga bisa menolak atau memberi peringatan kepadanya untuk tidak membahas itu. Namun aku merasa memang ada yang harus diselesaikan lebih dulu. It works. Karena sekarang, meskipun tetap terluka, aku merasa lebih lega.

Aku menuang satu gelas penuh white wine dan meneguknya. Ternyata, pertemuan dengan Tafissa–yang kubilang berjalan lancar itu–membuatku berakhir seperti ini. Menolak undangan Fanya pergi makan malam bersama, duduk sendirian di apartemen, dan mendengar instrumen menyedihkan sambil mengisi lambungku dengan segelas wine.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now