Bagian IX - Acacia Aneura

739 112 8
                                    

Jika tahu akan bertemu Dimasta–atau paling tidak Fanya mengatakan jika dia tidak sengaja bertemu Dimasta di depan kantor, aku lebih memilih menunjukan tampang kusut ini di depan para pekerja Nine Bank, ketimbang harus bertemu Dimasta. Meskipun aku tahu Fanya tidak akan pernah membiarkan itu terjadi. Memintaku beristirahat adalah salah satu usaha Fanya membuatku segera turun dan bertemu Dimasta.

Ini adalah pertemuan pertama kami setelah menghabiskan akhir pekan mengunjungi Grabovo satu minggu lalu. Dimasta mengatakan jika tadi bertemu dengan Fanya saat dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Seperti yang sudah kuduga, Fanya memberitahu Dimasta jika aku masih berada di kantor.

"You looks tired. Kerja di akhir pekan juga, Dim?" penasaranku. Dari mantel dan celana hitam yang dikenakan, Dimasta terlihat seperti baru saja pulang bekerja.

Dimasta mengangguk. "Awake brain surgery. Gue akhirnya bisa keluar dari ruang operasi dengan lega setelah tujuh jam terkurung di sana." Jeda beberapa detik sebelum akhirnya Dimasta melanjutkan kalimatnya. "Sebenernya operasi ini nggak berat, Ra. Gue terbiasa ngabisin waktu lama di ruang operasi. The hardest part dari operasi kali ini adalah anak yang gue operasi terus saja berceloteh tentang impiannya."

Aku menatap Dimasta. "Anak kecil? And wait, what are you talking about? Awake brain surgery?"

"Em. Anak itu menderita tumor otak jenis astrositoma. Tumor berlokasi di bagian otak pengontrol motorik dan kognitif. Itu alasan kami akhirnya mutusin buat melakukan operasi dengan pasien sepenuhnya dalam kondisi sadar. Kami harus terus mantau fungsi tubuhnya," terang Dimasta. Ia tersenyum. Namun entah mengapa, aku bisa merasakan kegetiran di setiap kalimatnya.

"You must be very tired, Dim. It must be a hard surgery. I can't imagine." Aku menggelengkan kepala, merasa takjub sekaligus terharu di saat yang sama.

Aku tidak menyangka jika pria di sampingku ini adalah seseorang yang baru saja menyelesaikan operasi berat itu. Tidak ada tanda-tanda kelelahan di wajah tampannya. Kecuali mata sayu dan kemejanya yang terlihat sedikit berantakan.

"Nggak seberapa, sih, kayaknya. Dibanding yang udah kerja sejak hari sabtu. Capek banget, ya? Sorry, karena gue, lo harus jalan kaki pulangnya. Padahal nggak masalah lo, Ra, kalau lo mau naik taksi," kata Dimasta sembari membawa dua gelas Americano yang dibelinya dari kedai kopi di pinggir jalan dan memberikan satu untukku.

Aku tersenyum setulus mungkin. "Nggak masalah, Dim. Lagi pula ini cuma dua ratus meter dari Nine Bank ke Apartemen. Gue biasa jalan sama Fanya."

"Tapi nggak dalam keadaan capek kayak gini juga kali, Ra."

"Gue udah nggak capek, Dim. Malu gue mau bilang capek pas tahu kalau beban mental lo lebih menguras tenaga dibanding dua hari yang gue habisin buat lembur di kantor," jujurku yang disambut dengan tawa renyah Dimasta.

Setelah bercakap ringan di lobi kantor, Dimasta mengajakku menyusuri jalanan Dragan Tsankov, Sofia. Aku tidak enak hati harus menolak tawaran Dimasta, lagi pula, berbincang dengannya tidak pernah membosankan. Seperti pagi ini, hanya dengan mendengar betapa berat tujuh jam yang baru dilaluinya, rasa lelah yang menggelayut, perlahan memudar. Selain itu, gedung apartemen tempat tinggal kami berada di blok yang sama.

Satu hal kecil yang Dimasta lakukan dan berhasil mencuri perhatianku adalah sejak tadi keluar dari gedung Nine Bank, Dimasta terus berjalan di sisi kiriku. Sebenarnya, ini sudah Dimasta lakukan sejak kami mengunjungi Museum Etar. Namun, waktu itu aku mengira jika mungkin itu tidak sengaja dilakukan Dimasta. Ternyata, hari ini dia melakukan hal yang sama untukku.

Jika di Jakarta, pria yang berjalan di sisi kanan kekasihnya dianggap romantis, berbeda dengan ketika berada di kawasan Eropa dan Amerika yang justru sebaliknya.

Aku tidak menganggap ini romatis, mengingat hubunganku dan Dimasta bukan termasuk hubungan di taraf itu. Namun mengutip kalimat Fanya saat mendeskripsikan Nico–yang selalu berjalan di sisi kanannya, perlakuan ini termasuk dalam tujuh hal romantis yang dilakukan seorang pria untuk melindungi pasangannya–versi Fanya.

Selain Nico, Dimasta adalah pria kedua yang memperlakukanku dengan cara sama.

I never imagined that actually, I enjoyed this. Berjalan dengan pria asing yang baru kukenal tiga minggu lalu, menikmati panasnya Americano di sepanjang Dragan Tsankov, juga membiarkan aroma parfum Dimasta memenuhi penciuman.

Kami membicarakan banyak hal. Dari yang ringan, sedang, hingga percakapan berat seperti proyek pengurangan angka kematian yang sedang diupayakan pemerintah Bulgaria. Seperti yang dudah kubilang, bercakap-cakap dengan Dimasta, apa pun topiknya, tidak pernah membosankan.

Dimasta mengantarku hingga depan lobi apartemen. Sementara dia harus berjalan lima ratus meter lagi untuk tiba di apartemennya.

"Istirahat ya, Ra," kata Dimasta sambil melambaikan tangannya.

Namun, belum jauh langkah Dimasta, sebuah ide muncul di pikiranku. Aku memanggilnya lagi.

"Iya, Ra?"

"Kalau lo nggak buru-buru, mau sarapan bareng? Gue nggak jago masak, tapi–"

"Lo pengen makan apa? Masakan Bulgaria? Biar gue yang masakin."

Aku sempat menolak tawaran Dimasta sehalus mungkin. Bagaimanapun, akulah pihak yang lebih dulu mengajaknya. Jadi, entah seperti apa hasilnya, akulah pihak yang seharusnya memasak untuk Dimasta.

"Nggak jago juga, Ra. Tapi rasa masakan gue juga nggak buruk-buruk amat. Lo punya stok bahan apa?"

Aku mengalah. Setelah menyebutkan beberapa jenis bahan dan sayuran yang tersimpan di dalam kulkas, kami berjalan beriringan melewati lobi utama. Dimasta berjalan mengikutiku melewati pintu pembatas dengan acces card menuju lift. Pintu lift terbuka, kami masuk bersamaan. Tidak ada yang bicara hingga bunyi 'ding' terdengar begitu kami tiba di lantai sepuluh bangunan.

Setelah mempersilakan Dimasta masuk, aku permisi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku menunjukan dapur dan mengambilkan bahan yang mungkin Dimasta perlukan.

"Yakin nggak mau dibantuin?" tanyaku merasa tidak nyaman karena membuat Dimasta memasak untukku pagi ini.

Dimasta tersenyum dan menggeleng. Tangannya yang kekar memegang bahuku. Sepasang netra miliknya sempurna membuatku terpaku. "Kamu istirahat aja, Ra. Mau dibangunin jam berapa?"

"Sebelum jam sembilan. Tapi, kamu nggak balik ke rumah sakit?"

"Siang. Nyantai aja ya, Ra," katanya sambil mendorong pelan tubuhku agar bisa segera beristirahat. "I'll wake you up at nine o'clock, Ra."

Aku mengalah, mengangguk patuh. But, wait. Kami baru saja ber-aku-kamu?

Berusaha mengendalikan perasaan yang tiba-tiba kacau, aku berdeham. Kupercepat langkah menjauhi kitchen cabinet tempat Dimasta berdiri. Dari jarak yang begitu dekat, aku bisa melihatnya dengan jelas: garis rahang yang tegas, mata, bibir, alis, dagu, juga rambut tipis yang mulai tumbuh di pipi.

Gosh! Debaran jantungku ikut memburu. Lima meter jarak dari kitchen cabinet ke pintu kamar terasa lebih panjang.

Setelah membersihkan diri, aku memejamkan mata. Berharap perasaanku kembali normal. Bukan karena berita pertunangan Haris dan Tafissa, tapi Dimasta-lah sebabnya.

Aku menutup seluruh tubuh dan wajahku dengan selimut, mengatur napas, dan berharap bisa segera ... terlelap.

***

Yuhuuuu .... ketemu lagi sama Ameera.

Terima kasih sudah mengikuti cerita saya sampai bab ini. Selamat membaca dan jangan lupa tekan tombol bintamg di sudut kiri bawah, ya.

See you on saturday 😄😄😄

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now