Bagian XVIII - Foeniculum Vulgare

623 94 5
                                    

"Udah teleponan sama Dimasta aja lo, Ra. Udah kelar laporan akhir tahun lo?" sindir Fanya begitu memasuki ruangan akuting.

Aku mengangguk yakin. Aku memang baru saja menutup panggilan dengan Dimasta. Kami memutuskan pergi ke Desa Shiroka Laka malam ini selepas bekerja. Ia bilang ada jadwal operasi minggu pagi. Jadi, sabtu malam kami sudah harus kembali ke Sofia.

Kemarin malam, untuk pertama kali sejak tiba di Bulgaria, aku membawa pulang pekerjaan kantor. Bukan tanpa alasan, Mr. Krasimir memintaku menyelesaikan laporan akhir tahun 2018 lebih cepat dari biasanya. Pekan depan, ia akan menghadiri rapat pemegang saham di Singapura.

"Selesaikan secepatnya tanpa ada kesalahan sekecil apa pun. Saya hanya memiliki waktu satu minggu untuk memeriksa laporan keuangan yang kamu buat. Tolong jangan tinggalkan jejak kesalahan di sana," titahnya hari Rabu kemarin, dan pagi ini, aku harus sudah mengantar laporan final ke dalam ruangannya.

Fanya menyeret kursi dan duduk di dekatku. Ia lalu menopangkan lengan di atas meja sambil tersenyum penuh arti. Mataku terpaku pada penampilan anehnya hari ini, lalu menilik angka pada layar remote penghangat ruangan. "Fan, lo nggak sakit, kan? Ini ruangan udah anget, by the way."

Fanya menggeleng, lalu merapatkan kembali mantel dan sarung tangannya lebih erat. "Gue nggak mau lo baca-baca gue lagi, Ra."

Aku tidak bisa menahan tawa. "Dibaca banget bahasanya, Fan? Lagian lo ngomongin apa aja sama Nico sampe segitu takutnya ketahuan sama gue? Kalian balikan, ya?" selidikku, puas bisa menggoda Fanya begitu banyak.

Ra 1, Fanya 0.

"Otak lo balikan mulu, Ra. Gue kasih tahu, ya, buat gue sama Nico bisa balikan itu sebuah kemustahilan. Coba lo aja deh." Fanya memberi jeda sebelum melanjutkan kalimatnya. Aku tahu ini akan menjadi khotbah pertamanya pagi ini. "Misalnya nih, ya. Gue bilang ini misalnya, lo jangan baper. Misalnya Haris minta balikan sama lo, emangnya lo bisa mutusin buat nerima gitu aja? Nggak, kan?"

Kini kedudukan seimbang. Urusan seperti ini, Fanya memang selangkah lebih depan.

Aku menatap wajah tak bersalahnya. Mulut si Fanya ini memang , ya.

"Fan, lo sama Nico ini beda kasus kalau menurut gue. Nico atau lo sama-sama masih sayang. Masalah kalian tu cuma–"

"Bukannya lo sama Haris masih sama-sama sayang juga ya, Ra? lo sendiri yang bilang kalau hubungan kalian berakhir karena Haris diminta segera nikah sedangkan lo nggak bisa ninggalin karier lo. Bukannya itu artinya ada 'pihak ketiga' yang jadi sebab berakhirnya hubunga kalian? Syukurlah lo bahas ini, jadi gue inget apa yang pengen banget gue omongin sama lo," ujar Fanya yang lagi-lagi berhasil memutar haluan topik pembicaraan. "Ra, sebenernya gue nggak pengen ikut campur, tapi gue nggak pengen lo mewek lagi setelah akhirnya bisa move on dari Haris. Eh, udahan, 'kan?"

Nah, apa kubilang?

"Bahas ginian banget pagi-pagi?"

"Karena sebenernya pengen bahas ini besok malam sambil nongkrong di balkon apartemen lo tapi lo-nya malah mau nge-date sama Dimasta." Fanya menatapku acuh. "Let me ask you this question, Ra. Lo beneran suka sama Dimasta? Maksud gue, ini bukan karena lo ngerasa iba setelah lihat masa lalu kelam dia, 'kan? Atau karena lo butuh pelarian dari semua masalah lo? Gue yakin, untuk yang kedua pasti salah. Lo bukan tipe cewek yang buru-buru deket sama orang cuma karena patah hati."

Bertubi-tubi, Fanya membuatku mati kutu. Pertanyaannya kali ini berhasil menghentikan kegiatanku menyeruput cokelat panas. Aku bahkan tidak pernah memikirkan ini: bagaimana perasaanku yang sebenarnya? Simpati? Empati? Atau Dimasta memang benar-benar telah membuatku jatuh hati?

Aku hanya merasa nyaman saat Dimasta ada di sekitarku. Aku juga mulai menyukai caranya melakukan hal-hal kecil tapi berarti.

"Fan, gue deket sama Dimasta dulu baru ngalamin hal-hal aneh kayak gini. Jujur, gue udah mulai tertarik sama dia sejak pertama kali kami ngbrol. As you knew, Fan, Dimasta humble banget anaknya," sanggahku yang disambut dengan gelengan Fanya. 

"Awalnya, gue nggak ngira lo sama Dimasta bakal secepet ini prosesnya. Tapi kemarin, pas gue lihat dia nganter lo pulang di lobi apartemen, gue akhirnya tahu kalau hubungan kalian emang ... ya, udah sejauh itu,"

I know. Cepat atau lambat aku harus siap dengan pertanyaan Fanya tentang ini. I'm not thinking about hiding our relationship from other people, tapi setiap ingat apa yang terjadi sebelumnya, aku merasa tidak perlu mengumumkan ini kepada siapa pun saat ini–kecuali jika ada yang bertanya. 

"Lo nggak jawab. It means yes. Dimasta udah tahu tentang lo yang bisa lihat masa lalu dia?"

Aku menggeleng. Sejak Dimasta mengatakan jika dia kehilangan memori masa kecilnya, aku tidak sampai hati memberitahu soal ini. Lagi pula, bukannya itu memang pilihan terbaik?

"Lo udah pernah kepikiran gimana seandainya dia tahu tentang ini? Gue tegasin, gue ngomong gini bukan karena pengen ikut campur urusan lo, Ra. Gue Cuma nggak pengen lo terluka lagi."

Aku belum menimpali kalimat Fanya saat Eren masuk ke ruangan kami dan ikut duduk di sebelah Fanya. 

"Retrocognition, right?" tanyanya. Eren kemudian menaruh beberapa judul buku di atas mejaku.

Aku sudah memberitahu Eren sedetail mungkin tentang apa yang kualami, dan ia juga menyimpulkannya sebagai retrokognisi. Apa yang Eren jelaskan tentang kemampuan retrocognisi sama dengan yang kubaca di dalam buku.

Aku melihat satu per satu buku yang dibawakan Eren. Give and take, The Awekened Millionair, The Secret, Rich dad & Poor dad dan salah satu buku favoritku Who moved my cheese? karangan Spencer Johnson M.D.

"Retrocognition ini bagian dari Clairvoyance, Ra. Jika kamu sudah bisa mengendalikan ini, kamu bisa memilih untuk 'melihat' atau tidak. Kamu hanya perlu mencapai titik paling rileks dalam diri kamu. Buku-buku ini, berisi tentang beberapa hal yang bisa membantu kamu melatih fokus. Mudah-mudahan membantu, Ra. Anggap kelebihan ini sebagai anugerah," jelas Eren sambil tersenyum kepadaku. "Don't regret anything. Sebenarnya, masih ada beberapa buku di perpustakaanku, tapi sepertinya, dengan kesibukan barumu, itu saja dulu," sambungnya.

Aku mengernyit. Kesibukan baru?

"To dating with that hot guy, Ra."

Memutar bola mata, kini Fanya tertawa puas. And what? Hot guy? Kukira Cuma Fanya yang pikirannya ....

"Fan." Aku tiba-tiba ingat ingin bertanya sesuatu kepada Fanya. "Lo nggak cerita ke Nico tentang apa yang gue alamin, 'kan?"

Fanya tersenyum. "Tenang, Ra. Gue nggak pengin Nico ninggalin kerjaannya dan ngambil penerbangan tercepat ke Bulgaria detik itu juga. Lo tahu Nico selebay itu, 'kan?"

Aku mengangguk. Nico beberapa kali menggagalkan penerbangannya ke Bulgaria karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, dan aku sama sekali tidak ingin membuatnya khawatir saat ini. Tentang Dimasta, aku juga belum membicarakan ini dengannya. Aku berencana mengenalkan mereka nanti, saat Nico mengunjungiku. 

Setelah puas menggodaku, Fanya meninggalkan mejaku. Namun baru beberapa langkah, ia membalikkan badan dan bertanya, "Ra, Dimasta good kisser or not?"

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now